Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 November 2019

TAJUK RENCANA: Mahdi Memperluas Reformasi (Kompas)


AFP/SABAH ARAR

Pengunjuk rasa di Irak, Minggu (10/11/2019), melihat potret para pengunjuk rasa yang menjadi korban dalam bentrokan dengan pasukan keamanan di Lapangan Tahrir, Baghdad. Para pengunjuk rasa di Irak kembali turun ke jalan untuk menggelar aksi antipemerintah.

Amnesty International mencatat lebih dari 250 orang tewas selama unjuk rasa di Irak dalam sebulan. Sabtu (9/11/2019), enam orang tewas akibat peluru tajam aparat.

Amnesty International (AI) meminta pihak berwenang Irak segera mengendalikan aparat keamanan setelah enam pemrotes tewas di dekat Lapangan Merdeka, Baghdad. Di Basra, delapan pemrotes tewas sejak Kamis lalu. AI meminta pihak berwenang mengakhiri "penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar hukum" dan yang bertanggung jawab untuk itu harus dibawa ke pengadilan.

Unjuk rasa tanpa pemimpin ini dipicu oleh kesulitan ekonomi, maraknya korupsi, dan besarnya jumlah pengangguran. Demonstrasi diawali di ibu kota Irak, Baghdad, dan bagian selatan negeri itu, seperti Basra.

Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Abdel Mahdi akan tetap menjabat.

Pengunjuk rasa menolak proposal pemerintah untuk melakukan reformasi terbatas di bidang ekonomi. Perdana Menteri (PM) Adel Abdul Mahdi (77) meraih kekuasaan lewat aliansi ulama Syiah populis, Muqtada al-Sadr, dan Hadi al-Amiri, pemimpin jaringan paramiliter Hashsha-Shaabi.

Demo ini sempat menggoyangkan dukungan Sadr, tetapi Mayjen Qassem Soleimani, Kepala Pasukan Operasi Asing Garda Revolusi Iran, berhasil membujuknya untuk kembali. "Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Abdel Mahdi akan tetap menjabat," kata sumber AFP.

Kepastian dukungan itu membuat Pemerintah Irak berniat menyelesaikan unjuk rasa dengan cara apa pun, termasuk menggunakan kekerasan. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Irak Yassin Taher al-Yasiri membantah aparat keamanan menggunakan peluru tajam untuk mengatasi unjuk rasa di jalan-jalan menuju Lapangan Merdeka.

IRAQI PRIME MINISTER MEDIA OFFICE/HANDOUT VIA REUTERS

Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi

Sebaliknya, PM Mahdi berjanji akan memperluas reformasi sesuai dengan tuntutan pengunjuk rasa, termasuk reformasi aturan pemilu serta pergantian beberapa pejabat penting, sesegera mungkin. Namun, Mahdi tidak menyebut secara pasti perubahan yang dimaksud. Menurut Mahdi, kerugian akibat unjuk rasa bernilai miliaran dollar AS.

Namun, ulama terkemuka Syiah lainnya, Ayatollah Ali al-Sistani, menegaskan tidak terlibat dalam kesepakatan dalam upaya mempertahankan PM Mahdi. Bahkan, Sistani menyatakan, adalah tanggung jawab aparat untuk memastikan unjuk rasa berlangsung damai dan menghindari penggunaan kekuatan berlebihan menghadapi pengunjuk rasa.

Meski mendapat dukungan Iran, di dalam negeri Mahdi harus berusaha mendapat pengakuan dari Sistani agar situasi Irak bisa membaik. Penggunaan kekerasan secara masif juga tidak akan efektif dan hanya akan mendatangkan sorotan dari luar negeri.

Janji Mahdi untuk melakukan reformasi yang cukup luas harus sesegera mungkin diumumkan. Selain untuk meredam meluasnya aksi unjuk rasa, pengumuman itu bisa menjadi pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan Sistani yang dukungannya sangat dibutuhkan bagi Mahdi.

Kompas, 11 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger