Kita sepandangan dengan visi dan persepsi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tentang pendidikan di Kompas, Kamis (7/11/2019).
Antara lain perlunya link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara konten pendidikan dan kebutuhan industri. Ini konsep yang sudah digaungkan sejak dekade 1980-an dan 1990-an. Penalaran konsep ini pun kita masih hafal, yaitu agar keluaran pendidikan sesegera mungkin terserap dunia industri. Bahasa ringkasnya, lulusan sistem pendidikan harus siap pakai.
Mengapa setelah sekian lama digaungkan, kita menggaungkannya lagi? Menteri Nadiem melihat, selama 20 tahun terakhir ada yang tidak berubah dalam pola pendidikan kita.
Kini, di era disrupsi, ketika menyongsong Revolusi Industri 4.0, yang ditandai munculnya sejumlah teknologi baru yang banyak mengubah jenis pekerjaan (banyak yang didukung oleh otomasi/robotika), dan dengan demikian juga cara orang bekerja, penyusunan link and match tak semudah dulu.
Bagaimana link and match bisa diprogram jika jenis pekerjaan baru yang akan muncul belum kelihatan di depan mata. Di sinilah kita menggarisbawahi pandangan Menteri Nadiem bahwa insan hasil institusi pendidikan tidak semata berbekal pengetahuan. Mereka juga harus menjadi insan pembelajar (bahkan tak sedikit yang menegaskan mereka harus pembelajar sepanjang hayat, life-long learner).
Dari situlah perubahan bisa dimulai. Bahwa guru atau dosen tidak menggunakan seluruh waktu mengajar untuk semata transfer pengetahuan, yang mungkin akan ketinggalan zaman ketika siswa/mahasiswa selesai studi.
Guru dan dosen harus menyisihkan waktu memberikan motivasi agar siswa/mahasiswa menjadi pembelajar seumur hidup, menjadi insan yang punya empati, kreatif, mampu berkomunikasi (punya keterampilan komunikasi interpersonal), dan bisa berkolaborasi atau bekerja dalam tim.
Guru dan dosen harus menyisihkan waktu memberikan motivasi agar siswa/mahasiswa menjadi pembelajar seumur hidup.
Menteri menambahkan, dunia industri kurang mengeluhkan karyawan yang kurang pengetahuan atau kemampuan teknis, tetapi lebih mengeluhkan karyawan yang kurang inisiatif, tak bisa bekerja dalam tim, tak percaya diri dalam mengambil keputusan, tidak komunikatif dalam mengutarakan ide, dan tidak disiplin menghargai waktu.
Masih banyak lagi yang bisa kita gali dari Menteri Nadiem, tetapi sekilas pandangan di atas memberikan gambaran akan lingkup persoalan, dan dengan itu, prioritas mana yang harus didahulukan. Mengingat rumit dan besarnya persoalan, Menteri tak dapat menjanjikan hasil cepat, bahkan mungkin program berpeluang tidak berhasil. Tetapi, kita memberikan waktu meski ada banyak hal yang sifatnya mendesak.
Hadirnya sosok Nadiem merupakan faktor plus bagi upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi, segenap keunggulan yang ia miliki masih harus diuji menghadapi kultur dan mentalitas birokrasi yang boleh jadi belum sinkron untuk mendukung programnya. Kita berharap, Menteri Nadiem sukses membawa terobosan bagi pendidikan nasional.
Kompas, 8 Nobvember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar