Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 November 2019

EDITORIAL: Suu Kyi dan Rohingya (Kompas)


REUTERS/SOE ZEYA TUN

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi berjalan bersama setelah menghadiri  pertemuan para Menlu ASEAN terkait isu Rohingya di Hotel Sedona  Yangon, Myanmar, 19 Desember 2016.

Kekerasan terhadap warga etnis Rohingya pada 2017 mengawali dimulainya tekanan atas Aung San Suu Kyi. Ia dinilai tidak berbuat banyak untuk menyelesaikannya.

Suu Kyi adalah peraih Nobel Perdamaian 1991. Dikenal sebagai tokoh prodemokrasi, ia mengalami penindasan oleh junta militer Myanmar selama bertahun-tahun. Dengan jabatan sebagai Penasihat Negara, Suu Kyi adalah pejabat top di pemerintahan Myanmar.

Namun, Suu Kyi dikecam banyak kalangan setelah terjadi kekerasan terhadap warga etnis Rohingya pada 2017. Sikapnya dinilai tak memihak warga Rohingya yang menjadi korban. Dari semula dipuji sebagai tokoh prodemokrasi, Suu Kyi kini dilihat sebagai pihak yang enggan menentang atau mengecam atas apa yang dialami warga Rohingya.

Ketika kekerasan terhadap warga etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pecah pada 2017, ratusan ribu pengungsi mengalir ke Bangladesh. Sekitar 700.000 warga Rohingya pun tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat di wilayah Bangladesh. Saat hujan turun, kamp itu becek, sementara ketika kemarau, debu beterbangan di lokasi pengungsian Selain itu, dunia terperanjat mendengar kisah memilukan warga Rohingya. Mereka dikejar, disiksa, dan dibunuh.

Myanmar berargumen hanya memburu anggota kelompok ekstrem Rohingya yang menyerang petugas. Meski demikian, di tengah tekanan dunia internasional, sejumlah petugas keamanan akhirnya dijatuhi hukuman oleh otoritas Myanmar karena melanggar disiplin saat bertugas di Rakhine.

Berbagai laporan menyebutkan, apa yang dialami warga etnis Rohingya berakar pada diskriminasi terhadap mereka. Kelompok etnis ini tak diakui sebagai warga negara. Akibatnya, warga Rohingya sejak lama tak mendapat layanan memadai untuk hal-hal dasar, seperti pendidikan. Kemiskinan pun lekat dengan mereka. Di tengah situasi ini, sekelompok warga Rohingya mengorganisasikan perlawanan bersenjata.

Diberitakan harian ini pada Jumat (22/11/2019), setelah sekian lama diam atas tekanan-tekanan terkait isu Rohingya, Suu Kyi akan maju memimpin tim hukum Myanmar dalam sidang di Mahkamah Internasional (ICJ), di Den Haag, Belanda.

Mereka bakal menghadapi tuduhan dugaan genosida yang diajukan Gambia atas nama Organisasi Kerja Sama Islam. Sidang perdananya berlangsung pada 10 Desember 2019. Bagi Gambia, pengajuan tuntutan ke ICJ bertujuan mengirim pesan bahwa dunia tak boleh diam saat ada ketidakadilan.

Tuduhan genosida adalah tuduhan sangat serius. Suu Kyi tentu sangat menyadarinya. Karena itu, seandainya Suu Kyi hendak menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di Rakhine, sekaligus mengungkap sikap yang sesungguhnya, persidangan internasional di Den Haag merupakan "panggung" yang tepat.

Di sisi lain, persidangan tersebut menjadi isyarat bagi pihak mana pun bahwa dugaan praktik kejahatan kemanusiaan tidak akan dibiarkan begitu saja oleh warga dunia, di mana pun mereka berada.

Kompas, 23 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger