Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 November 2019

TAJUK RENCANA: Amendemen Jangan Buat ”Ambyar” (Kompas)


KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Ketua MPR Bambang Soesatyo dan sembilan wakil ketua MPR mengadakan rapat pimpinan di Jakarta, Rabu (9/10/2019). Rapat tersebut di antaranya memutuskan bahwa MPR periode ini akan menindaklanjuti rekomendasi untuk melanjutkan kajian terkait amendemen konstitusi.

Amendemen konstitusi harus dilakukan dengan pikiran politik jernih, tidak mengejar target politik, dilakukan secara hati-hati agar bangsa ini tidak ambyar.

Fenomena ambyar ditulis Sindhunata dalam Kompas, 20 November 2019. Sindhunata menggambarkan situasi politik kontemporer, yang dalam politik orang dengan mudah mengkhianati kesetiaan, mengingkari komitmen, dan menjerumuskan diri dengan perselingkuhan baru.

Dalam latar belakang itulah, gagasan amendemen konstitusi ditempatkan. Siapa menjamin amendemen konstitusi hanya dilakukan terbatas pada satu pasal yang memberikan kewenangan kepada MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)? Secara matematis-politis, koalisi pemerintahan bisa saja mengarahkan amendemen konstitusi. Namun, siapa menjamin tak ada penumpang terang atau penumpang gelap ketika pintu amendemen konstitusi dibuka?

MPR berhak mengubah konstitusi. Namun, kampanye perubahan terbatas konstitusi hanya satu pasal—MPR berhak menetapkan GBHN—adalah upaya mengelabui kesadaran publik. Perubahan satu pasal itu akan terkait dengan pasal menyangkut posisi Presiden dan MPR. Memaksakan perubahan UUD 1945 hanya satu pasal tanpa penyesuaian pasal lain hanya akan membuat tatanan konstitusi tidak karuan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin berbincang bersama Wakil Presiden ke-12 Jusuf Kalla usai dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 dalam sidang paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). 

Diskursus di media membuktikan telah muncul gagasan menyangkut masa jabatan presiden yang ingin diperpanjang menjadi tiga periode (15 tahun) atau satu periode menjadi tujuh tahun atau delapan tahun. Konsekuensi dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara, muncul gagasan pemilihan presiden dilakukan melalui MPR. Ada lagi gagasan penguatan DPD.

Pemikiran pemilihan presiden oleh MPR adalah pikiran mundur. Alam pikiran yang didasari kenikmatan akan kekuasaan. Kekuasaan itu memang menggetarkan, kekuasaan itu memang memesona, sehingga semua orang tergiur meraih dan bagaimana mempertahankannya.

Kita mengharapkan elite politik bersikap terbuka dan jujur. Ikuti saja prosedur amendemen konstitusi yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Usul perubahan UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurangnya 1/3 anggota MPR.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna MPRdi Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Sepertiga anggota MPR setara dengan 237 orang. Pendukung pemerintah (PDI-P, Partai Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP) ditambah Gerindra berjumlah 427 sudah sangat melebihi. Setiap usulan perubahan diajukan tertulis beserta alasannya. Jadi, jangan hanya menyuarakan jargon amendemen terbatas.

Untuk mengubah pasal dalam UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR atau 474 anggota MPR. Artinya, butuh lobi politik dengan partai di luar pemerintah atau melobi anggota MPR dari DPD untuk menggenapkan dukungan.

Sementara putusan mengubah pasal dalam UUD dilakukan dengan persetujuan 50 persen ditambah satu anggota MPR. Kita ingatkan, amendemen konstitusi bukan hanya soal matematis-politis. Deliberasi amendemen konstitusi baik-baik saja, tapi jangan sampai membuat bangsa ini ambyar.

Kompas, 23 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger