Pencegahan terorisme kian rumit menyusul dugaan pelibatan kelu- arga untuk menghindari penga- wasan Polri. Ditambah lagi, warga kurang peduli akan terorisme.
Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bisa mendeteksi pola dan strategi kelompok radikal yang kerap melakukan teror di Indonesia. Hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang komprehensif, karena mengatur kontra radikalisasi, deradikalisasi, dan pencegahan aksi teror, sebenarnya cukup membantu.
Namun, tidak satu pun peraturan pemerintah (PP) dibuat untuk menjadi aturan operasional UU yang baru diselesaikan pemerintah dan DPR setelah teror bom di Surabaya, yang melibatkan keluarga, tahun lalu. Setelah UU itu selesai, elite sibuk dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Padahal, selama 2018, Polri menangkap 396 terduga teroris, jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 176 orang. Jumlah aksi teror pun meningkat dari 17 kasus (2017) menjadi 42 kasus (2018).
Awal Oktober 2019, kita dikejutkan oleh peristiwa penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Jenderal (Purn) Wiranto di Pandeglang, Banten. Dari peristiwa itu, Polri menangkap sekitar 40 terduga di beberapa lokasi di Jawa dan luar Jawa. Sebulan berselang, bom bunuh diri oleh RMN di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, menyebabkan enam orang terluka.
Polri pun menangkap belasan terduga teroris dari banyak tempat di Jawa dan Sumatera terkait dengan bom bunuh diri di Medan. RMN menjadi radikal setelah menikah dengan DA. DA selalu berkomunikasi dengan narapidana kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Medan.
Lapas diketahui menjadi salah satu tempat perekrutan jihadis, seperti dialami tersangka penusuk Wiranto, Abu Rara dan istrinya. Rencana pemerintah membuat lapas khusus untuk napi teroris harus direalisasikan untuk mempersempit ruang perekrutan kelompok radikal.
Muncul beberapa pendapat mengapa usia pelaku teror kian muda, salah satunya kurangnya akses mengaktualisasikan diri. Di samping itu, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan ketimpangan dalam akses pada sumber daya ekonomi, politik, dan hukum juga disebut sebagai pemicu rasa frustrasi sebagian generasi muda.
Mark Juergensmeyer dalam buku Terror in The Mind of God: The Global Rises of Religious Violence (2003) menulis, pemerintah dan aparat harus berhati-hati mengambil langkah dalam mengatasi radikalisme. Negara dan kelompok radikal sama-sama memperebutkan legitimasi publik untuk memuluskan agenda masing-masing.
Untuk mencegah menurunnya kepercayaan publik, perlu dilihat apakah kelembagaan kita, di semua tingkatan, berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan warga. Kepercayaan publik yang bagus akan membuat masyarakat gampang diajak bekerja sama mencegah teror. Sebaliknya, jika menurun, bisa dimanfaatkan kelompok radikal untuk pembenaran. Upaya deradikalisasi yang dilaksanakan pemerintah akan sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar