Jika pada periode pertama orientasi pembangunan Presiden Jokowi lebih menitikberatkan pada aspek geografi, dengan pembangunan tak lagi Jawa sentris, tetapi Indonesia sentris, pada periode kedua aspek demografi perlu jadi prioritas orientasi pembangunan. Politik demografi tidak boleh hanya menggema saat hajatan elektoral berlangsung. Namun, setelah memenangi kontestasi dan menjalankan roda pemerintahan, politik demografi perlu menjadi peta jalan dalam setiap agenda pembangunan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal itu penting.
Pertama, sesuai janji politik Jokowi, pada periode kedua aspek pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan jadi agenda utama dan prioritas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan, dari tujuh program strategis, dua di antaranya adalah meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing, serta membangun kebudayaan dan karakter bangsa. Tentu untuk membangun kualitas SDM dan karakter bangsa tidak bisa dipisahkan dari aspek demografi sebagai tahapan pemetaan. Tanpa itu, orientasi pembangunan tak bisa tepat sasaran, bahkan cenderung salah arah.
Kedua, sebagai upaya mendorong pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan ialah model pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi tak mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Mengutip Prijono Tjiptoherijanto (2002), penduduk harus dijadikan titik sentral. Pola pembangunan bersifat bottom-up planning. Tujuan utama seluruh proses pembangunan lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan berkelanjutan ialah model pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi tak mengabaikan kebutuhan generasi mendatang.
Ketiga, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2020-2030. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen berusia tak produktif (14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun). Ledakan usia produktif itu bisa jadi pedang bermata dua. Jika mampu disambut dengan baik, ia dapat mempercepat pembangunan. Namun, jika gagal, justru dapat menjadi beban pemerintah.
Lanskap demografi
Karena itu, Presiden perlu memastikan bahwa para pembantunya mampu memahami lanskap demografi sebagai peta jalan ketika membuat perencanaan pembangunan hingga tahap eksekusi. Kategorisasi, pengklasifikasian, simplifikasi, pendefinisian, dan pemetaan teritori populasi perlu dilakukan supaya perencanaan program pembangunan matang dan tepat sasaran. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, selama ini banyak program kementerian dan lembaga (K/L) masih melenceng dari sasaran pembangunan. Data Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Bappenas menyebutkan, hanya 51,3 persen program K/L yang sesuai dengan indikator RPJMN.
Berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP) 2015, hanya 95 indikator dari 184 indikator dalam RPJMN 2015-2019 yang sesuai dengan program-program kementerian dan lembaga.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, selama ini banyak program kementerian dan lembaga (K/L) masih melenceng dari sasaran pembangunan.
Tentu kita tak ingin program pemerintah yang tak tepat sasaran itu terulang kembali pada pemerintah periode 2019-2024, apalagi fokus periode ini ialah pembangunan SDM. Jika infrastruktur sifatnya statis, SDM bersifat dinamis. Perubahan demografi jauh lebih cepat ketimbang perubahan infrastruktur sehingga survei-survei berkala dan rutin mesti dilakukan setiap K/L untuk membaca pergerakan demografi supaya orientasi pembangunan SDM tak salah arah.
Harus diakui pembangunan kualitas SDM punya korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Rosenzwig (1988) dalam penelitiannya terhadap 94 negara berkembang menemukan hubungan positif 0,49 antara enrollment rate sekolah dasar dari wanita usia 10–14 tahun terhadap peningkatan produk nasional bruto (PNB) per kapita. Demikian pula ditemukan hubungan positif 0,54 antara tingkat melek huruf dan pertumbuhan PNB per kapita (Tjiptoherijanto, 2002).
Pembangunan kualitas SDM merupakan investasi jangka panjang. Hasilnya tak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5-20 tahun untuk melihat hasilnya. Tentu pembangunan kualitas SDM sangat krusial jika Indonesia ingin melakukan lompatan besar di tahun-tahun mendatang. Lebih dari itu, pembangunan kualitas SDM sangat sejalan dengan mimpi dan cita-cita Presiden Jokowi saat pidato seusai pelantikan pada 20 Oktober 2019.
Perubahan demografi jauh lebih cepat ketimbang perubahan infrastruktur sehingga survei-survei berkala dan rutin mesti dilakukan setiap K/L untuk membaca pergerakan demografi supaya orientasi pembangunan SDM tak salah arah.
Dalam pidatonya, Presiden bercita-cita pada 2045—tepat satu abad RI merdeka—Indonesia telah mampu keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Selain itu, Presiden juga ingin produk domestik bruto Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS di 2045. Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.
Tentu sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia harus optimistis menggapai cita-cita itu. Apalagi, menurut Sri Mulyani (2019), yang membeberkan pengalamannya saat bekerja di Bank Dunia selama kurang lebih enam tahun, ada tiga faktor utama yang menjadikan suatu negara bisa maju dan sukses, yaitu institusi (birokrasi) yang kompeten dan bersih, sumber daya manusia yang berkualitas, dan infrastruktur yang memadai.
Prasyarat-prasyarat itu secara pelan tapi pasti mulai terpenuhi. Poin pertama dan ketiga sudah berjalan, sementara poin kedua akan digenjot selama lima tahun mendatang. Untuk membangun SDM berkualitas sebagai salah satu prasyarat penting negara maju, pendekatan politik demografi mutlak perlu dilakukan sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menjawab tantangan-tantangan fundamental pembangunan kualitas SDM yang ada.
(Ali Rif'an Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia)
Kompas, 4 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar