Melalui Peraturan Presiden tanggal 24 Oktober 2019, iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akhirnya resmi dinaikkan. Namun apakah dengan menaikkan iuran, masalah defisit BPJS Kesehatan bisa selesai? Jangka pendek, mungkin bisa. Satu atau dua tahun, kemungkinan besar defisit akan muncul lagi.
Mengapa? Karena akar permasalahan belum diselesaikan secara tuntas. Jika diibaratkan penyakit, defisit BPJS Kesehatan hanya merupakan satu gejala. Ada beberapa gejala lain. Jika ingin mengobati penyakit, tentu sebaiknya melihat secara holistik, keseluruhan. Pelajari gejala-gejala yang lain, tegakkan diagnosa, dan terapi akar permasalahannya.
Selain defisit, ada tiga gejala utama lainnya. Pertama, masih banyak rakyat Indonesia belum mendapat akses ke pelayanan kesehatan yang memadai. Sekitar 45 juta masyarakat belum menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dan 16 juta peserta menjadi non aktif, karena menunggak. Yang sudah menjadi peserta pun sebagian masih sulit mempunyai akses ke fasilitas kesehatan.
Jika ingin mengobati penyakit, tentu sebaiknya melihat secara holistik, keseluruhan.
Menurut survei Riset Kesehatan Dasar (Rikerdas) 2018, masih ada 26 persen masyarakat yang akses ke rumah sakit sangat sulit. Kalau memakai angka tersebut, artinya ada sekitar 55 juta peserta BPJS yang bermasalah dengan akses. Kalau ditotal semua, ada 126 juta penduduk Indonesia yang kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan.
Kedua, selama ini yang miskin menyubsidi yang lebih mampu. Data di tahun 2018 menunjukkan bahwa iuran JKN orang miskin dipakai untuk menyubsidi peserta JKN yang lebih mampu. Prinsip gotong-royongnya terbalik. Padahal prinsip dasar dari jaminan sosial adalah yang mampu membantu yang miskin.
Ketiga, masih banyak keluhan akan pelayanan BPJS. Baik dari pihak peserta, dokter, maupun fasilitas kesehatan. Peserta mengeluh pelayanan yang lama, berbelit-belit, bertele-tele. Menunggu berjam-jam. Bolak balik, dipingpong kesana-kemari.
Rumah sakit menjerit tagihan tak dibayar-bayar. Dalam banyak kasus, penggantian dari BPJS Kesehatan dinilai tak cukup. Dokter mengeluh banyak pembatasan-pembatasan. Honor yang diberikan tidak menghargai profesi.
Akar permasalahan
Defisit, kesulitan akses, yang miskin menyubsidi yang lebih mampu, dan banyak keluhan di pelayanan, semuanya itu saling berkaitan. Jika ingin tuntas, tidak cukup hanya dengan menaikkan iuran. Apakah akar permasalahan dari keempat gejala tersebut?
Defisit, kesulitan akses, yang miskin menyubsidi yang lebih mampu, dan banyak keluhan di pelayanan, semuanya itu saling berkaitan.
Akar permasalahan pertama, adalah batasan manfaat yang belum jelas. Padahal, dana selalu terbatas. Negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) pun, tak mampu menjamin seluruh jenis pelayanan kesehatan. Terapi pelayanan kesehatan banyak yang sangat mahal. Ini yang harus disadari oleh semua pihak. Terapi yang bisa dijamin bukanlah terapi yang maksimal, tetapi yang optimal, disesuaikan dengan dana yang tersedia.
Memang membuat keputusan tentang batasan manfaat, sering kali dihadapkan pada pilihan yang sulit, dan juga tak populer. Seberapa banyak dana yang harus dialokasikan ke program pencegahan seperti promosi hidup sehat, seberapa banyak yang dialokasikan untuk kasus-kasus berat seperti penyakit jantung dan kanker?
Namun, seperti dikemukakan oleh Glassman dkk dalam buku What's In, What's Out: Designing Benefits for Universal Health Coverage (2017), penjabaran mengenai apa yang dijamin dan apa yang tidak dijamin secara eksplisit, adalah kunci pokok untuk keberlanjutan JKN.
Akar permasalahan kedua adalah, sistem kepesertaan masih tergantung pada peran aktif individu. Biar pun sanksi diterapkan, akan masih banyak orang, yang tak akan mendaftarkan diri menjadi peserta. Ini terutama akan terjadi pada orang-orang yang kondisi sosial ekonominya pas-pasan. Bisa pekerja informal, pedagang kecil, petani, nelayan, atau pensiunan. Mereka yang tak bisa dikategorikan miskin, tapi juga sebenarnya belum mampu.
Di Amerika, meski sudah ada program Obama Care, sampai sekarang masih ada sekitar 28 juta orang yang tak mempunyai asuransi kesehatan. Padahal seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial, progam JKN adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Maka sebaiknya, kepesertaannya adalah otomatis, seluruh rakyat Indonesia otomatis menjadi peserta JKN.
Padahal seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial, progam JKN adalah untuk seluruh rakyat Indonesia.
Akar permasalahan ketiga, masalah kolektibilitas. Ada 46,3 persen peserta Bukan Penerima Upah (BPU) yang menunggak iuran. Maka sistem pembayaran iuran harus diubah. Sebaiknya, cara pembayaran iuran dikaitkan dengan pajak penghasilan. Perhitungan iuran yang harus dibayar, disamakan dengan yang harus dibayar peserta Pekerja Penerima Upah (PPU).
Dengan semua rakyat Indonesia otomatis jadi anggota dan iuran dikaitkan dengan pajak penghasilan, administrasi menjadi lebih sederhana. Iuran tak perlu naik tiap tahun, karena sudah menyesuaikan dengan pajak penghasilan. Tak perlu lagi tiap tahun ribut masalah iuran. Untuk mereka yang tak punya pajak penghasilan, sudah sepantasnya jika iuran mereka dibayar oleh pemerintah.
Akar permasalahan keempat, BPJS Kesehatan belum fokus terhadap program pencegahan. Bukannya menurun, data Rikerdas menunjukkan, prevalensi merokok pada remaja justru meningkat dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018. Persentase anak usia 12-23 bulan yang tak mendapat imunisasi dasar lengkap, juga naik dari 40,7 persen di tahun 2013, menjadi 42,1 persen di tahun 2018.
Bukannya menurun, data Rikerdas menunjukkan, prevalensi merokok pada remaja justru meningkat dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018.
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa program pencegahan BPJS Kesehatan selama ini, belum efektif. Padahal kita semua tahu bahwa pencegahan itu bisa menghemat biaya. Hasil riset Ozawa dkk (2016) menunjukkan bahwa satu rupiah uang yang dibelanjakan untuk program imunisasi pada anak-anak, akan menghemat pengeluaran untuk terapi sebanyak 16 rupiah. Dan yang lebih penting, program pencegahan menyelamatkan nyawa.
Akar permasalahan kelima adalah tanggung jawab peserta atas kesehatannya. Jika pesertanya mampu, maka wajar jika diminta untuk ikut memikul biaya. Selama ini, banyak orang-orang yang mampu, jika tahu bahwa akan mengeluarkan biaya yang besar untuk pengobatan, akan segera menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Tentu dari kacamata ekonomi peserta, ini hal yang menguntungkan. Biasanya tiap bulan, harus mengeluarkan biaya Rp 8 juta untuk cuci ginjal, tentu lebih senang kalau hanya mengeluarka Rp 80.000 per bulan sebagai peserta BPJS. Demikian juga untuk kasus-kasus lain, seperti penyakit jantung atau penyakit berat lainnya, yang biayanya bisa puluhan sampai ratusan juta rupiah. Padahal pesertanya mampu. Maka, untuk peserta yang mampu, sebaiknya ada iur biaya dan ada limit yang dijamin.
Perlu terobosan
Memperbaiki kelima akar masalah JKN memang butuh keberanian, butuh terobosan.
Tulisan kolega saya, Prof Hasbullah Thabrany yang mengingatkan bahwa ongkos politik JKN itu mahal (Kompas, 25/10/2019) memang tepat. Amerika butuh perjuangan puluhan tahun untuk dapat memperbaiki sistem JKN melalui Affordable Care Act atau yang lebih dikenal sebagai Obama Care. Itu pun masih menyisakan masalah besar.
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki sistem JKN. Selagi kabinet baru sedang bersemangat untuk melakukan gebrakan-gebrakan. Selagi mayoritas anggota DPR mendukung pemerintah. Selagi BPJS Kesehatan mendapat perhatian khusus dari Presiden. Ibarat penyakit, stadiumnya belum terlanjur lanjut, masih bisa diobati. Maka, peluang emas untuk memperbaiki JKN ini, jangan sampai lepas. Sekali lepas, entah kapan akan ada lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar