"Kita semua tahu apa yang harus dilakukan, kita hanya tidak tahu bagaimana bisa terpilih kembali setelah kita melakukan itu". Begitu ujar Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker.
Mereka yang mendalami masalah kebijakan tahu, betapa benarnya kata-kata itu. Juncker mungkin terlalu sinis, tapi deskripsinya lugas. Ia memang tak bicara tentang Indonesia, namun ucapannya seperti relevan dengan tantangan bagi Kabinet Indonesia Maju yang baru. Mengapa?
Saya pernah menulis di harian ini, bahwa di tengah ancaman resesi global, ruang kebijakan fiskal dan moneter relatif terbatas. Bank Indonesia memang masih punya sedikit ruang untuk menurunkan bunga. Namun kebijakan ini belum tentu akan efektif meningkatkan pertumbuhan.
Mengapa? Jika daya beli melemah, maka dunia usaha tak akan melakukan ekspansi usaha. Untuk apa menambah produksi, jika permintaan tak ada. Untuk itu, kita butuh kebijakan kontra-siklus dalam fiskal.
Jika daya beli melemah, maka dunia usaha tak akan melakukan ekspansi usaha. Untuk apa menambah produksi, jika permintaan tak ada. Untuk itu, kita butuh kebijakan kontra-siklus dalam fiskal.
Sayangnya penurunan harga komoditas dan energi telah memukul penerimaan pajak. Akibatnya: defisit anggaran akan meningkat. Sehingga ruang untuk ekspansi fiskal juga menurun.
Implikasinya, pertumbuhan ekonomi hanya bisa didorong jika kita melakukan reformasi struktural. Caranya? Dalam jangka pendek pemerintah bisa fokus pada reformasi generasi pertama seperti deregulasi, debirokratisasi, merevisi UU Ketenagakerjaan, menarik Penanaman Modal Asing (PMA), memperbaiki kualitas belanja melalui alokasi anggaran lebih banyak untuk belanja di luar gaji dan subsidi.
Sayangnya, ini tak mudah. Menerapkan reformasi struktural adalah sebuah seni, gabungan dari kemampuan teknokratis, kreativitas dan kemampuan mengelola dukungan politik.
Karena itu banyak reformasi ekonomi yang gagal. Jika gagal, biasanya ekonom akan menyalahkan kendala politik atau institusi. Menurut saya, ini cara berpikir yang salah. Reformasi struktural tak berada di ruang hampa. Ia harus mempertimbangkan dampak elektabilitas dari pembuat kebijakan. Jika biaya politik dari reformasi terlalu besar, politisi tak akan mendukung. Dalam kondisi ekonomi yang melambat, misalnya, tak mudah melakukan reformasi ekonomi.
Jika biaya politik dari reformasi terlalu besar, politisi tak akan mendukung. Dalam kondisi ekonomi yang melambat, misalnya, tak mudah melakukan reformasi ekonomi.
Di Cile, demonstrasi besar-besaran dipicu karena keputusan pemerintah menaikkan tarif metro "hanya" sebesar 3 persen; di Perancis demonstrasi dipicu kenaikan pajak BBM. Kita juga melihat gelombang protes melanda Hongkong. Akar persoalannya adalah kondisi ekonomi yang memburuk dan ketimpangan ekonomi. Ini dilemanya. Di satu sisi kita harus melakukan reformasi struktural, di sisi lain ia tak populer.
Perlu dukungan publik
Lalu apa yang harus dilakukan? Mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Presiden Jokowi memang secara terbuka sudah menyatakan: ia bersedia melakukan reformasi yang drastis dan tak populer, karena toh tak akan terpilih lagi di 2024.
Saya kira kita harus memberikan apresiasi untuk sikap ini. Ada harapan besar: perubahan mendasar akan terjadi. Namun seperti diduga, dalam sebuah sistem presidensial dengan multipartai, kabinet yang terbentuk adalah koalisi pelangi.
Sebuah kompromi, di mana kepentingan politik harus diakomodasi. Pertanyaannya, apakah politisi akan mendukung sepenuhnya reformasi yang dijanjikan Presiden Jokowi? Benar bahwa 2024 Jokowi tak bisa lagi menjadi presiden, tetapi kita tahu, partai-partai politik akan berlaga dengan kandidat masing-masing tahun 2024.
Artinya partai-partai politik tetap ingin populer dan terpilih. Karena itu, mereka belum tentu akan mendukung kebijakan yang tak populer. Bayangkan, jika pemerintah ingin melakukan revisi UU Ketenagakerjaan atau harus menaikkan harga BBM mendekati Pemilu 2024, saya tak yakin partai akan mendukung gagasan ini. Implikasinya: ruang bagi Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi ekonomi yang tak populer amat pendek.
Bayangkan, jika pemerintah ingin melakukan revisi UU Ketenagakerjaan atau harus menaikkan harga BBM mendekati Pemilu 2024, saya tak yakin partai akan mendukung gagasan ini.
Ini bukan hal yang unik di Indonesia saja. Di Amerika, dikenal istilah second-term curse atau kutukan periode kedua. Intinya: kinerja ekonomi presiden di periode kedua justru tak sebaik periode pertamanya. Saya, tak sepenuhnya percaya konsep itu. Namun data menunjukkan: hanya tiga dari 11 presiden di AS yang menghasilkan kinerja ekonomi lebih baik dalam periode kedua dibanding periode pertama jabatannya.
Dalam jangka pendek, bisa jadi dukungan politik di parlemen sangat kuat. Namun, beberapa tahun dari sekarang partai politik mungkin akan mulai sibuk dengan kandidatnya masing-masing. Mereka tak mau mengambil risiko politik untuk kebijakan yang tak populer.
Dalam kondisi seperti ini, dukungan politik terhadap Presiden Jokowi harus datang dari publik, dari masyarakat sipil. Tanpa itu reformasi ekonomi akan menjadi sulit. Sayangnya ini juga tak mudah, karena kita melihat bagaimana kritik dan protes muncul begitu keras terhadap revisi UU KPK dan juga RUU KUHP. Bahkan pemerintah akhirnya memutuskan menunda RUU KUHP dan beberapa RUU lainnya termasuk revisi UU Ketenagakerjaan. Tanpa dukungan publik, second-term curse bisa terjadi.
Dalam kondisi seperti ini, dukungan politik terhadap Presiden Jokowi harus datang dari publik, dari masyarakat sipil. Tanpa itu reformasi ekonomi akan menjadi sulit.
Modal politik
Kedua, sukses sebuah reformasi akan tergantung pada modal politik dan ruang untuk melakukan reformasi. Kita perlu ingat: sumber daya politik dan waktu terbatas.
Itu sebabnya, prioritas jadi penting. Reformasi yang sifatnya "big bang" (drastis) hanya bisa dilakukan bila kita memiliki modal politik yang amat kuat. Seorang pembuat kebijakan, seperti teknokrat atau profesional dalam kabinet tak selamanya memperoleh dukungan dari politisi. Mereka juga tak selalu memiliki kemewahan dalam hal rentang waktu, karena siklus politik.
Karena itu mereka harus bekerja dalam kendala yang ada. Implikasinya: reformasi harus dilakukan dalam rentang waktu yang relatif pendek dengan kendala politik dan modal politik yang terbatas.
Caranya? Studi saya, "Reform in an Imperfect World: the case of Indonesia" (2017) menunjukkan bahwa jika modal politik terbatas dan ada kendala politik serta institusi, maka reformasi ekonomi sebaiknya dimulai dari sesuatu yang yang mudah.
Misalnya, dengan menciptakan hasil cepat (quick wins) yang dampaknya dapat dirasakan segera oleh masyarakat. Bila masyarakat mulai merasakan dampak positif dari kebijakan itu, kredibilitas pembuat kebijakan akan meningkat, sehingga ia memiliki dukungan untuk melakukan reformasi yang lebih kompleks.
Di sisi lain, dukungan masyarakat akan jadi insentif bagi pimpinan politik untuk mendukung pembuat kebijakan melanjutkan reformasinya. Proses ini dapat dilakukan secara berulang. Dimulai dari reformasi yang paling sederhana, dengan target yang sederhana, kemudian terus meningkat kepada target yang jauh lebih rumit dan sulit. Dengan cara ini maka proses reformasi menjadi endogenous atau mendapatkan dukungan dari dalam.
Studi saya, "Reform in an Imperfect World: the case of Indonesia" (2017) menunjukkan bahwa jika modal politik terbatas dan ada kendala politik serta institusi, maka reformasi ekonomi sebaiknya dimulai dari sesuatu yang yang mudah.
Pembangunan kelembagaan
Ketiga, sejarah mengajarkan, reformasi generasi pertama seperti penyederhanaan izin, liberalisasi investasi dan sebagainya, harus diikuti oleh pembangunan institusi seperti reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, menjaga kualitas SDM, memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memerangi korupsi.
Tengok kasus Indonesia: deregulasi perbankan 1988-an yang tak diikuti pembangunan institusi mendorong terjadinya krisis perbankan yang akhirnya membawa kita ke krisis keuangan Asia 1998. Korupsi, kolusi dan nepotisme di sektor keuangan, terutama di mana kredit diberikan tanpa analisa risiko yang benar, membuat perbankan menjadi rumah kartu yang rapuh.
Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan institusi yang ekstraktif, di mana keputusan dikuasai oligarki, membawa pada keruntuhan ekonomi. Pemenang Nobel ekonomi, Amartya Sen pernah menulis: sistem pemerintah otoriter di China, turut bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang, karena kritik terhadap kesalahan kebijakan pangan menjadi muskil dalam sistem otoriter. Itu sebabnya kritik jadi penting.
Pertumbuhan inklusif
Keempat, reformasi struktural harus dibarengi dengan upaya pemberian perlindungan kepada mereka yang kalah akibat kompetisi. Inilah yang dikenal sebagai strategi pertumbuhan yang inklusif. Berikan perlindungan terhadap penduduk miskin, misalnya melalui program PKH, padat karya tunai, bantuan langsung; padat karya pelatihan (cash for training atau kartu pra kerja). Benar, bahwa program ini hanya bersifat sementara. Tetapi ia dibutuhkan untuk membantu untuk mengatasi dampak negatif dari reformasi ekonomi.
Keempat, reformasi struktural harus dibarengi dengan upaya pemberian perlindungan kepada mereka yang kalah akibat kompetisi. Inilah yang dikenal sebagai strategi pertumbuhan yang inklusif.
Kita sadar, tantangan kabinet baru ini tidak mudah. Perlambatan ekonomi sudah mulai terasa dan akan berlanjut di tahun depan. Kita mungkin masih bisa tumbuh 5 persen atau sedikit di bawah 5 persen. Dan itu perlu diapresiasi.
Namun untuk tumbuh lebih tinggi, kita butuh reformasi struktural. Peliknya: ia tak mudah secara politik. Pemerintah memang dihadapkan posisi yang sulit. Kebijakan ekonomi yang baik kerap kali pahit dan miskin tepuk tangan, tapi ia akan menghindarkan kita dari kutukan periode kedua.
Sebuah pemerintahan dikenang, karena warisan kebijakannya bermanfaat jauh setelah ia berakhir. Ia tak dikenang karena popularitas sesaat. Persis seperti bait akhir puisi Frost:
The woods are lovely, dark, and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar