Transformasi Ide Nadiem
Kabinet Indonesia Maju telah terbentuk dan dilantik pada Rabu (23/10/2019). Sebanyak 34 pos kementerian dan lembaga diisi sosok terpilih untuk membantu mewujudkan visi-misi Presiden Joko Widodo. Sosok muda di beberapa kementerian strategis menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya Nadiem Makarim, profesional muda yang berjaya memanggungkan Indonesia di kancah bisnis dunia.
Pendiri sekaligus CEO Go-Jek Indonesia itu terdepan dalam bisnis aplikasi dengan kekayaan berskala decacorn bercapaian valuasi bisnis di atas 10 miliar dollar AS. Nadiem menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan segala tantangannya. Banyak yang meragukan kemampuannya menjadi nakhoda sebuah kementerian yang dihuni ratusan bahkan ribuan profesor, dan jutaan guru, dosen, tenaga kependidikan, serta siswa dan mahasiswa.
Nadiem menghadapi sebuah belantara pendidikan dengan kompleksitas masalah tingkat tinggi. Pendidikan tak sekadar urusan siswa, mahasiswa, dan para pemangku kepentingan. Arah pendidikan dalam konteks membangun sumber daya manusia yang andal, profesional, tetapi berkarakter tentu tidak hanya bicara teknis, prosedural, struktural, dan konsepsional. Kerja-kerja rutin, homogen, dan monoton menjadikan pendidikan bak sebuah ritus. Dibutuhkan terobosan fundamental yang mampu mengangkat peringkat dan derajat pendidikan Indonesia ke level dunia.
Kehadiran Nadiem merupakan harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia. Dia bak sebuah transformator yang diharapkan mampu mengalirkan ide, gagasan, dan terobosan besar bagi dunia pendidikan sekaligus mengeksekusinya. Dia tidak boleh bekerja hanya sebatas sent, tetapi harus delivered. Nadiem tidak cukup hanya bikin aplikasi, tetapi harus mampu pula mengeksekusi sebagaimana ia mencipta Go-Food, Go-Pay, Go-Ride, Go-Car, dan Go-Send. Mari kita kawal kerja dan karya Nadiem dengan kritis. Satu hal pasti, anak muda harus diberi kesempatan berbuat besar bagi bangsanya. Kalau tak sekarang, kapan lagi?
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Cilame,
Bandung Barat, Jawa Barat
Bahasa Daerah
Pada dasawarsa 1970-an, ketika masih SD di Jawa Timur, saya selalu berbahasa Jawa kasar (ngoko) kepada teman. Kami kurang fasih berbahasa Indonesia. Namun, generasi anak saya yang lahir tahun 2000-an hanya bisa berbahasa Indonesia, padahal sekarang kami tinggal di Yogyakarta yang bisa dikatakan pusat kebudayaan Jawa.
Benarlah yang dikatakan Kompas di rubrik Pendidikan dan Kebudayaan edisi 25 Oktober 2019 bahwa bahasa daerah kita terancam punah. Anak-anak memang mendapatkan pelajaran bahasa daerah di sekolahnya, tetapi saya merasa pelajaran tersebut tidak praktis dan tidak komunikatif. Mereka belajar untuk mengerti bahasa Jawa, bukan untuk menjadi penutur bahasa Jawa.
Maka, saya mengusulkan agar Kompas dapat membuat tulisan berseri setiap bulan/ minggu tentang kebudayaan/bahasa daerah mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Ini dimaksudkan agar kita saling mengenal budaya kita sendiri. Kata Soe Hok Gie dalam buku Zaman Peralihan: "…Patriotisme tidak mungkin tumbuh dalam hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat".
Saya percaya Kompas sebagai media berpengaruh dalam persuratkabaran di Indonesia mampu melakukannya. Semoga.
Rudy Sukendro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar