Pada 2011, presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama, mencanangkan visi "One Million Electric Vehicles by 2015", satu juta kendaraan listrik mengaspal di AS tahun 2015.

Visi ini lahir dari keinginan kuat untuk keluar dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang semakin hari semakin tipis cadangannya dan juga tidak ramah lingkungan. Visi yang dianggap terlalu ambisius oleh sebagian pihak ini memang pada akhirnya tidak tercapai secara target angka, tetapi telah menjadi batu loncatan besar dalam perkembangan adopsi kendaraan listrik di dunia.

Pada mula visi ini dicanangkan, tidak lebih dari 1.000 kendaraan listrik beroperasi di AS. Dalam empat tahun, total kendaraan listrik yang terjual
di negeri Paman Sam ini mencapai 400.000 unit dengan lebih dari 42 model kendaraan yang dipasarkan. Secara global, sejarah juga mencatat, per September 2015, satu juta kendaraan listrik telah mengaspal di sejumlah negara di dunia.

Pertumbuhan penjualan kendaraan listrik terus meningkat dengan pesat. Per Februari 2019, terdapat sebanyak 5,6 juta kendaraan listrik beroperasi di seluruh dunia, di mana 2,2 juta unit merupakan penjualan tahun 2018 saja (Schmidt, 2019). Data Global Electric Vehicle Outlook 2019 dari Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan, mobil listrik yang terjual tahun 2018, terbesar 55 persen di China, 19,5 persen di Eropa, dan 18,3 persen di AS.

Perkembangan kendaraan listrik diprediksi akan terus melesat dengan semakin berkembangnya teknologi mesin listrik, mudahnya akses pengisian baterai, harga yang semakin terjangkau, dan berkembangnya berbagai model mobil yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Bloomberg New Energy Finance (BNEF) memprediksi, pangsa pasar kendaraan listrik secara global akan mencapai 57 persen pada 2040 atau 30 persen dari total semua kendaraan di dunia saat itu akan bertenaga listrik. Bahkan, China secara optimistis menargetkan kendaraan listrik meraup 50 persen pangsa penjualan kendaraan dalam negeri mereka pada 2025.

Posisi Indonesia

Perusahaan taksi Blue Bird yang memulai penggunaan kendaraan listrik dengan mendatangkan 30 mobil listrik pada 2019 dan Transjakarta yang mengadakan bus listrik untuk transportasi publik menjadi awal yang menggembirakan dan patut diapresiasi. Sampai saat ini belum ada publikasi soal angka pasti jumlah kendaraan listrik di Indonesia. Memang, adopsi kendaraan listrik di Indonesia bisa dikatakan masih sangat rendah.

Untuk menggenjot penggunaan mobil listrik dan industri terkait, pada 8 Agustus 2019 Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Dengan target kendaraan listrik dapat menguasai 20 persen pasar otomotif nasional per tahun 2025, berbagai insentif diberikan dalam perpres ini.

Untuk pengguna, insentif pembebasan atau pengurangan pajak daerah, keringanan biaya pengisian listrik di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), diskon tarif parkir, hingga insentif nonfiskal, seperti pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu (contoh: ganjil-genap). Langkah ini diharapkan dapat menarik masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik.

Akan tetapi, semangat dalam mengadopsi kendaraan listrik belum kuat. Harga yang masih relatif mahal, SPKLU untuk pengisian baterai yang masih jarang, dan jarak tempuh yang terbatas masih menjadi keengganan publik untuk membeli dan menggunakan kendaraan listrik. Di tengah keraguan dan keengganan masyarakat ini, sudah seharusnya pemerintah menjadi pionir.

Tren penggunaan kendaraan listrik harus dimulai dari pemerintah. Pemerintah tak boleh kalah dengan perusahaan taksi yang sudah mengadopsi kendaraan listrik sebagai armadanya. Walaupun disebut sulit diterapkan karena alasan teknis, sudah seharusnya pejabat pemerintah mulai menggunakan kendaraan operasional bertenaga listrik untuk menjadi contoh di masyarakat dan agar dapat mendorong fasilitas pendukung tersedia dengan segera.

Selain itu, yang paling memungkinkan adalah transportasi publik yang dikelola oleh pemerintah dapat dialihkan menggunakan kendaraan listrik. Transportasi publik, seperti bus yang rutenya jelas dan jarak tempuhnya terukur, tentu saja tidak terkendala dengan infrastruktur pengisian baterai yang belum memadai.

Pemerintah bisa mulai mewajibkan pengadaan kendaraan listrik untuk transportasi umum di semua daerah di Indonesia secara bertahap. Kebijakan ini mesti diikuti dengan insentif fiskal yang signifikan sehingga harganya diupayakan sama atau bahkan lebih murah dari kendaraan berbahan bakar fosil, seperti yang dilakuan antara lain oleh Pemerintah Inggris dengan pemberian subsidi untuk pembelian mobil listrik.

Rencana penyelenggaraan Formula-E, ajang lomba adu cepat mobil balap listrik, di Jakarta pada 2020 juga semestinya bisa menjadi momentum untuk kampanye mobil listrik secara besar-besaran. Formula-E seharusnya dijadikan medium oleh semua pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan industri otomotif, untuk mengangkat citra kendaraan listrik sebagai kendaraan publik dan citra gaya hidup modern yang efisien, simpel, dan peduli lingkungan.

Rantai pasok

Tidak hanya dari sisi pengguna, pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri pun perlu mendapatkan dorongan dan perhatian khusus. Perpres No 55/2019 telah menjadi dasar pemberian beberapa insentif untuk industri kendaraan listrik berbasis baterai. Hal ini diharapkan dapat mengakselerasi tumbuhnya industri kendaraan listrik dalam negeri secara signifikan.

Dalam laporan Bank Dunia, September 2019, Global Economic Risks and Implications for Indonesia, saat ini Indonesia belum masuk dalam mata rantai pasokan (global supply chain) kendaraan listrik secara global. Memang, perlu diakui secara langsung belum ada industri di Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam mata rantai pasokan global kendaraan listrik. Akan tetapi, Indonesia masih memiliki peluang besar dari segi komponen baterai.

Komponen utama kendaraan listrik ialah unit kendali tenaga (power control unit/PCU), motor listrik, dan baterai. Indonesia memiliki peluang besar untuk masuk pada industri baterai karena memiliki cadangan tambang nikel, kobalt, dan mangan yang merupakan bahan baku baterai.

Berdasarkan data US Geological Survey (2019), Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar keenam di dunia. Nikel merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baterai yang menjadi komponen penting kendaraan listrik. Akan tetapi, saat ini lebih dari 90 persen nikel Indonesia di ekspor ke China dalam bentuk bijih nikel yang memiliki nilai tambah rendah.

Pemerintah telah mengambil langkah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 mengenai pelarangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020. Pelarangan yang awalnya akan diterapkan pada 2022 dipercepat dua tahun untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri.

Kebijakan ini patut diapresiasi dan perlu dikawal dengan serius mengingat banyaknya kepentingan jangka pendek yang menjadi penghambat agenda hilirisasi, seperti yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri merupakan amanat UU Minerba. Aturan dalam UU Minerba tersebut dimulai tahun 2009 dengan tenggat waktu lima tahun sampai 2014. Celakanya, sampai sekarang pun belum sepenuhnya berjalan karena masih dikeluarkannya
dispensasi oleh pemerintah sendiri.

Upaya pengarusutamaan kendaraan listrik mesti dilakukan dengan sangat serius dan menjadi salah satu agenda utama pemerintah mengingat impor migas kita yang terus meningkat secara signifikan dan menjadi salah satu penyumbang terbesar defisit perdagangan Indonesia.

Keseriusan dalam penggunaan kendaraan listrik diharapkan dapat mengurangi konsumsi BBM sehingga mampu mengatasi defisit neraca perdagangan internasional. Selain itu, secara bersamaan agenda pengembangan industri otomotif kendaraan listrik dan hilirisasi nikel menjadi produk baterai juga dapat menjadi kunci agar Indonesia dapat memainkan perannya sebagai salah satu
pemain utama dalam rantai pasokan global di tengah perkembangan pesat kendaraan listrik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, defisit neraca perdagangan internasional 2018 menjadi yang terburuk selama lima tahun terakhir dan impor migas merupakan penyumbang terbesar terhadap defisit itu. Begitu pula data sampai September 2019, dengan masih tingginya impor migas, defisit perdagangan tetap ada.

Dalam Peta Jalan Industri Otomotif Nasional yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian RI, dinyatakan bahwa tahun 2022 sudah bisa diproduksi kendaraan listrik oleh industri nasional. Riset dan pengembangan kendaraan listrik sudah dilakukan sejak 2012 oleh lima perguruan tinggi negeri: ITB, UI, UGM, UNS, dan ITS. Demikian juga langkah serupa yang dilakukan oleh BPPT, LIPI, Pertamina, Pindad, dan PLN akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan kendaraan listrik nasional.

Lompatan untuk langsung masuk ke dalam industri kendaraan listrik mesti diikuti dengan komitmen tinggi dan konsistensi oleh pemerintah. Hal ini mengingat kuatnya gangguan dan godaan dari kelompok-kelompok kepentingan dan para pemburu rente (rent seeker) yang kerap mendompleng para pengambil kebijakan untuk mengakomodasi agenda- agenda jangka pendek guna kepentingan sempit mereka sendiri dan kelompoknya.

Pengalaman pahit kegagalan kita dalam mengembangkan mobil nasional dan nyaris mati surinya industri pesawat terbang nasional yang dibangun dengan susah payah dan berbiaya besar patut menjadi pelajaran amat berharga untuk mewujudkan agenda besar; kendaraan listrik nasional.