Perjuangan manusia untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak sipil atas kekuasaan memang berlangsung sepanjang masa. Setidaknya semenjak abad ke-13 perlawanan para bangsawan terhadap kesewenang-wenangan Raja John telah memaksa putra raja, yaitu Henry I, mengeluarkan perjanjian yang dikenal dengan nama Magna Charta (1215).
Dua di antara delapan isi Magna Charta menyatakan, HAM lebih penting daripada kedaulatan, kekuasaan, politik dan hukum; dan kedua, polisi ataupun jaksa tak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi sah. Peristiwa di padang rumput pinggiran Sungai Thames itu akhirnya menjadi inspirasi dasar bagi perjuangan kebebasan manusia di beberapa negara lain, seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika 1776, Deklarasi HAM dan Hak Warga Negara Perancis 1789, serta Kemerdekaan RI 1945.
Begitu fundamentalnya hak sipil, karena eksistensi kemanusiaan manusia ditentukan oleh pengakuan sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak dan kebebasan. Tanpa hak dan kebebasan, manusia sama dengan hewan.
Oleh karena itu, hak hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, perlindungan hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, bebas dari penyiksaan, hak akan proses peradilan yang adil, adalah hak dan kebebasan fundamental.
Tanpa hak dan kebebasan, manusia sama dengan hewan.
Namun, penghormatan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan sipil di negara-negara yang mengalami transisi politik dari otoritarian ke demokrasi, seperti Indonesia, memang belum stabil. Satu di antara banyak sebab: terkonsolidasinya sisa-sisa kekuatan rezim lama yang 30 tahun lebih menikmati kenyamanan politik otoriter lalu lebur dan berkolaborasi dengan kekuatan oligarki yang tampaknya mulai menikmati kekuasaan tanpa kontrol.
Dalam 15 tahun pasca-Orde Baru di era empat presiden setelah Soeharto, yaitu BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, kebebasan sipil relatif lebih baik meski di sana-sini terdapat ekses-ekses negatif, tetapi secara umum negara mampu menahan diri tidak bertindak negatif melanggar kebebasan berpendapat.
Sayang sekali lima tahun terakhir eskalasi ancaman kebebasan sipil justru meninggi. Hasil jajak pendapat Saiful Mujani Research Center (SMRC) Mei-Juni 2019 menunjukkan, 43 persen responden menyatakan takut menyampaikan pendapat. Jumlah itu naik signifikan dibandingkan pada 2014 yang 24 persen. SMRC juga menyatakan bahwa 38 persen responden takut akan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat.
Kewajiban negara
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam rilisnya pada 3 November 2019 menyatakan hal yang sama: masyarakat yang takut bicara politik kian banyak (43 persen), naik tajam dibandingkan tahun 2014 yang 17 persen. Warga takut karena penangkapan sewenang-wenang oleh aparat hukum naik dari 24 persen di 2014 ke 38 persen.
Hasil survei LSI dan SMRC itu menguatkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang mengungkap bahwa 6.128 orang jadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum sejak Januari hingga 22 Oktober 2019.
Dari jumlah itu, sebanyak 51 orang meninggal dan 324 orang tercatat masih anak-anak. Sejumlah mahasiswa dan pelajar juga ditangkap dan ditahan oleh polisi di sejumlah daerah dalam demonstrasi menentang sejumlah RUU beberapa waktu lalu.
Tindakan represif negara terhadap kebebasan berpendapat tidak hanya berupa represivitas polisi dalam menangani unjuk rasa, tetapi juga dilakukan melalui instrumen hukum, yaitu penerapan pasal makar, pasal pencemaran nama baik/fitnah, atau perbuatan tak menyenangkan dalam KUHP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari jumlah itu, sebanyak 51 orang meninggal dan 324 orang tercatat masih anak-anak.
Puluhan atau bahkan ratusan orang telah dan sedang dipidana, disangka, dan didakwa dengan pasal-pasal pencemaran nama baik, makar, perbuatan tidak menyenangkan, dan atau UU ITE.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memang memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan terhadap hak sipil kategori derogable rights, antara lain kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi, tetapi dengan syarat ada dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya telah diumumkan secara resmi, dan tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.
Jika syarat-syarat itu tak terpenuhi, tidak dibenarkan negara membatasi, apalagi memberangus, hak-hak sipil warga negara yang secara eksplisit dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan lain. Oleh sebab itu, sangat diharapkan pemerintah menjalankan kewajibannya melaksanakan prinsip individu sebagai pemegang hak (right bearer) dan negara sebagai pemegang kewajiban (duty bearer), yaitu kewajiban melindungi (to protect), menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), menyebarluaskan (to promote), dan mengembangkan (to enhance) dengan menguatkan peran positif dan mengecilkan tindakan negatif aparatur represif negara tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan demi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kita juga tidak ingin menambah daftar pelanggaran HAM di era ini yang kelak akan ditagih sebagai pelanggaran HAM masa lalu di masa depan.
Suparman Marzuki Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Kompas, 27 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar