Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 16 November 2019

INDUSTRI PELABUHAN: Listrik, Logistik, dan Produktivitas Ekonomi (DOSO AGUNG)


ARSIP PRIBADI

Doso Agung, Direktur Utama PT Pelindo III.

Pemerintahan Jokowi periode pertama 2014-2019 telah menorehkan pelbagai capaian di banyak bidang. Yang paling dirasakan masyarakat dan tampak wujudnya secara fisik adalah pembangunan infrastruktur. Jalan-jalan baru, jembatan, jalan tol, pelabuhan, bandara, dibangun di banyak tempat dari timur hingga barat negeri, menenun Indonesia dari segala penjuru. Laut, udara, maupun darat. Capaian lain adalah program elektrifikasi, yang pada 2014 baru mencapai sekitar 85 persen, dan pada 2019 menyentuh angka 98,85 persen.

Program ini ditopang pembangkitan listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW) yang jadi catatan sejarah tersendiri. Sepanjang berdirinya republik ini, kapasitas listrik terpasang kita baru mencapai sekitar 55.000 MW. Lebih kurang 70 tahun kita membangun daya listrik sebesar 55.000 MW dan hanya dalam 5-10 tahun menambah 35.000 MW.  Apabila ditelusuri dan dilacak prosesnya secara lebih mendalam, program listrik 35.000 MW yang dicanangkan pemerintahan Jokowi tidak hanya dimaksudkan untuk membuat "Indonesia Terang". Mula-mula, program 35.000 MW justru membuat "Indonesia Produktif". Tujuan pertama membuat yang gulita menjadi terang tercapai, di mana elektrifikasi menyentuh lebih dari 98 persen. Lebih dari target yang ditetapkan di awal.

Sementara untuk membuat Indonesia lebih produktif, pembangunan listrik 35.000 MW ditetapkan berdasarkan asumsi atau target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Ketika pertumbuhan ekonomi berada pada angka 5 persen, daya listrik pun menjadi surplus dan belum termanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan produktif lainnya, seperti industri, transportasi, dan perdagangan.
Pemerintah telah merancang berbagai program supaya tingkat konsumsi listrik meningkat mengikuti ketersediaan atau pasokan listrik. Program mobil listrik, misalnya, sedang dirumuskan dan dirancang ekosistemnya, termasuk rancangan perpresnya. Namun, penciptaan ekosistem itu tentu akan perlu waktu dan proses yang tidak singkat dan tak mudah.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Aktivitas bongkar-muat di pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (11/11/2019). Presiden Joko Widodo meminta menteri Kabinet Indonesia Maju yang terkait untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan menggenjot kinerja ekspor melalui pencarian pasar nontradisional dan meningkatkan perjanjian perdagangan bebas dalam meningkatkan ekspor Indonesia.

Sepanjang berdirinya republik ini, kapasitas listrik terpasang kita baru mencapai sekitar 55.000 MW. Lebih kurang 70 tahun kita membangun daya listrik sebesar 55.000 MW dan hanya dalam 5-10 tahun menambah 35.000 MW.

Salah satu sektor yang dapat didorong untuk memanfaatkan suplai listrik yang tersedia secara signifikan adalah di sektor logistik, terutama logistik berbasis kapal laut. Apalagi, Indonesia memiliki kondisi geografis dengan pulau-pulau yang bertebaran di sekujur republik, dan di setiap pulau itu terdapat aktivitas ekonomi yang berbasis transportasi laut.

Komoditas barang dan lalu lintas orang, terutama di Indonesia Timur, sangat bertumpu pada kekuatan moda laut. Mencari terobosan efisiensi dan meningkatkan produktivitas di sektor ini akan membuat aktivitas ekonomi bergerak lebih laju.  Di bidang logistik laut, keberadaan pelabuhan sebagai simpul utama aktivitas manusia dan barang menjadi kunci.

Selama ini, dalam urusan logistik dan aktivitas bongkar-muat di pelabuhan, kebanyakan mengandalkan suplai listrik yang digerakkan dari pembangkit di kapal-kapal barang itu sendiri. Sebagai contoh, di Pelindo III, sampai 2019 ini telah terpasang 10 terminal suplai listrik dari darat (shore connection), yang tersebar di 10 pelabuhan dengan kapasitas daya total 20,1 MW dan secara simultan akan terus ditambahkan di semua pelabuhan yang dikelola. Targetnya, pada 2021 terpasang di 34 pelabuhan dengan daya listrik total 70 MW.

Empat keuntungan

Di banyak negara maju yang memiliki pelabuhan-pelabuhan modern, penggunaan suplai listrik dari darat untuk aktivitas bongkar-muat barang sudah jamak dilakukan. Suplai listrik dari darat atas aktivitas bongkar-muat barang tersebut setidak-tidaknya mendatangkan empat manfaat.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Pelabuhan Tenau Kupang, salah satu pelabuhan pengiriman ternak dari NTT ke daerah lain. Antrean bongkar-muat barang di pelabuhan ini butuh waktu sampai tiga pekan.

Di bidang logistik laut, keberadaan pelabuhan sebagai simpul utama aktivitas manusia dan barang menjadi kunci.

Pertama, bongkar-muat menjadi lebih cepat. Berdasarkan penerapan shore connection di beberapa pelabuhan, aktivitas bongkar-muat berbasis suplai listrik dari darat dapat memangkas waktu, dari sekitar 5-6 hari menjadi 3-4 hari, Semula kapal dengan kapasitas 7.500 GT (gross tonnage) hanya dapat menggunakan 1 ship crane karena harga solar industri cukup tinggi. Dengan suplai listrik dari darat, kapal dapat menggunakan dua  derek dengan biaya lebih efisien. Dari sisi ini, efisiensi yang dihasilkan dapat mencapai minimal berkisar 25-35 persen tergantung dari jenis kapal, teknologi terminal, dan jenis barang yang dibongkar atau dimuat dalam kapal.

Kedua, biaya yang lebih rendah. Apabila bongkar muat dilakukan menggunakan suplai listrik dari kapal, sepanjang waktu bongkar-muat, mesin kapal harus dalam keadaan menyala untuk menggerakkan derek-derek kapal memindahkan kontainer dari satu titik ke titik lain. Dengan demikian, konsumsi BBM kapal pun juga menjadi lebih besar karena selama berjam-jam, mesin kapal harus tetap menyala. Apalagi, apabila pelabuhan itu tak memiliki derek sendiri, dan terpaksa mengandalkan derek dari kapal. Situasi semacam itu mudah kita jumpai di pelabuhan menengah dan kecil di Indonesia tengah dan timur.

Dengan konsumsi BBM yang lebih besar, ongkos bongkar-muat pun menjadi lebih besar. Rentetan berikutnya, harga-harga barang di wilayah tersebut menjadi semakin mahal karena semua biaya yang keluar atas aktivitas bongkar muat barang dibebankan terhadap barang-barang itu. Dengan demikian, biaya logistik pun menjadi semakin tinggi. Belum lagi konsumsi BBM yang semakin besar akan menekan neraca perdagangan dan kemampuan ekonomi nasional, karena BBM kita sebagian besar masih diimpor.

Ketiga, lebih ramah lingkungan. Penggunaan BBM di kapal selama aktivitas bongkar-muat di pelabuhan, menimbulkan dampak lingkungan yang tak dapat dikesampingkan. Mesin kapal yang terus menderu selama aktivitas bongkar, menyebabkan polusi di kawasan pelabuhan menjadi semakin tinggi, dan secara lebih luas menimbulkan penurunan kualitas udara di kawasan itu. Dengan menggunakan listrik saat beroperasi bongkar-muat di pelabuhan, mesin generator kapal dapat dilakukan perawatan sehingga usia pemakaian dapat lebih panjang dan ekonomis.

SAIFUL RIJAL YUNUS

Suasana di Pelabuhan Nusantara Kendari masih terlihat sepi, Jumat (17/5/2019). Jumlah penumpang angkutan laut di Kota Kendari tahun ini diprediksi mencapai 45.000 atau naik 20 persen dari tahun sebelumnya.

Penggunaan BBM di kapal selama aktivitas bongkar-muat di pelabuhan menimbulkan dampak lingkungan yang tak dapat dikesampingkan.

Keempat dan terpenting, penerapan suplai listrik dari darat, jika dilakukan secara serentak di semua pelabuhan yang ada di republik ini, akan dapat menyerap kelebihan produksi listrik yang dihasilkan lewat program 35.000 MW. Dengan jumlah pelabuhan laut di Indonesia sekitar 2.400 buah, baik yang berskala besar, menengah, kecil, maupun pelabuhan atau terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS), apabila seperempat atau sepertiganya saja menerapkan penggunaan  listrik dari darat, konsumsi listrik akan meningkat signifikan.

Salah satu contohnya saat ini fasilitas listrik dari darat dengan daya 1 MW telah tersedia di Terminal Dwimatama, wilayah Pelabuhan Tanjung Emas yang dioperasikan khusus untuk melayani Kapal-kapal PT Pupuk Indonesia Logistic (Pilog). Satu unit kapal membutuhkan daya rata-rata 4.000 KWh/hari dengan asumsi per tahun butuh daya listrik sebesar 1.900 MW/kapal. Sementara penggunaan BBM rata-rata per hari 1,45 ton/hari atau 362,8 ton/tahun.

Dari data rekapitulasi layanan suplai listrik dari darat yang dilakukan PT LEGI, anak usaha Pelindo III, dalam tiga bulan pelayanan pada Juli-September 2019, kapal-kapal yang terlayani sebanyak 16 unit, dengan rata-rata penghematan mencapai 47 persen. Pemakaian BBM sebelumnya Rp 806,4 juta dapat dipangkas menjadi hanya Rp 427,6 juta atau 181.960 KWh (1 liter BBM setara 0,63 KWh). Produktivitas bongkar meningkat rata-rata 40-50 persen, karena kegiatan bongkar mampu dilakukan oleh dua derek kapal, sementara dengan cara lama hanya satu derek kapal.

Keempat keuntungan yang didapat dari penerapan koneksi darat itu memiliki dampak lanjutan yang tak kalah penting. Apabila penurunan biaya dan perbaikan kualitas lingkungan langsung dapat dirasakan, daya saing nasional juga terkerek.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengimplementasikan shore connection seluas dan sebanyak mungkin di setiap pelabuhan dan terminal, sehingga dampaknya dapat dirasakan secara signifikan di seluruh Indonesia. Ini salah satu tantangan di periode kedua pemerintahan Jokowi.  Untuk itu, perlu sinergi dan kolaborasi antarpihak yang lebih luas, baik dari sisi PLN sebagai penyedia daya listrik, pengelola pelabuhan, maupun perusahaan kargo pelayaran. Sinergi ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi.

Untuk itu, perlu sinergi dan kolaborasi antarpihak yang lebih luas, baik dari sisi PLN sebagai penyedia daya listrik, pengelola pelabuhan, ataupun perusahaan kargo pelayaran. Sinergi ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi.

(Doso Agung, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia III (Persero))

Kompas, 16 November 2019


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger