Opini yang berkembang di dunia Arab saat ini adalah isu tentang kemunduran luar biasa bangsa Arab. Pengamat politik asal Mesir, Sulayman Abdul Munim, dalam artikelnya di harian terkemuka Mesir,Al Ahram, edisi 9 November 2019 melukiskan bangsa Arab saat ini sebagai orang yang sedang sakit.
Harian Al Quds al Arab edisi 10 November 2019 menurunkan tajuk rencana dengan judul, "Mengapa Tembok Berlin Tidak Ambruk di Dunia Arab?".
Harian berbahasa Arab yang terbit di London itu menulis tentang ribuan warga Jerman yang merayakan peringatan 30 tahun robohnya Tembok Berlin pada 9 November 2019. Harian tersebut menyebut, bangsa Arab telah gagal belajar dari peristiwa ambruknya Tembok Berlin, yang telah menyatukan kembali rakyat Jerman setelah terpecah pasca-Perang Dunia II dan mengakhiri sistem pemerintahan diktator di Eropa Timur.
Ironisnya, hanya kurang setahun dari ambruknya Tembok Berlin itu, Irak justru menyerang Kuwait pada Agustus 1990 yang memecah belah dunia Arab saat itu. Bahkan, para pemimpin Arab saat itu bukan membangun sistem politik demokrasi, tetapi justru ingin mewariskan kekuasaan kepada anak-anaknya.
Di Suriah, mendiang Presiden Hafez al-Assad berhasil mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Bashar al-Assad, pada tahun 2000. Namun, di Mesir, Libya, Yaman, dan Tunisia, upaya pewarisan kekuasaan itu digagalkan oleh revolusi rakyat pada tahun 2011.
Apa yang terjadi di dunia Arab selama tiga dekade terakhir ini adalah puncak kemunduran bangsa Arab dalam era modern. Kemunduran itu serta-merta menjadi rangkaian kemunduran luar biasa peradaban bangsa Arab selama tujuh abad terakhir.
Sebelumnya, bangsa Arab yang membawa bendera agama Islam tercatat pernah meraih kejayaan selama tujuh abad, dari abad ke-7 hingga abad ke-14.
Hal itu ditandai dengan meluasnya pengaruh dan kekuasaan bangsa Arab yang semula hanya berbasis di wilayah Hejaz (bagian dari wilayah Arab Saudi saat ini), kemudian merambah ke wilayah Afrika Utara, Irak, Iran, wilayah Syam (Palestina, Suriah, Lebanon, dan Jordania saat ini), Turki, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Balkan. Bangsa Arab bahkan pernah berkuasa di Andalusia (wilayah Spanyol sekarang).
Setelah abad ke-14, peradaban bangsa Arab kemudian mengalami kemerosotan luar biasa sampai saat ini.
Era modern setelah berakhirnya kolonialisme di dunia Arab sejatinya menjadi momentum bagi kebangkitan kembali dunia Arab, seperti keberhasilan Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura yang meraih kemajuan pasca-era kolonial. Namun, sebaliknya bangsa Arab justru semakin mengalami kemunduran pada era modern ini.
Pada era modern pertama, persisnya setelah era kolonial Barat pada tahun 1940-an dan 1950-an, bangsa Arab yang mengadopsi sistem negara bangsa optimistis bisa bangkit lagi. Namun, bangsa Arab saat itu segera pula merasakan adanya konspirasi besar dari kolonial Barat yang menghambat kebangkitan kembali mereka dan bahkan memecah belah antar-sesama bangsa Arab.
Konspirasi itu dimulai dari berdirinya negara Israel tahun 1948, tidak terselesaikannya isu Sahara Barat, hingga hengkangnya kolonial Spanyol dari wilayah itu pada 1970 yang menyebabkan saling klaim antara Maroko dan Polisario (Gerakan Pembebasan Sahara Barat) yang didukung Aljazair atas Sahara Barat. Bangsa Arab gagal pula memanfaatkan kekuatannya sehingga kalah dalam perang melawan Israel tahun 1948.
Pada era modern kedua atau tahun 1960-an, bangsa Arab menggemakan ideologi nasionalisme Arab yang dipimpin Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dalam upaya menyatukan bangsa Arab melawan imperialisme Barat yang dituduh berada di balik konspirasi terhadap bangsa Arab.
Namun, gerakan nasionalisme Arab gagal pula membawa kemajuan bangsa Arab, dan bahkan bangsa Arab kalah dalam perang Arab-Israel tahun 1967. Gerakan nasionalisme Arab pun punah bersamaan dengan wafatnya Presiden Gamal Abdel Nasser tahun 1970.
Dalam era modern ketiga pada tahun 1970-an dan 1980-an atau persisnya seusai perang Arab-Israel tahun 1973, bangsa Arab mulai mengubah pola pikir terhadap Israel dan Amerika Serikat (AS).
Bangsa Arab yang dipimpin Presiden Mesir Anwar Sadat mulai menerima negara Israel sebagai negara tetangga dan bagian dari wilayah Timur Tengah, serta mulai mendekati pula AS sebagai sekutu Israel. Perubahan pola pikir itu yang mengantarkan tercapainya kesepakatan damai Mesir-Israel di Camp David, AS, tahun 1979.
Pada 1970-an dan 1980-an itu, mulai bergulir berita adanya pertemuan rahasia antara mendiang Raja Hussein dari Jordania dan Raja Maroko Hasan II dengan para pemimpin Israel di Eropa.
Akibat adanya interaksi positif dengan Barat, sejumlah negara Arab mulai pula menerapkan sistem demokrasi meskipun sangat terbatas, yang ditandai dengan diizinkan berdirinya partai politik.
Mesir, Sudan, Yaman, dan Aljazair saat itu membuka keran demokrasi terbatas dengan mengizinkan beroperasinya partai-partai politik. Jordania dan Maroko, yang menerapkan sistem monarki mutlak, juga memberi peran lebih besar kepada partai-partai politik di dua negara tersebut.
Namun, reformasi politik yang dilakukan negara-negara Arab pada era itu disebut setengah hati atau sangat tanggung sehingga gagal pula membawa kemajuan dan kemakmuran rakyatnya.
Dalam era modern keempat atau tahun 1990-an, terjadi perubahan besar di panggung internasional yang ditandai dengan berakhirnya era komunisme dan sekaligus semakin kuatnya hegemoni kapitalisme serta munculnya satu kutub kekuatan, yakni AS, setelah ambruknya Uni Soviet. Namun, bangsa Arab kembali melakukan kegagalan dua kali pada era tersebut.
Pertama, bangsa Arab gagal beradaptasi dengan perubahan cepat itu, seperti gagal membangun sistem institusi negara modern, sistem pendidikan, serta nilai-nilai sosial dan budaya. Kedua, bangsa Arab gagal meniru China, yakni berhasil membangun reformasi ekonomi dan pengembangan teknologi, tetapi dalam waktu yang sama tetap mempertahankan sistem diktator.
China kini berhasil menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS, dengan berhasil meningkatkan pendapatan per kapita secara fantastis dari hanya 200 dollar AS per tahun pada 1949 menjadi sekitar 10.000 dollar AS per kapita per tahun saat ini. Bangsa Arab juga gagal meniru Korea Selatan dan Malaysia yang sukses mengadopsi sistem Barat.
Meletusnya musim semi Arab gelombang pertama tahun 2010-2011 di Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman, kemudian berlanjut musim semi Arab gelombang kedua tahun 2019 di Aljazair, Sudan, Irak, dan Lebanon terjadi akibat gagalnya dunia Arab meniru China, Korea Selatan, Malaysia, atau Singapura pada era modern ini.
Menurut para ahli, bangsa Arab kini mengalami krisis keterpecahan secara luar biasa yang menuntut adanya penafsiran secara psikologis dan sosiologis sebelum penafsiran secara politik atas mudahnya bangsa Arab berpecah belah.
Korban tewas akibat perang atau konflik sesama bangsa Arab jauh lebih besar dari korban tewas akibat konflik bangsa Arab dengan Israel atau musuh bangsa Arab lainnya. Intervensi kuat Iran, Israel, dan Turki atas dunia Arab saat ini tak lain akibat perpecahan dunia Arab itu.
Puncak kemunduran dan sekaligus krisis di dunia Arab saat ini adalah munculnya radikalisme agama terakhir ini, seperti Tanzim Al Qaeda, kemudian kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta kelompok-kelompok radikal lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar