Pada 2015, kesepakatan yang didahului negosiasi rumit dan panjang disetujui Iran bersama Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Perancis, Inggris, Jerman, dan Uni Eropa. Lewat kesepakatan ini, Iran setuju mengerem aktivitas nuklir sehingga tidak ada lagi potensi negara itu untuk memiliki bom atom. Imbalannya, sanksi keras ekonomi atas Iran dicabut. Teheran bisa menjual minyak, berbisnis dengan perusahaan asing, dan sebagainya. Tentu saja kubu-kubu yang berseberangan dengan Iran di Timur Tengah melihat Kesepakatan Nuklir mengancam posisi mereka. Iran dinilai oleh mereka, antara lain, masih leluasa mendukung milisi di berbagai wilayah.
Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS, salah satu agenda yang hendak diwujudkannya ialah menarik Washington dari Kesepakatan Nuklir Iran. Hal itu terwujud pada 2018. Dampaknya, satu per satu perusahaan asing mundur dari perjanjian bisnis dengan Iran. Perusahaan asing tak mau berbisnis dengan pihak Iran sebab bisa dikenai hukuman oleh AS.
Harapan Iran untuk mendulang investasi guna memacu pertumbuhan ekonominya kandas. Kondisi ini menimbulkan tekanan di dalam negeri. Sejumlah demonstrasi warga terkait dengan kesulitan ekonomi sempat terjadi di wilayah Iran.
Eropa tidak bisa berbuat apa-apa. Sikap mereka tetap sama, yakni meminta Iran mematuhi Kesepakatan Nuklir.
Setelah Presiden Hassan Rouhani mengumumkan negara itu mengurangi komitmen dalam Kesepakatan Nuklir, Teheran sejak Rabu (6/11/2019) kemarin mengalirkan gas uranium heksafluorida ke 1.044 mesin pemutar ekstracepat di reaktor Fordo. Dalam mesin pemutar, gas uranium heksafluorida diolah menjadi uranium, bahan bom nuklir. Seperti ditulis harian ini, langkah itu merupakan aksi keempat Iran mengurangi komitmen Kesepakatan Nuklir 2015.
Eropa tidak bisa berbuat apa-apa. Sikap mereka tetap sama, yakni meminta Iran mematuhi Kesepakatan Nuklir. Kenyataannya Iran tetap melanggarnya karena Eropa tak bisa meringankan sanksi atas negara itu. Pemerintah negara-negara Eropa bisa saja secara formal mempersilakan perusahaan swasta berbisnis dengan Iran, tetapi pada praktiknya, hal itu tak mungkin dilakukan. Perusahaan-perusahaan tidak ingin dihukum oleh otoritas AS gara-gara berbisnis dengan Iran.
Semua pihak sekarang terkunci. Keinginan Iran untuk mendatangkan investasi asing tak terwujud, sementara harapan Eropa agar Iran menghentikan aktivitas nuklir tidak menjadi kenyataan. AS di sisi lain tetap ngotot untuk menerapkan sanksi karena menuduh Iran aktif membiayai milisi dan mengembangkan rudal balistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar