Paduan suara. Harmoni. Itulah persatuan. Nada tinggi dan rendah. Not penuh dan setengah. Ritme reguler dan sinkopasi. Pada saat yang sama tiap suara menyanyikan bunyi berbeda-beda. Persatuan adalah nasi campur. Di sini ada tempe di situ ada tahu di kanan ada ikan di kiri ada perkedel di pinggir ada bayam di tengah ada kacang panjang. Semua pamer diri dengan gagah di satu piring. Segigit ini dan sekunyah itu, sensasi rasa yang khas dan berbeda memanja penikmat dari satu suap ke suap lain.
Satu suara. Unisono. Itulah kesatuan. Satu suara entah tinggi atau rendah. Satu nada satu irama. Semua suara soprano alto tenoro basso dan para mezzo- bersama-sama beramai-ramai menyanyikan satu bunyi yang sama. Kesatuan adalah gado-gado. Taoge berpeluk kangkung bergumul pare tenggelam dan terhilang di dalam adonan merah kecoklatan yang merangsang nikmat. Dari satu suap ke suap lain, dari awal sampai akhir, yang ada ialah satu rasa khas gado-gado.
Di dalam persatuan, mazhab-mazhab bubur-ayam-diaduk dan bubur-ayam-tidak-diaduk eksis di satu meja dan bersengketa di medsos dengan riang gembira. Jemaah mi instan murni dan ekstratelur boleh berdebat sampai kenyang dengan penganut mi instan campur nasi. Di atas meja kesatuan, terhidang bubur sumsum. Terima atau pergi.
Persatuan adalah hutan primer berziliun pohon dan semak, bunga dan buah, mamalia dan reptilia, aves dan insekta, pisces dan amfibia. Kesatuan adalah hutan sawit yang memusuhi gajah, orangutan, dan harimau.
Ribuan tahun lalu masyarakat tribal bersifat mekanik; satuan-satuannya sebangun dan sefungsi. Setiap anggotanya melakukan hal yang sama: berburu dan meramu. Semuanya memiliki kemampuan serupa. Bila satu hilang, yang lain menggantikan tanpa masalah bagi masyarakatnya. Masyarakat modern bersifat organik; satuan-satuannya berbeda bentuk, ukuran, dan keahlian. Dari astronaut canggih sampai petani mulia, ada ziliunan spesialisasi dalam pemikiran dan pekerjaan, cita-cita dan keahlian. Yang satu tak bisa dengan mudah menggantikan yang lain. Kesatuan simplistik; persatuan kompleks.
Ketika, misalnya, negarawan dan pemikir demokratis Indonesia mulai dari Muhammad Hatta sampai YB Mangunwijaya berbicara tentang federasi sebagai wujud persatuan Indonesia, banyak orang termasuk pemimpin-cakap dan pakar-cuap bingung dan bengong. Politikus yang sintas di dalam mileu unisono tradisional politik tribal dan kompartmental kami-lawan-mereka, unisono militeristik top-down taat-atau-mati, serta unisono birokratik asal-bapak-senang Orde Soeharto terperangah. Mereka gagap-gempita ketika diperhadapkan dengan persatuan sosial dan budaya yang tampil dalam harmoni 700 kicau-bahasa dan 300 nada-etnik, yang berlantun dari pianissimo sampai fortissimo, di panggung 400 volkano dan 17.000 nusa serentang arkipelago zamrud khatulistiwa.
Kesatuan cenderung sentralistik dan eksklusif. Ia menuntut senter atau pusat yang kuat. Komandan pegang kendali, pasukan bersatu. Jenderal dipertanyakan, tentara bubar. Ini pula salah satu tema besar kampanye yang belum lama lalu. Bila senter tak kuat, Indonesia bubar, kata mereka.
Persatuan itu ubikuitas dan inklusif. Ia tak hadir hanya di pusat, melainkan juga di semua pelosok terjauh dan terpencil. Tidak soal ketika pusat gonta-ganti penguasa atau militer tidak beroleh anggaran supermasif. Ibukota bukan segalanya. Presiden dan kodam tak perlu campur urusan internal kampus dan kampung.
Wujud kesatuan politas atau entitas politik Indonesia ada pada satu Pancasila, satu UUD, satu sistem Republik, satu tanah air, dan satu bangsa Indonesia. Ada pun segala interaksi di dalamnya, dan komunikasi keluar masuk, hanya akan mewujud, tumbuh kembang dengan sehat dan kuat di dalam persatuan tanpa paksaan dan tekanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar