Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 26 Desember 2019

ANALISIS EKONOMI: Dilema Infrastruktur (A PRASETYANTOKO)


KOMPAS/PRIYOMBODO

A Prasetyantoko

Beberapa berita berikut ini bisa menggambarkan kaitan pembangunan infrastruktur dengan perilaku masyarakat, sekaligus konteksnya dalam ekonomi makro.

Pada Sabtu (21/12/2019), Jalan Tol layang Jakarta-Cikampek dari arah Cawang sempat ditutup akibat volume kendaraan melonjak hingga 80 persen. Padahal, sewaktu diresmikan Presiden Joko Widodo, jalan tol baru ini diproyeksikan bisa menurunkan kemacetan hingga 30 persen (Kompas, 13/12/2019).

Berita lain datang dari Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja (Katadata, 20/12/2019). Menurut penjelasannya, pembangunan infrastruktur telah meningkatkan jumlah pengunjung mal serta okupansi hotel di daerah hingga 50 persen pada saat liburan Natal dan Tahun Baru. Bahkan, di banyak kota kecil, tingkat hunian hotel mencapai 100 persen akibat pembangunan akses jalan.

Pembangunan infrastruktur mengubah perilaku (ekonomi) masyarakat, terutama dalam mengisi liburan dan belanja. Perilaku masyarakat kita begitu mudah dipengaruhi fenomena sesaat. Perilaku sifatnya temporer, sementara pembangunan infrastruktur efeknya jangka panjang. Di situlah dilemanya.

Sementara itu, penumpang harian kereta ringan (LRT) Jakarta anjlok hingga 40 persen sejak beroperasi komersial (1/12/2019); penumpang lebih memilih ojek daring (CNBC Indonesia, 20/12/2019). Proyek LRT sesi I memang baru melayani Velodrome-Kelapa Gading sepanjang 5,8 kilometer (km) sehingga belum terintegrasi secara maksimal.

KOMPAS/ PRIYOMBODO

Proyek konstruksi kereta ringan cepat (LRT) Jabodebek di jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Sabtu (14/12/2019).

Mengatasi leher botol
Pembangunan infrastruktur di mana pun selalu jadi bagian dari komitmen (politik) pemerintah. Ketika menghadapi depresi besar 1930-an di Amerika Serikat, Presiden Franklin D Roosevelt merancang program bernama "New Deal". Salah satu programnya membangun infrastruktur secara masif sampai ke pelosok daerah.

Tujuannya, agar perekonomian bergerak dengan cara menekan pengangguran dalam jangka pendek, mendorong industri dalam jangka menengah, serta menyelamatkan perekonomian dalam jangka panjang.

Presiden Joko Widodo pada periode pertama (2014-2019) mencanangkan pembangunan infrastruktur sebagai program unggulan. Pada APBN 2014, anggaran infrastruktur baru senilai Rp 154,7 triliun, kemudian naik menjadi Rp 256,1 triliun pada 2015 atau melonjak 65,5 persen. Pada tahun fiskal 2019, anggaran infrastruktur mencapai Rp 415 triliun dan pada 2020 mencapai Rp 419,2 trilun. Bagaimana dampaknya terhadap daya saing nasional?

Dalam Laporan Daya Saing Global 2015, Indonesia berada pada peringkat ke-37 dari 140 negara, dengan peringkat infrastruktur di posisi ke-81. Persoalan ketersediaan infrastruktur menjadi masalah paling penting ketiga setelah korupsi dan ketidakefisienan birokrasi. Terkait infrastruktur, persoalan paling buruk adalah ketersediaan listrik (peringkat ke-86), disusul kualitas infrastruktur pelabuhan (ke-82) dan kualitas jalan (ke-80).

Laporan Daya Saing Global 2019 dengan metode dan variabel yang sedikit berbeda menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 141 negara. Kendati peringkat negara turun, peringkat infrastruktur naik ke-72. Dari laporan ini juga terlihat, meskipun kualitas jalan raya menempati peringkat cukup bagus (peringkat ke-60), aspek konektivitas jalan masih buruk (peringkat ke-109).

Ada beberapa catatan. Pertama, memperbaiki infrastruktur tak serta-merta meningkatkan daya saing nasional. Ada begitu banyak aspek lain yang harus diperhatikan selain infrastruktur.

Berbagai persoalan yang peringkatnya masih buruk atau di atas 100 di antaranya insiden terorisme, kebebasan media, fleksibilitas pasar tenaga kerja, waktu memulai bisnis, dan pengurusan paten.

Lingkungan bisnis yang kompetitif melibatkan infrastruktur keras dan lunak yang mencakup aspek kelembagaan, aturan dan layanan birokrasi, selain pasokan infrastruktur fisik.

Kedua, terkait pembangunan jalan raya, harus memperhatikan aspek konektivitas. Selama ini pembangunan infrastruktur belum terintegrasi sehingga tak meningkatkan kualitas sistem logistik.

Ada begitu banyak fenomenabottleneck (leher botol) yang menyebabkan pembangunan infrastruktur tak memecahkan isu konektivitas. Kemacetan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek antara lain disebabkan kemacetan di pintu keluar yang memang belum dikembangkan secara terintegrasi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kendaraan melintasi Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II di kawasan Bekasi Barat, yang dibuka untuk masyarakat sejak Minggu (15/12/2019).

Isu leher botol ini tak hanya mengenai konektivitas fisik, tetapi juga dalam strategi besarnya. Salah satu kelemahan pokok pembangunan infrastruktur kita adalah kurang terintegrasi dengan aspek penataan ruang secara makro, baik terkait pengembangan tata ruang kota maupun pengembangan kawasan industri dan sentra ekonomi.

Persoalan ini sama sekali bukan isu baru, bukan pula tak disadari. Masalahnya lebih karena cara kerja parsial dan sektoral masih berlanjut, baik di tingkat pusat melibatkan kementerian dan lembaga maupun pemerintah daerah.

Secara konseptual, Michael Porter pernah menulis artikel di Harvard Business Review (1998) berjudul "Clusters and the New Economics of Competition". Intinya, membangun industri yang kompetitif harus tecermin dalam penataan geografis yang memungkinkan integrasi proses bisnis, mulai dari penyediaan bahan baku, pengolahan hingga sistem logistik, sampai ke konsumen akhir.

Di Indonesia, salah satu strategi kluster mulai diterapkan dalam pengembangan tujuan wisata. Ada 10 tujuan wisata Bali baru yang sudah dicanangkan, yang empat di antaranya dianggap super-prioritas. Pemerintah menyiapkan dana Rp 6,4 triliun untuk membangun infrastruktur di empat destinasi super-prioritas, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, dan Labuhan Bajo.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Putri kerajaan Denmark Putri Mary saat diwawancara jurnalis televisi di halaman Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (4/12/2019)

Belajar dari pengalaman pembangunan infrastruktur di tingkat mikro, maka sangat penting mengedepankan prinsip konektivitas berbasis kluster.

Pertama, infrastruktur fisik yang dibangun tak hanya menyangkut satu kawasan, tetapi konektivitasnya dengan jalur logistik utama, sehingga terhubung dalam integrasi nasional, bahkan global.

Kedua, kluster industri harus mencakup semua aspek layanan secara komprehensif, mulai dari bisnis utama, pendukung, penyedia bahan baku, hingga aparat birokrasinya.

Tanpa kesatuan, pembangunan infrastruktur hanya akan menciptakan fenomena leher botol. Apalagi, perilaku masyarakat kita masih sangat mudah digerakkan gejala sesaat.

Begitu tol layang Jakarta-Cikampek dibuka, masyarakat berlomba-lomba mencobanya. Akibatnya, kenaikan volume kendaraan 80 persen. Fenomena sebaliknya terjadi dalam kasus LRT Jakarta tahap I, begitu tarif komersial diberlakukan, masyarakat pindah ke ojek daring.

KOMPAS/ PRIYOMBODO

Kepadatan kendaraan dari arah Jakarta di Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek menuju Kilometer 48 pertemuan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek jalur normal di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Jumat (20/12/2019) sekitar pukul 16.30. Kepadatan kendaraan pada arus libur Natal dan Tahun Baru 2020 yang melintasi Jalan Tol Jakarta-Cikampek mulai terjadi.

John Maynard Keynes pernah berkata, "Jangka panjang merupakan indikator yang menyesatkan dalam penyusunan kebijakan saat ini karena dalam jangka panjang kita semua mati."

Meski pembangunan infrastruktur berdampak jangka panjang, implementasi kebijakan harus tetap memperhatikan situasi nyata hari ini. Jadi, tak seutuhnya benar, infrastruktur baru akan terlihat dampaknya di masa depan.

Kompas, 2‎4 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger