Minus beberapa kesan negatif terhadap keberadaan "omnibus law" (OL) di negara-negara asal (AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, Irlandia dll), fungsionalisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai OL dapat dilakukan.
Alasannya, karena dalam misi dan visinya, RKUHP juga mengandung misi sinkronisasi dan konsolidasi akibat perkembangan hukum pidana pasca -kemerdekaan yang sangat masif, baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial yang cenderung tidak terkendali.
Beberapa kesan negatif itu antara lain OL sering dianggap sebagai strategi rekonstruksi hukum untuk penyederhanaan regulasi semata-mata agar secara cepat dapat memudahkan pengambilan keputusan serentak mengenai hal-hal yang kompleks di lembaga legislatif, menerobos hal-hal yang bersifat kontroversial dengan membatasi perdebatan dan pengawasan, dituduh anti demokrasi, merupakan kompromi untuk menghemat anggaran dan cenderung tak terkendali (unmanageable) serta akan berdampak negatif terhadap undang-undang lain yang sudah ada. Belum lagi sifatnya yang pragmatis yang bahkan dapat bersifat tidak konstitusional.
Istilah "omnibus" berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti untuk segalanya (for everything), yang dalam hukum dimaknai sebagai perlunya satu dokumen tunggal yang mencakup bersama-sama suatu kombinasi subyek yang beraneka ragam atas dasar beberapa kriteria (Gunter, 2012).
Dalam hal ini, apabila OL harus diartikan sebagai hukum yang mencakup topik yang bermacam-macam dan sering tidak berkaitan satu sama lain (diverse or unrelated) yang harus dikonsolidasikan dan disinkronisasikan, maka dalam bidang hukum pidana, Kanada dicatat pernah melakukannya yakni pada saat melakukan amandemen KUHP-nya (Criminal Law Amendment Act, 1968-1969) yang setebal 126 halaman disertai 120 Amendment Clause. UU ini mengkonsolidasikan dan mensinkronisasikan regulasi yang luas berkaitan dengan homoseksualitas, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan senjata api dan mengemudi dalam keadaan mabuk.
UU ini mengkonsolidasikan dan mensinkronisasikan regulasi yang luas berkaitan dengan homoseksualitas, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan senjata api dan mengemudi dalam keadaan mabuk.
RKUHP dalam kerangka ini dapat didayagunakan sebagai OL, karena visi dan misi yang diembannya dalam kerangka rekodifikasi sistemik (bukan sekadar amandemen) dan proses dekolonialisasi, juga mencakup sub-misi konsolidasi dan sinkronsasi peraturan hukum pidana, yang tersebar dan sering tidak sinkron satu sama lain, baik vertikal maupun horizontal, karena sejak kemerdekaan KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum yang diatur dalam kodifikasi. Perkembangan ini berkaitan baik dengan hukum pidana murni maupun hukum pidana administratif, termasuk peraturan daerah.
Sebagai semacam OL, RKUHP yang berisi 628 pasal disertai visi dan misi untuk membangun KUHP nasional dengan batas-batas ukuran pembenaran (margin of appreciation) atas dasar Pancasila, UUD NRI 1945, hak-hak asasi manusia dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Untuk itu, sekalipun sulit dihapuskan secara total, mitigasi sistemik terhadap penerapan sistem keadilan retributif (retributive jusitice) yang bernuansa pembalasan terhadap pelaku tindak pidana semata-mata, harus dilakukan dan mengombinasikannya dengan sistem keadilan restoratif (restorative justice) yang memerhatikan juga dimensi korban tindak pidana, peranan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan perilaku, HAM, riset empiris dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi universal.
Peranan Buku I RKUHP
Buku I RKUHP memiliki kedudukan sangat strategis, karena substansi Buku I (Aturan Umum) berisi asas-asas hukum (legal principles) yang menyentuh secara mendasar reformulasi tiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang dapat dipidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Asas-asas hukum (legal principles) yang sekaligus mengandung nilai-nilai hukum (legal values) dan norma-norma hukum (legal norms) yang bernuansa keadilan hakiki, berbeda dengan norma yang bersifat umum.
Asas-asas hukum (legal principles) yang sekaligus mengandung nilai-nilai hukum (legal values) dan norma-norma hukum (legal norms) yang bernuansa keadilan hakiki, berbeda dengan norma yang bersifat umum.
Koeksistensi (saling berdampingan) antara asas-asas hukum, norma hukum dan nilai hukum dengan demikian merupakan konsensus dasar masyarakat yang dipandang adil, yang harus dirumuskan terlebih dulu sebelum hukum secara keseluruhan dirumuskan atau ditulis (Jordan DACI, 1997). Dengan demikian mustahil dapat memahami Buku II tentang Tindak Pidana secara keseluruhan tanpa lebih dulu memahami asas-asas hukum pidana yang tersurat dan tersirat di Buku I. Substansi Buku I dengan demikian merupakan mekanisme pengendali secara keseluruhan sistem hukum pidana, baik di dalam maupun di luar kodifikasi.
Asas hukum pidana di RKUHP
Beberapa prinsip strategis dalam RKUHP yang merupakan asas atau mekanisme pengendali, yang sebelumnya tak dikenal dalam KUHP (WvS) warisan kolonial, antara lain adalah sebagai berikut . Pertama, dalam pengaturan tindak pidana ditingkatkan akurasi dalam proses kriminalisasi, sehingga prinsip legalitas seperti tidak boleh berlaku surut (lex praevia), harus tertulis (lex scripta), prinsip kejelasan (lex certa), dan prinsip ketajaman, keketaatan dan larangan analogi (lex stricta) terpenuhi.
Untuk lima tindak pidana (tipikor, terorisme, pelanggaran berat HAM, pencucian uang dan tindak pidana narkotika) ditentukan sebagai Tindak Pidana Khusus dengan hanya memuat delik intinya saja (core crimes), karena erat kaitannya dengan berbagai konvensi internasional, adanya kandungan hukum acara khusus dan penyimpangan beberapa aturan hukum pidana materiil serta adanya kelembagaan khusus (KPK, BNPT, Komnas HAM, PPATK, BNN), masih bersifat dinamis untuk perubahan, tingkat viktimisasinya luas termasuk besarnya kutukan masyarakat (people condemnation) nasional dan internasional.
RKUHP menempatkan UU terkait lima tindak pidana ini di luar kodifikasi secara lengkap tanpa perubahan. Prinsip legalitas juga akan diterapkan bagi pengakuan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat adat tertentu dalam bentuk Kompilasi Hukum Pidana adat.
Prinsip legalitas juga akan diterapkan bagi pengakuan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat adat tertentu dalam bentuk Kompilasi Hukum Pidana adat.
Kedua, dalam pertanggungjawaban pidana, secara pleno atau umum diatur bahwa korporasi dapat melakukan dan dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta dapat dijatuhi pidana dan tindakan di samping subyek manusia alamiah. Ketiga, pengaturan tentang tujuan pemidanaan dan hakikat pidana serta penegasan tentang perlunya pedoman pemidanaan, baik terhadap orang maupun korporasi, untuk menghindari disparitas pidana.
Keempat, adanya pedoman penerapan pidana penjara. Kelima, pengaturan tentang alternatif pidana penjara untuk menghindari efek buruk pidana penjara dan mengurangi kelebihan kapasitas penjara. Contoh, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, serta perumusan pidana denda dengan sistem kategori untuk menghindari fluktuasi nilai mata uang dan keefektifannya dan memudahkan penerapannya. Keenam, pengaturan pidana mati, sebagai pidana khusus, dan dengan syarat khusus dapat diubah menjadi pidana non-pidana mati (pidana mati bersyarat). Ketujuh, perluasan sistem tindakan yang bersifat mendidik. Kedelapan, perumusan pidana dan tindakan bagi anak (juvenile justice) . Kesembilan, dengan metode tertentu dilakukan rasionalitas ancaman pidana (strafmaat).
Hal-hal lain yang baru
Penekanan pentingnya konsiderans untuk menyusun RUU KUHP yang memuat politik hukum untuk mewujudkan hukum pidana nasional berdasar Pancasila, UUD NRI 1945, HAM dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Di samping itu ditegaskan pentingnya keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, perlindungan terhadap pelaku dan korban tindak pidana, juga antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat, antara nilai nasional dan universal, serta antara hak asasi dan kewajiban asasi manusia.
Adanya Penjelasan Umum dan penjelasan pasal demi pasal, yang secara yuridis merupakan tafsir resmi KUHP yang sangat penting untuk menghindari multi tafsir. Pengaturan Ketentuan Peralihan mengharuskan setiap UU yang memuat hukum pidana menyesuaikan dengan Buku I pada saat UU KUHP berlaku, dan Ketentuan Penutup menegaskan berbagai aturan hukum pidana yang dinyatakan tak berlaku lagi dan beberapa konsekuensi perubahan lain sejak KUHP baru berlaku dua tahun kemudian sebagai periode peralihan (engagement period), untuk mengatur pelaksanaan proses peralihan dan sosialisasi, baik bagi masyarakat maupun penegak hukum sebagai calon adresat norma. Sikap kehati-hatian yang dilakukan secara profesional dalam proses dan evaluasi selama lebih dari 40 tahun dengan berkesinambungan jelas dapat memitigasi kelemahan OL di atas, sehingga misi konsolidasi dan sinkronisasi dapat tercapai secara efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar