Keberadaan "desa fiktif" yang dikaitkan dengan dana desa menunjukkan kemendesakan perbaikan dan pengawasan kelembagaan di berbagai tingkat.
Istilah desa fiktif muncul dalam rapat kerja antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Komisi XI DPR, Senin (4/11/2019). Menkeu menerima laporan perihal desa fiktif dari Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan dalam rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian.
Terdapat 56 desa yang diduga fiktif di Sulawesi Tenggara. Hasil pemeriksaan polisi terhadap 23 desa di Kabupaten Konawe yang tidak terdaftar ke Kementerian Dalam Negeri, dua desa tidak memiliki warga (Kompas, 10/11/2019).
Keberadaan 56 desa tersebut, seperti diungkap harian ini, memang tidak pernah tercantum di dalam peraturan daerah. Walakin, ke-56 desa itu tercatat di laman Kemendagri.go.id. Desa-desa itu disebutkan memiliki kode wilayah berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Konawe Nomor 2/2002.
Fakta lain, desa-desa yang secara administratif tidak terdaftar di dalam peraturan daerah ternyata memiliki wilayah, warga, dan perangkat desa. Pemilihan dan pelantikan kepala desa serta penyaluran dana desa juga berjalan selama ini.
Kediaman salah seorang warga Desa Lerehoma, Anggaberi, Konawe, Sulawesi Tenggara, seperti terlihat pada Minggu (10/11/2019). Desa yang hanya dihuni 33 keluarga ini dibuat berdasar Perda Nomor 7/2011 yang diketahui fiktif. Meski demikian, sejak 2017, desa ini menerima dana desa yang totalnya miliaran rupiah.
Indonesia memiliki wilayah geografi yang luas dan terserak di sejumlah pulau. Beberapa wilayah belum memiliki infrastruktur jalan dan telekomunikasi yang baik. Menjangkau desa dari ibu kota kecamatan dan atau kabupaten tempat pusat pemerintahan daerah bisa jadi memang tidak mudah.
Meski demikian, hal tersebut tidak bisa menjadi alasan terjadinya kelalaian, dalam hal ini tidak terjadi pengawasan ketika desa terbentuk tanpa melalui peraturan daerah.
Keberadaan desa fiktif menjadi perhatian setelah diungkap Menteri Keuangan dalam rapat kerja bersama DPR dan diliput media massa. Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya telah menemukan adanya desa fiktif, penggelembungan anggaran, dan program kerja fiktif.
Penataan kelembagaan kita perlu terus dilakukan, termasuk sistem hukum dan kewenangan berkait dengan peraturan.
Rekomendasi untuk mengatasi hal tersebut juga telah disampaikan mengingat anggaran dana desa di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup besar. Laman APBN 2019 menyebutkan, alokasi dana desa adalah Rp 70 triliun.
Polisi masih menyelidiki duduk soal lahirnya desa fiktif. Jika kemudian adanya desa fiktif merupakan kesengajaan, hal ini menjadi pengingat mendesaknya pencegahan penyalahgunaan kekuasaan hingga di tingkat terujung sistem pemerintahan.
Raghuram Rajan dalam The Third Pillar (2019) mengingatkan, komunitas di tingkat lokal perlu dilibatkan dalam alokasi sumber daya dan pembuatan kebijakan sehingga masyarakat lokal dapat menciptakan solusi dari persoalan mereka sendiri.
Penataan kelembagaan kita perlu terus dilakukan, termasuk sistem hukum dan kewenangan berkait dengan peraturan. Kelembagaan tersebut harus inklusif agar masyarakat ikut berpartisipasi memastikan sistem berjalan, termasuk dalam mengawasi elite politik dan pemerintah.
Kompas, 11 November 2019
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar