Kota-kota tidak dapat direncanakan dan dibangun dengan mengakomodasi semua sudut pandang yang ada. Secara proporsional, berbagai pendapat memang dapat menjadi bahan pertimbangan. Namun, prinsip-prinsip yang bersifat general atau berlaku umum perlu dibuat sebagai dasar mengatur kawasan secara utuh untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.
Pembangunan di Jakarta terus berdenyut. Di luar upaya mengatasi masalah menahun dengan menggulirkan proyek antisipasi banjir, kemacetan, dan pembangunan jaringan transportasi publik, wajah Ibu Kota juga tak berhenti dipoles. Revitalisasi trotoar, merapikan utilitas, meremajakan pohon-pohon di jalur hijau, membangun jalur sepeda, hingga membenahi jembatan penyeberangan orang (JPO) yang hadir dengan desain beragam.
Di ruas utama Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin, trotoar lebar dan cantik sudah mengakrabi warga Jakarta dan siapa saja yang kebetulan melintas di sana atau memang sengaja bertandang untuk merasakan fasilitas publik yang tergolong baru itu. Di kawasan Cikini di Jakarta Pusat dan Palmerah di Jakarta Barat, sebagian trotoarnya tengah dibenahi. Di Cikini, kabel-kabel utilitas yang biasanya centang perenang mengganggu pemandangan kini tak terlihat karena telah dimasukkan ke dalam boks utilitas di bawah trotoar.
Fasilitas jalur sepeda mulai bisa dilintasi penggemar kendaraan roda dua tanpa mesin itu, antara lain, di sebagian Jakarta Selatan hingga ke Sudirman-Thamrin. Adanya jalur sepeda sepanjang 63 kilometer ini terobosan besar bagi Jakarta. Namun, pekerjaan besar masih menanti, yaitu membatasi penggunaan kendaraan bermotor, memperluas cakupan layanan transportasi publik, serta menjamin keamanan dan integrasi antara jalur sepeda dan akses angkutan umum.
Baca juga : My Name is Bon
Selain itu, di luar trotoar, fasilitas bagi para pejalan kaki, yaitu JPO, sejak satu-dua tahun terakhir pun tak luput jadi pembicaraan. Setelah ada pelican crossing, semacam zebra cross yang dilengkapi tombol dan lampu pengatur lalu lintas, beberapa JPO yang dibangun dengan desain cantik turut hadir. Tata lampu indah melengkapi JPO sehingga tetap terlihat indah di malam hari.
JPO-JPO yang nyaman dan aman dipakai serta sedap dipandang yang tak lupa menarik diabadikan dalam gambar ataupun video itu khususnya hadir di ruas Sudirman-Thamrin, di antaranya di dekat Senayan. Kini, ada pula JPO yang dipangkas atapnya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho di Jakarta, Rabu (6/11/2019), mengatakan, kanopi JPO di dekat Gedung Wisma Bumiputera, kawasan Sudirman, sengaja dicopot untuk menambah pengalaman baru bagi publik Jakarta. Hal yang dimaksud adalah masyarakat bisa melihat pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang di Sudirman hingga Jalan MH Thamrin tanpa terhalang kanopi.
Baca juga : Biasa Benar, Benar Biasa
"JPO tidak hanya sarana menyeberang, tetapi juga sarana untuk menambah pengalaman baru. Orang menyeberang, melihat kiri-kanan, trotoarnya bagus, lihat gedung-gedungnya bagus. Mungkin barangkali ingin narsis selfie ria, foto-foto karena suasana bagus," ujar Hari.
JPO tidak hanya sarana menyeberang, tetapi juga sarana untuk menambah pengalaman baru. Orang menyeberang, melihat kiri-kanan, trotoarnya bagus, lihat gedung-gedungnya bagus. Mungkin barangkali ingin narsis selfie ria, foto-foto karena suasana bagus.
Ia menambahkan, kanopi JPO tersebut dibuka karena berada di kawasan terbuka. Hal berbeda jika fungsi JPO menyambungkan antara trotoar dan halte.
"Yang dikhawatirkan orang-orang, kan, kehujanan dan kepanasan. Lah, kan, trotoar kita memang sudah terbuka. Kalau kehujanan otomatis orang enggak akan menyeberang, dong? Kan, hujan. Kalau (JPO) menghubungkan ke halte, itu tetap kanopinya harus ditutup. Masak orang mau naik Transjakarta basah kuyup," kata Hari seperti dikutip dari Kompas.id, 6 Oktober lalu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendukung penataan yang mengedepankan aspek estetis tersebut. Hal ini ditunjukkan, antara lain, saat ia berswafoto di salah satu JPO keren di Sudirman beberapa bulan lalu. Dukungan senada ditujukan pula untuk penataan trotoar, jalur hijau, jalur sepeda, dan kabel utilitas di beberapa lokasi di Jakarta.
Logika estetika
Filsuf Jerman yang juga disebut sebagai peletak dasar estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten, menyatakan bahwa estetika atau ilmu keindahan merupakan seni berpikir analogis ke rasionalitas.
Penelitian Wahyu Akomadin dari Universitas Indonesia, Estetika sebagai Logika: Pemikiran Alexander Gottlieb Baumgarten tentang Estetika (2008), antara lain, menyimpulkan bahwa keindahan adalah kualitas perasaan yang timbul apabila pada waktu mempersepsi suatu benda atau gagasan, di dalam pikiran dan hati perseptor timbul kepuasan tanpa adanya pentingan apa pun. Kenikmatan itu bisa dipandang sebagai kualitas dari benda itu sendiri.
adalah kualitas perasaan yang timbul apabila pada waktu mempersepsi suatu benda atau gagasan, di dalam pikiran dan hati perseptor timbul kepuasan tanpa adanya pentingan apa pun. Kenikmatan itu bisa dipandang sebagai kualitas dari benda itu sendiri.
Merujuk pada estetika Baumgarten itu, Vesa Vihanninjoki dari Universitas Helsinki, Finlandia, yang mendalami filsafat estetika dan urban estetika dalam jurnalnya, Urban Aesthetics Revisited, terbitan Research Gate tahun 2017 melontarkan pertanyaan, "Apa itu urban estetis atau keindahan kota dan mengapa?"
Vesa menyatakan, pada tingkat konseptual, ada anggapan wacana urban yang mirip dunia seni. Selalu ada cerita umum tentang sejarah dan perkembangan lingkungan perkotaan. Masalahnya adalah tidak ada narasi utama tentang esensi kota tertentu. Sebaliknya, kata Vesa, sejarah kota mana pun biasanya penuh konflik, dan lingkungan perkotaan telah berkembang sepanjang perjuangan atau dinamika politik terus-menerus yang berdampak pada karakteristik kota.
Hal ini akan tampak pada fisik kota, kondisi sosial dan aspek fungsional, serta dimensi simbolis dan estetika. Alih-alih mengkristalkan esensi kota dan estetika, dampak dari dinamika politik terus-menerus sering kali memunculkan ketidaksesuaian tata kota. Vesa menuliskan ketidaksesuaian akibat dinamika politik itu bahkan kadang terkesan hadir seperti ingin saling membungkam, yang mungkin bisa diartikan antar-rezim penguasa tidak saling berkesinambungan programnya.
Vesa yang juga menerbitkan jurnalnya pada 2019 berjudul Urban Places as Aesthetic Phenomena mengingatkan, estetis tidak semata indah. Ini karena indah itu sangat subyektif. Dalam konteks kota, keindahan juga harus berkorelasi kuat dengan fungsi, bagaimana suatu fasilitas kota misalnya berfungsi baik dari sisi sosial dan teknis sesuai kebutuhan komunitas atau warga di sekitar fasilitas tersebut.
Vesa menegaskan, kawasan perkotaan menjadi signifikan karena menjadi sentral pembangunan struktur fisik dan pusat berlangsungnya kehidupan warga sehari-hari. Pada perkembangannya, kawasan perkotaan menjadi pasar dan tempat mem-branding produk, termasuk produk politik. Penataan berbasis keindahan menjadi penting dan sering dicatut demi merangkul pasar.
Berkelanjutan
Seperti diutarakan oleh Hari Nugroho, membangun dan menata kota dengan tujuan memberi pengalaman menyenangkan bagi warganya tidaklah salah. Seperti adanya JPO tanpa atap atau saat DKI menebang pohon-pohon tua akasia dan menggantinya dengan tabebuya yang berbunga warna-warni, tapi tidak terlalu ampuh menyerap polusi udara.
Namun, agar lebih bermanfaat bagi warga, penataan kawasan yang juga mementingkan aspek estetis harus bisa dijamin mampu mewujudkan kota yang berkelanjutan. Seperti dikatakan Vesa, kota mewadahi everyday livesuntuk itu yang terpenting adalah fokus utama pada memastikan kehidupan perkotaan berjalan baik. Kehidupan perkotaan berjalan baik jika fungsi-fungsi pelayanan publik, seperti sistem jaringan transportasi massal, penataan jalur hijau, taman kota, antisipasi banjir, juga upaya mengurangi polusi, terwujud memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar