Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 November 2019

KOLOM: ”Cui Bono?” (TRIAS KUNCAHYONO)

INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018.

Ketika itu, tahun 80 SM. Untuk pertama kalinya, sebagai pengacara, Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) tampil di depan publik, di pengadilan Roma. Cicero, masih muda, 26 tahun. Ia memegang kasus pembunuhan. Terdakwa dalam kasus pembunuhan itu adalah Sextus Roscius.

Sextus Roscius adalah seorang warga negara Romawi asal Ameria. Ia diadili dengan dakwaan membunuh ayahnya, Sextus Roscius Senior. Dan, Cicero menjadi pembelanya. Dengan suara lantang, Cicero, pengacara muda itu, dalam pidato pembelaannya yang diberi judul "Pro Sexto Roscio Amerino" mengatakan, "Cui bono?" Siapa yang mendapatkan keuntungan? Siapa yang mendapatkan keuntungan dalam kasus pembunuhan Sextus Roscius Senior itu.

Pertanyaan seperti itu biasa ditanyakan oleh orang-orang Romawi kuno ketika berharap dapat menembus kabut kemungkinan penyebab masalah; membongkar misteri di balik sebuah peristiwa. Karena itu, pertanyaan seperti itu biasa dikemukakan dalam kasus penyelidikan tindak kriminal. Cicero mengatakan:

"Cassius ille, quem populus Romanus verissimum et sapientissimum iudicem putabat, identidem in causis quaerere solebat, 'cui bono' fuisset. Sic vita hominum est, ut ad maleficium nemo conetur sine spe atque emolumento accedere." Terjemahan bebasnya: "Lucius Cassius yang terkenal, yang oleh orang-orang Romawi dianggap sebagai hakim paling jujur dan paling bijaksana, sering mengatakan dalam mengevaluasi kasus-kasus 'siapa yang mendapat untung' (cui bono fuisset). Ini adalah cara manusia: tidak ada yang mengejar—melakukan—kejahatan tanpa harapan memperoleh keuntungan."

BRITANNICA.COM

Marcus Tullius Cicero, tokoh militer dan cendekiawan asal Romawi, sebagaimana ditampilkan dalam laman Britannica.com.

Lucius Cassius, yang nama lengkapnya adalah Longinus Ravilla adalah hakim Romawi yang sangat terkenal. Menurut Cicero, Lucius adalah hakim yang "jujur dan bijaksana". Nama Lucius Cassius sangat terkenal, ketika itu, karena ada begitu banyak hakim lain, yang tidak jujur dan tidak bijaksana dalam mengambil keputusan. Tetapi, tidak demikian Lucius. Ia mempunya kebiasaan, saat menangani sebuah kasus, terus-menerus bertanya, Cui bono?

Lucius mempunyai keyakinan—dalam suatu kejahatan atau skema politik—hal yang terbaik untuk mulai membongkar kasus itu adalah dengan melihat, tidak harus terhadap tersangka, tetapi orang-orang yang dalam posisi memperoleh keuntungan atau manfaat paling besar dari kasus tersebut. Manfaat atau keuntungan tersebut tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk lain, semisal keuntungan politik.

Ada tiga pertanyaan utama yang diajukan: "Siapa yang memperoleh keuntungan?"; "Bagaimana mereka mendapatkan keuntungan?"; dan "Dengan cara apa mereka mendapatkan keuntungan?"

Dalam rumusan lain, Harold Dwight Lasswell (1902-1978), seorang ilmuwan politik AS dalam bukunyaPower and Society: A Framework for Political Inquiry (1950), yang ditulis bersama Abraham Kaplan, mengartikan politik dalam pengertian yang sangat pragmatis: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana?

Seperti yang dijelaskan oleh Lucius juga Cicero, pengertian "mendapat apa?" tidak selalu berarti yang bersifat fisik, material, melainkan juga yang non-material. Misalnya, kedudukan, jabatan, gengsi, harga diri, dan juga peluang untuk meraih kekuasaan di masa depan, serta peluang untuk korupsi. Oleh karena itu, sangat wajar kalau dalam usaha "mendapatkan sesuatu" itu, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik dan (bukan tidak tertutup kemungkinan), akan menggunakan atau menghalalkan segala cara, mengutip istilah Niccolo Machiavelli

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga melintas di sekitar mural yang menggambarkan tentang orang yang berebut kekuasaan di pagar tembok di Penjaringan, Jakarta, Selasa (21/2/2017).

Karena itu, dahulu kala seorang Kaisar Romawi, Augustus (63SM-14M), pernah mengingatkan, "Hati-hatilah karena banyak perbuatan jahat dapat berasal dari permulaan yang baik." Padahal, dalam politik ada istilah yang disebut political virtue, kebajikan politik. Dengan kata lain, dalam berpolitik, kebajikan semestinya tidak dapat ditinggalkan, tidak dapat dilupakan. Sebab, urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral.

Itulah sebabnya, dalam dunia politik muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral. Misalnya, kesetiaan dan dedikasi atau pengkhianatan, ingkar janji, tidak bertemunya antara ucapan dan perbuatan. Tetapi, "politik adalah sebuah drama karakter dan keadaan yang tiada akhirnya" (Andrew Gamble, 2018).

Oleh karena itu, dunia politik terus-menerus mengagetkan: yang sebelumnya memegang teguh nilai-nilai kesetiaan, tiba-tiba mendadak sontak menjadi tidak setia atau berkhianat; yang berdedikasi dengan enteng tidak bertanggung jawab; juga sebaliknya, yang sebelumnya bermusuhan, bisa dengan "mudah" menjadi kawan; bahkan mungkin menjadi kawan yang sangat dipercaya. Bisa juga yang sebelumnya kawan, sekutu, berbalik menjadi musuh, pesaing.

Ujungnya, pertanyaan "Siapa kawan kita dan siapa musuh kita?" pun sulit dijawab atau dirumuskan secara pasti. Siapa kawan dan siapa lawan, bisa setiap saat berubah: yang kawan jadi lawan dan yang lawan jadi kawan. Oleh karena itu, menurut Andrew Gamble, politik dapat menyatukan orang melalui dialog dan negosiasi. Politik juga bisa memecah mereka dan mengobarkan ketegangan dan memperdalam perpecahan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan selamat kepada Joko Widodo karena terpilih kembali sebagai presiden periode 2019-2024, Sabtu (13/7/2019). Prabowo yang menjadi rival politik Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019 kemudian masuk ke pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.

Yah, itulah politik, yang "saat ini memiliki reputasi yang buruk". Memang, tidak selalu demikian. Ada suatu masa dan budaya politik dipandang sebagai salah satu kegiatan manusia yang paling luhur, paling tinggi, dan paling penting. Semua itu terjadi bila tujuan utama (dan itu diusahakan benar dengan sungguh-sungguh), politik adalah untuk mewujudkan bonum commune, kemaslahatan bersama; kesejahteraan umum.

Kesejahteraan umum harus menjadi cita-cita yang senantiasa dikejar dan diusahakan. Kesejahteraan umum makin mungkin diwujudkan jika keadilan, kemakmuran, dan kedamaian terus-menerus direalisasikan.

Dengan demikian, politik sesungguhnya berwatak mulia. Dan, apa semestinya jawaban terhadap pertanyaan Lucius Cassius dan diulangi Cicero, Cui bono? Dari drama politik sekarang ini, jawabannya adalah sangat jelas: Rakyat! ***

Kompas, 5 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger