Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 November 2019

EPILOG: Musang Berbulu Ayam (PUTU FAJAR ARCANA)

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Kecuali I Doglag, enam anak Men Siap Selem telah berhasil menyeberangi sungai sebelum pagi benar-benar tiba.

Semalam Men Siap Selem berbisik kepada anak bungsunya agar ia bersiasat untuk menghadapi kebuasan Sang Kuwuk.

Doglag tak punya pilihan, jika ia memaksa terbang dengan bulu-bulunya yang belum sepenuhnya tumbuh, bukan tidak mungkin terbawa hanyut arus deras sungai yang sedang banjir. Itu berarti malapetaka!

Ketika pagi mencapai terang tanah, dengan amarah yang membuncah, Sang Kuwuk menemukan I Doglag sedang menggigil ketakutan seorang diri. Dari mulut musang berbulu hitam itu, darah menetes perlahan-lahan sampai akhirnya menyentuh tanah. Hampir seluruh giginya rompal. Dinihari tadi ia menyergap seonggok batu yang ia kira Men Siap Selem yang sedang mengerami anak-anaknya.

"Sekarang kamulah yang harus menebus kelicikan ibumu," Sang Kuwuk geram. Matanya menyeringai dan hidungnya mendengus-dengus menahan marah.

"Kau boleh memangsaku," kata I Doglag,"tetapi aku yakin kau tidak akan puas."

"Mengapa?"

"Selain tubuhku kecil, darahku pahit."

"Apa peduliku. Aku butuh makan."

"Kalau tak percaya, silakan…" kata I Doglag sambil menyodorkan leher dan kepalanya yang belum ditumbuhi bulu.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Musang yang dianggap hama dan diburu dagingnya kemudian dijadikan cinderamata setelah diawetkan, seperti dijual di pintu masuk Keraton Yogyakarta, Minggu (29/4/2007). Dalam fabel, musang kerap dicitrakan sebagai binatang jahat.

Sang Kuwuk tampak ragu. Ia mengendus tubuh I Doglag yang masih bau kencur. Tiba-tiba terbayang dalam pikirannya, kalau ia menunggu sampai tubuh I Doglag lebih besar, tentu ia akan berpesta daging ayam yang kian hari kian langka dinikmatinya.

"Sampai kapan aku harus menunggu?" tanyanya.

"Sampai bulu-buluku tumbuh," jawab I Doglag.

"Mengapa begitu?"

"Itu pertanda darahku sudah tidak pahit lagi."

Siasat I Doglag rupanya berhasil. Sang Kuwuk, mengurungkan niatnya mengunyah mentah-mentah daging Doglag. Sampai suatu hari akhirnya Doglag benar-benar berhasil menyeberangi sungai setelah bulu-bulunya tumbuh sempurna. Lalu keluarga ayam mengejek Sang Kuwuk dari seberang sungai dengan nyanyian:

ngik ngik nguk ngak

ngutgut batu

gigin Sang Kuwuke pungak

mangutgut batu…

Terjemahan bebas dari lagu berbahasa Bali ini kira-kira begini:  ngik ngik nguk ngak/gigit batu/gigi-gerigi Sang Kuwuk rompal/menggigit batu.

Kisah fabel tentang Siap Selem (Ayam Hitam) tadi didongengkan nenek setiap saya menjelang tidur. Kisah yang sama saya ceritakan pula kepada kedua anak saya, Angel dan Rakya, ketika mereka masih kecil. Hampir saban malam dengan cerita yang sama. Rakya yang kritis selalu bertanya,"Kenapa Sang Kuwuk selalu dibilang jahat? Kan ayam memang makanannya?"

KOMPAS/LASTI KURNIA

Luwak menyantap buah kopi pada malam hari. Binatang ini hanya mau buah yang benar-benar masak, segar, dan harum.

Tentu saya harus menjawab sebijak mungkin,"Makanan harus diperoleh dengan cara yang baik agar berguna bagi tubuh. Musang itu kan maunya menipu Men Siap Selem dan anak-anaknya agar mau menginap di rumahnya.

Malam-malam dia berencana menyergapnya, kan?" Biasanya, tak lama setelah Sang Kuwuk menyesali perbuatannya di pinggir kali, anak-anak sudah tidur…Diam-diam saya berpindah ke kamar sebelah, di mana istri saya, Joan beranjak tidur juga.

Dalam kultur agraris, Sang Kuwuk alias musang atau lubak atau juga disebut luwak, hampir selalu dikenang sebagai tersangka pemangsa ayam warga. Lantaran itulah (mungkin) muncul peribahasa yang bernada menyudutkan, seperti: musang berbulu ayam atau di mana kayu bengkok, di sanalah musang meniti.Dua peribahasa ini selalu menempatkan luwak sebagai pencuri.

Para buruh pribumi yang ingin juga mencicipi rasa kopi sebagaimana tuan-tuan Belanda kemudian memungut kotoran luwak, yang kemudian mereka olah menjadi minuman.

Seringkali ia dianggap pura-pura jinak, tetapi sebenarnya punya maksud-maksud jahat terselubung seperti Sang Kuwuk. Bahkan juga dikenal sebagai orang yang senantiasa mengintai, di mana tempat yang tidak dijaga, di sanalah ia akan mencuri. Pesan moralnya, selalu harus berhati-hati dengan "seorang" musang…

Padahal luwak sebenarnya juga pemakan buah-buahan, di antaranya biji kopi yang telah matang sempurna. Lantaran percernaan luwak yang sederhana, dalam kotoran luwak biasanya terdapat biji-biji kopi yang berserakan di bawah pohon.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Musang atau dikenal juga dengan sebutan luwak di kebun kopi di kawasan Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Jumat (17/12/2010).

Saat Pemerintah Kolonial mencanangkan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) antara 1830-1870 di Jawa dan Sumatera, para budak dipaksa dengan ongkos rendah menanam bibit kopi dari Yaman. Kopi jenis Arabica dari Yaman, konon adalah kopi terbaik di dunia.

Belanda menerapkan peraturan yang amat ketat dan keras kepada para buruh, siapa pun yang ditemukan memetik buah kopi akan dihukum berat, termasuk kerja paksa dua kali lebih keras.

Para buruh pribumi yang ingin juga mencicipi rasa kopi sebagaimana tuan-tuan Belanda kemudian memungut kotoran luwak, yang kemudian mereka olah menjadi minuman.

Pada awalnya mereka khawatir kalau-kalau biji kopi yang mereka temukan pada kotoran luwak beracun. Tetapi, terbukti kemudian aroma kopi kotoran luwak memikat hati para tuan Belanda. Sejak itu, kopi luwak menjadi salah satu jenis kopi termahal di dunia.

Ketika kesukaan meneguk kopi bertemu dengan gaya hidup urban, maka menjelmalah kopi luwak sebagai primadona. Rata-rata harganya mencapai Rp 2,5 juta per 453,6 gram.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kopi luwak produksi Agrowisata Kopi Luwak B-36, Kintamani, Bali.

Harga dan kegandrungan orang-orang urban mengejar kopi luwak secara perlahan menggeser kesan yang selama ini melekat pada luwak. Jika melalui dongeng, anak-anak saya mengenal luwak sebagai binatang antagonis, yang selalu jahat, kini mereka juga menjadi bagian dari para penyesap kopi luwak.

Luwak perlahan-lahan dalam diri mereka menjadi binatang protagonis, yang menyediakan saluran pencernaannya untuk melakukan fermentasi terhadap biji kopi. Binatang yang dulu diburu-buru karena dituding "mencuri" ayam petani, kini menjadi sahabat dan mesin produksi yang menghasilkan salah satu jenis kopi terbaik di dunia.

Di luar soal itu, yang jarang kita sadari, ketika kita menyesap secangkir kopi luwak di kafe-kafe yang bertebaran di penjuru kota, sesungguhnya kita sedang memutar ulang ingatan tentang kekejaman Tanam Paksa.

Tak terhitung begitu banyak rakyat bergelimpangan karena kelaparan dan kelelahan, yang dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Kolonial. Padahal sistem kerja paksa inilah yang telah memakmurkan Negeri Belanda antara tahun 1835-1840.

Terbukti Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menggagas Tanam Paksa, Jenderal Johannes van den Bosch, diberi gelar Graaf oleh raja Belanda pada 25 Desember 1839.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Diorama yang menggambarkan sistem tanam paksa zaman penjajahan Belanda di Museum Bank Mandiri. Foto diambil 16 Juli 2019.

Pada setiap hirupan kopi luwak, kita sesungguhnya sedang mengumandangkan doa keprihatinan terhadap sejarah kelam bangsa ini. Bukan tidak mungkin pada cecapan pertama dari bibir cangkir, kita merasakan nasionalisme yang menggebu-gebu.

Eksploitasi terhadap bangsa pribumi sebagai bangsa yang terjajah, sungguh-sungguh di luar batas-batas kemanusiaan. Maka seharusnya, dalam setiap cangkir kopi luwak, kita memberi pesan-pesan kemanusiaan; pesan-pesan persamaan hak sebagai sesama manusia; pesan-pesan kebebasan dari penindasan, dari penjajahan dalam segala bentuk.

Kopi luwak telah menjadi simbol paling ikonik dalam sejarah kebangkitan para petani melawan monopoli dan kerja paksa.

Sudah waktunya pula peribahasamusang berbulu ayam, kita ramahkan menjadi musang berbudi kopi. Artinya, kita perlakukan musang sebaik-baik memperlakukan binatang, yang notebene menjadi bagian penting dalam mata rantai industri gaya hidup di masa kini.

Musang tidak lagi kita stigma sebagai si pencuri ayam, tetapi salah satu binatang liar yang dengan caranya menumbuhkan kafe-kafe di kota-kota, di mana kita setiap hari membicarakan tentang keberuntungan, dan bahkan  tentang kemewahan hidup yang tak habis-habisnya kita reguk.

Lalu kita seruput kopi luwak seharga Rp 100.000 secangkir dengan segenap perasaan suka-cita. Ngik ngik nguk ngak…Semoga semua makhluk berbahagia.

Kompas, 20 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger