Dari terbitnya fajar hingga berlalunya hari-hari awal 2019, kecuali dalam ilmu dan teknologi, tidak ada peristiwa penting —apalagi yang tergolong menyenangkan—di negeri ini maupun internasional, yang perlu dicatat secara khusus.
Selain Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanfaatkan senggang dengan makan-makan bersama keluarga di Istana Bogor, sebagian besar orang masih mengecap after-taste dari sajian kegembiraan akhir tahun.
Sisa rasa nikmat itu membuat Januari jadi terasa berlangsung begitu lama. Seperti hasil riset neuro-sains Zhengguang Cai PhD dari University of College, London, yang menjelaskan jam dopamine kita (neurotransmitter otak yang berkait dengan motivasi dan sistem reward) naik hingga menciptakan impresi waktu terasa lebih lambat. Terlebih ketika di negeri ini, juga sisa dunia, mesti menghadapi segera persoalan keras dan kompleks peninggalan tahun sebelumnya.
Bersantai dua hari di awal tahun baru 2019, Presiden Jokowi segera harus meninjau akibat bencana yang terjadi di sekitar Selat Sunda, di mana hampir 500 orang mati, 10 orang hilang, 43.000 orang luka-luka dan hampir 17.000 orang mengungsi. Belum lagi di Sukabumi, yang menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengalami bencana alam hampir 300 kali hanya dalam bulan Januari saja.
Di tingkat global, perang saudara pecah lagi di Suriah, demo kuning di Paris berlanjut, kecelakaan dan aksi teroris di banyak negara, terpilih laginya Maduro di Venezuela meningkatkan tensi politik di Amerika Selatan, dan perang dagang AS-China kian tereskalasi, membuat Apple merugi lebih dari Rp 100 triliun hanya dari penjualan iPhone.
Apa yang paling menarik dari semua itu, bisa jadi sama dengan banyak negara lainnya, tak ada persoalan yang lebih mampu menguasai perhatian publik, kecuali masalah ekonomi dan politik. Selama dua dasawarsa setidaknya, sejak lengsernya Soeharto, dua dimensi masalah itu telah menjadi panglima. Bukan hanya dalam isi dan berita utama media massa, media sosial, tapi juga dalam isi obrolan atau kepala banyak orang.
Apa yang paling menarik dari semua itu, bisa jadi sama dengan banyak negara lainnya, tak ada persoalan yang lebih mampu menguasai perhatian publik, kecuali masalah ekonomi dan politik.
Terlebih, upacara besar pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tengah mendekat masa puncaknya. Keributan politik bukan hanya menyita perhatian kakek-nenek, remaja hingga murid sekolah dasar, tapi juga duit rakyat yang dititipkan pada negara (cq pemerintah) maupun dari kantong rakyat sendiri, hingga lebih dari Rp 50 triliun (estimasi moderat). Debat capres yang dimulai medio Januari menjadi salah satu momen krusial di mana politik telah menjadi raja kehidupan kita bersama.
Dan betapa menariknya, debat capres itu, ketika kedua pasangan menghujankan janji pada publik, yang terasa tidak hanya sangat ambisius tapi juga obsesif, bahkan di beberapa bagian terasa ilusif. Seperti pernyataan kesiapan sang capres untuk memasuki dunia (industri) 4.0, sementara rakyatnya sendiri sebagian besar masih belum paham atau sudah memasuki bahkan era 3.0.
Bila dengan diamati cermat dan jujur, sebagian masih di alam 2.0, sebagian lagi 1.0 pun belum, bahkan tergolong "primitif" seperti beberapa sub-etnik yang masih setia mempertahankan tradisi dan cara hidup primordial (purba)-nya.
Fakta itu tak hanya ironis, namun juga tragis. Bagaimana janji baru yang muluk berani diucapkan, sementara janji lama banyak belum sempurna atau terlaksana. Alih-alih kita mampu memasuki era 3.0 atau 4.0, bangsa ini sudah terjebak dalam 5.0 (5.0 growth trap), angka yang menjerat pertumbuhan ekonomi negeri ini tak mampu melangkah lebih jauh (sesuai yang diinginkan/dijanjikan).
Angka yang membuat "new hope" menjadikan bangsa ini unggul secara ekonomis di tingkat global (seperti diprediksi PricewaterhouseCoopers) jadi semacam ilusi. Tapi kita masih kreatif dan produktif melahirkan "hope", dengan invaliditas dalam manifestasinya.
Retaknya manusia
Betapa rajinnya bangsa ini, juga elitenya, memproduksi harapan—kali ini—bukan ilusi. Tapi fakta historis juga antropologis. Saat Jokowi pertama dimunculkan dalam sampul majalah Time, dengan kualitas foto sangat baik, tajuk yang tertulis adalah "A New Hope".
Saya kira, mentalitas atau hal yang sudah jadi tradisi ini bukan hanya karena ada mitologi "Ratu Adil", "Satria Piningit", termasuk mitos Persia "imam Mahdi", yang berurat-akar di benak kita sebagai bangsa, tapi juga ada sebab sosiologis, politis di dalamnya, menjadi sebab.
Setidaknya, selepas dari kolonialisme –secara de jure maupun de facto yang berbeda masa—Indonesia, sebuah bentuk baru (negara modern) yang agak menjadi fait accompli bagi bangsa-bangsa atau etnik berdaulat di seantero negeri (Nusantara), harus melewati hidupnya dengan mengalami guncangan keras hampir tiada habisnya.
Di masa mutakhir, persoalan eksternal (dunia global) yang seperti tsunami menghantam kampung budaya bernama Indonesia ini, harus berpadu satu dengan problem internal yang baik bentuk, sifat, tujuan hingga intensitasnya meningkat tajam di dekade-dekade belakangan.
Tahun 2019 bukan hanya diisi oleh pengulangan peristiwa dan tindakan degil, jahat dan kriminal, mulai dari elite puncak hingga akar rumput, yang dalam dunia politik—dipercaya sebagian orang—hampir sukses mensegregasi bangsa dalam dua kubu, tapi juga peningkatan pada apa yang disebut "kerusakan moral", "kebobrokan nilai" hingga terdegradasinya budaya bangsa –bahkan—hingga ke titik nadir.
Bukan saja pejabat pusat dan daerah, kepala lembaga negara, hingga pimpinan BUMN yang tanpa liang-sim (hati nurani) menggerogoti harta negara (rakyat) dengan gergasif tanpa tedeng aling, kejahatan luar-biasa lain mulai dari narkoba, terorisme hingga pelacuran, perjudian, perkosaan/pedofilia, pembunuhan, perdagangan manusia, juga perundungan mencapai tingkatan (dalam bentuk hingga kualitas) tak terbayangkan.
Bagaimana akal dan perasaan kita, apalagi hati/batin, bisa membayangkan seorang anak muda, di satu kota Sumatera tengah tahun ini memukuli habis ayah kandungnya hanya karena tidak mau membelikan pulsa.
Tak berhenti di situ, pemuda itu mengunci ibunya di kamar, lalu menyeret ayahnya ke dapur dan mencincang sekaligus memutilasinya.
Ini contoh dari ratusan mungkin ribuan kejahatan "dini" dan baru yang tak terbayangkan, apalagi dengan kedalaman adat serta budaya yang telah dikembangkan dan dipelihara bangsa ini ribuan tahun lamanya.
Peristiwa-peristiwa yang seolah fiksi tapi bukan ilusi itu berbanding terbalik dengan peristiwa lain yang jelas faktual tapi ilusif.
Sejak saya menulis "Tauhid yang Ilusif" (Kompas, 29/10/2015), gejala beragama sebagian masyarakat kita yang telah "membunuh Tuhan" menjadi persepsi yang kian antropomorfis, setidaknya, makin kuat di tahun akhir dekade ini.
Kerusakan yang terjadi di masyarakat bukan lagi ada/disebabkan kesenjangan ekonomi, kelaparan dan pengangguran yang tetap tinggi, bahkan polarisasi politik-religius yang kian tajam, tapi juga dalam hidup sosial dan personal kita.
Kerusakan yang terjadi di masyarakat bukan lagi ada/disebabkan kesenjangan ekonomi, kelaparan dan pengangguran yang tetap tinggi, bahkan polarisasi politik-religius yang kian tajam, tapi juga dalam hidup sosial dan personal kita.
Peristiwa retak dan hancurnya hubungan rumah tangga, hingga dicopot tuntasnya adat dan tradisi dalam kehidupan kita sebagai akibat gejala di atas, di tahun ini mulai disadari banyak kalangan, juga para penanggung jawabnya di pemerintahan. Kesadaran bila semua kondisi itu antara lain mendapat sebab yang signifikan dari kuantitas waktu dan kualitas perhatian kita pada dunia internet. Riset We are Social dan Hootsuite dari Inggris, Januari 2019, menyatakan, peningkatan pengguna medsos di Indonesia 20 juta pada 2018 didominasi penduduk berusia 18-34 tahun.
Dari jumlah itu, rata-rata orang Indonesia mengakses internet 8,5 jam/hari, 60 persen di antaranya untuk ber-medsos dengan rata-rata 11 akun dimiliki per pengguna. Bila Unesco menetapkan batas maksimal penggunaan internet 4 jam/hari, di mana penggunaan di atas jumlah itu dipastikan mengalami gangguan kejiwaan, bisa dibayangkan apa yang telah terjadi pada kondisi fisiologis dan psikologis bangsa kita, terutama anak-anak dan milenial.
Betapapun imbauan yang saya tulis di Kompas, ("Medsos, Pantaskah Dilarang", 13/2/2017) tidak dapat tanggapan positif dari penyelenggara negara. Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan ratusan anak dan remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa karena kecanduan internet, mulai dari Cisarua di Jawa Barat hingga Surakarta di Jawa Tengah, seperti diberitakan media massa Oktober 2019.
Hantu budaya lama
Data-data itu mungkin hanya sebagian (jika bukan puncak gunung es) dari masalah berat dan kritis yang harus dihadapi generasi muda, milenial. Mereka harus menerjang masa depan pada saat mengalami disorientasi dan dislokasi, karena serbuan kultur baru yang tanpa acuan, sementara acuan yang secara natural dan nurtural, adat dan tradisi, sudah tercabut akarnya dalam hidup mereka.
Apa yang terjadi dalam keributan tentang "darah Indonesia" penyanyi AgnezMo belum lama ini adalah ilustrasi kecil kenyataan ini. mun menariknya, generasi sebelum mereka, katakanlah "Y" dan kaum baby boomers justru meletakkan beban "masa depan" yang harusnya mereka pikul pada "milenial" yang problematik itu.
Saya kira, tidak mengherankan bila Presiden Jokowi mengalami semacam frustrasi dalam mengembangkan visi dan mengimplementasikan ide-ide pembangunannya ketika ia harus menemukan jalan buntu pada para pelaksana yang "mau enaknya sendiri" itu. Beberapa gebrakan mengejutkan yang diambil sebagai kebijakan baru pasca-terpilihnya Jokowi untuk periode kedua kepresidenannya, mendapat argumentasi di atas. Ia nampaknya mengalami kesulitan dengan birokrasi yang masih memegang kultur kerja hingga politik yang diwariskan Orde Baru.
Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan ratusan anak dan remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa karena kecanduan internet, mulai dari Cisarua di Jawa Barat hingga Surakarta di Jawa Tengah, seperti diberitakan media massa Oktober 2019.
Begitu pun kerja samanya dengan para partner politik yang umumnya juga masih terperangkap dalam budaya lama (Orde Lama dan Orde Baru). Diangkatnya begitu banyak staf khusus "milenial" sehingga seperti membangun "kabinet mini" di sekitar Istana hanyalah sebuah upaya untuk melakukan terobosan mengatasi kejumudan yang merembes ke dalam hidup sosial (hingga spiritual) masyarakat banyak.
Namun apa mau dikata, siapa pun presiden terpilih, sehebat apa pun dia, harus menghadapi kenyataan buruk dan busuk itu, yang jika didiamkan menjadi involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Jokowi seperti menghadapi Goliath atau monster untuk dapat maju dan menegakkan daulahnya. Sendirian. Apa yang menarik, Jokowi tidak bisa memosisikan dirinya seperti Daud, yang menggunakan ketapel untuk menyerang habis dan menaklukan monster itu. Sang monster disadarinya bukanlah musuh sejati, juga saudaranya. Ia harus membuat pendekatan konflik yang berbeda.
Radio Hilversum Belanda, persis 20 tahun lalu, pernah menurunkan sebuah esai politik yang membaca hubungan aneh antara Soeharto dan Habibie dengan satu analogi yang populer dalam tradisi Jerman, hubungan antara Faust dan Mephistopheles. Sebuah hubungan panjang dalam sejarah tradisi atau kebudayaan Jerman, diangkat menjadi berbagai cerita, tonel, komik termasuk novel dua bagian Faust, karya JW von Goethe (1808 dan 1832).
Dalam esai itu, Jerman digambarkan mengalami dilema yang sama saat hubungan unik tercipta antara Hitler dan Adolf Speer, arsitek teknologi utama Nazi. Mereka berhubungan dekat, namun sekaligus menjadi ancaman berat. Sehingga kemudian terjadi semacam kontrak "Faust" di antara mereka. Ada yang harus "didamaikan" bahkan dengan sebuah monster atau kedegilan luar biasa.
Apakah Jokowi juga harus terlibat dalam dilema itu? Atau jangan-jangan negeri ini, setidaknya dalam sejarah kekuasaan (politik)-nya selalu menghadapi situasi yang sama? Mungkin sebagian kita ingat lagu "22 Januari" yang diciptakan Iwan Fals hampir 30 tahun lalu, di mana ia mengekspresikan kegalauan dan kegamangan kesendirian, kegelapan dan disorientasi. Walau itu –mungkin—dalam konteks pertemuan pertama dengan wanita yang kemudian jadi istrinya, apa yang ia tulis di salah satu baitnya menjadi refleksi, bisa jadi hal sama terjadi pada hidup kita semua.
Lalu kubisikkan
Sebaris kata-kata
Pu—tus a—sa
Sebentar lagi hujan
…
Aku berteman iblis yang baik hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar