Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 26 Desember 2019

Santo dan Sultan (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Peristiwa itu sudah terjadi 800 tahun silam. Akan tetapi, di tangan Paul Moses—seorang wartawan, profesor di Brooklyn College dan City University of New York Graduate School of Journalism—pertemuan yang sangat historis dan monumental itu dihidupkan kembali di tengah dunia yang terus digerogoti rasa dengki, iri, kecemburuan, purbasangka, kebencian, dan permusuhan.

Paul Moses lewat The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam, and Francis of Assisi's Mission of Peace(2009), menghidupkan kembali pertemuan antara Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil, 1219. Cerita pertemuan Fransiskus Asisi dan Al-Kamil—yang banyak kali ditulis, diceritakan, dan bahkan diperdebatkan—di tengah kecamuknya Perang Salib V (1217-1221), tidak hanya monumental, tetapi juga historis dalam konteks dialog antar-iman.

Pertemuan dua tokoh muda—Fransiskus berusia 38 tahun dan Sulan al-Kamil berusia 39 tahun—yang sama-sama memiliki idealisme, impian tinggi tentang masa depan, tentang dunia dan penyelamatan dunia. Hanya satu misi yang dibawa Fransiskus saat menemui Al-Kamil, yakni mengupayakan perdamaian, dan mengakhiri perang yang telah menelan demikian banyak korban jiwa dan menyuburkan rasa saling membenci dan dendam antara umat Kristiani dan Muslim.

Bagi Fransiskus, iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Apakah gunanya jika seseorang mengaku mempunyai iman, tetapi tidak melakukan apa-apa yang menjadi bukti keimanannya itu, dan justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keimanannya. Apakah gunanya itu?

AFP/VINCENZO PINTO

Paus Fransiskus (kiri) dan Imam Besar Al-Azhar, Mesir, Sheikh Ahmed al-Tayyeb, saling menyambut saat keduanya bertukar dokumen dalam Pertemuan Persaudaraan Manusia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (4/2/2019). Pertemuan ini seakan mengulang pertemuan 800 silam antara Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil.

Fransiskus berkeyakinan bahwa jika iman itu tidak diwujudkan dalam perbuatan baik, juga baik untuk sesama, iman itu pada hakikatnya adalah mati. Sikap yang sama diyakini oleh Al-Kamil, penguasa Dinasti Ayyubiah—keponakan Sultan Saladin—yang dikenal sebagai seorang sultan yang sangat toleran.

Maka, didampingi Bruder Illuminatus, Fransiskus nekat mendatangi markas pasukan Sultan al-Kamil di tepi Sungai Nil, di luar kota Damietta, Mesir (Thomas B Lenihan, 2009). Mereka berdua mempertaruhkan nyawanya.

Namun, kedatangan Fransiskus Asisi di kamp ternyata disambut dengan penuh keramahtamahan dan persaudaraan oleh Sultan al-Kamil, meskipun di sekitar mereka bumi, langit, dan udara dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan. Tetapi, pertemuan itu menjadi antidot, sebuah pengingat bahwa menanggapi kekerasan dengan kekerasan pula tidak akan ada hasilnya, dan bahwa kebaikan dan saling hormat dapat benar-benar mengubah hati.

Pertemuan dan semangat perdamaian serta persaudaraan antara Fransiskus dan Al-Kamil itu disegarkan kembali oleh pertemuan Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed Muhammed al-Tayyeb, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Februari lalu. Misi pertemuan dua tokoh agama itu sama dengan yang dulu menjiwai Fransiskus dan Al-Kamil: mendorong terwujudnya perdamaian dunia.

AP PHOTO/ANDREW MEDICHINI

Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar Mesir, bertukar dokumen Persaudaraan Manusia setelah pertemuan antar-agama di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (4/2/2019). Paus menegaskan, para pemimpin agama memiliki tugas untuk menolak semua perang dan berkomitmen untuk berdialog.

Hal itu ditegaskan dalam dokumen yang ditandatangani kedua tokoh agama itu, yang antara lain menyatakan: "Kami dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh menghasut perang, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga mereka tidak boleh menghasut kekerasan atau penumpahan darah."

Seruan Dokumen Abu Dhabi semakin menguatkan bahwa kisah tersebut—pertemuan Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil—kini terasa perlu untuk tidak hanya diingat kembali, tetapi diteriakkan dan dipraktikkan di tengah semakin pekatnya hawa permusuhan; atau sekurang-kurangnya semakin lunturnya nilai-nilai dan semangat persaudaraan di banyak tempat, termasuk di negeri ini.

Hawa permusuhan melingkupi dunia, baik dalam tingkat global, regional, bahkan lokal dan juga di sekitar kita, di Indonesia. Dunia kehilangan hatinya. Perasaan "kita semua bersaudara" seperti di ujung kepunahan.

Semua itu merupakan kenyataan yang sungguh ironis dan juga memprihatinkan. Sebab, sungguh sulit untuk dipercaya bahwa agama-agama yang mengajarkan kebaikan, cinta kasih, persaudaraan, dan kedamaian tidak jarang terkait dengan kekerasan dan keberingasan. Padahal, bukankah agama itu pembawa damai, sehingga orang beragama dan beriman selalu menyampaikan salam (yang berasal dari bahasa Arab berarti 'damai') kepada orang lain.

"Semoga Tuhan menganugerahi Anda kedamaian," begitu kata Fransiskus Asisi kepada Sultan Malik al-Kamil.

PHOTOVAT.COM

Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas dan jajaran pimpinan bersalaman dengan Paus Fransiskus seusai menyampaikan dokumen GP Ansor Declaration on Humanitarian Islam di Vatikan.

SyalĂ´m adalah kata Ibrani, berasal dari tradisi Yahudi. Salam, bahasa Arab, dari tradisi Islam. Salam alaikum, damai sertamu. Syalom sering diartikan 'damai-sejahtera', atauselamat dalam bahasa Indonesia (Tom Jacobs, SJ; 2007), atau selamet, dalam bahasa Jawa.

Akan tetapi, kini salam, syalom,selamat, atau selamet, di beberapa tempat di negeri ini telah serasa kehilangan makna. Itu adalah sebuah ironi, sungguh ironis. Ironi-ironi itu kini, dari hari ke hari, kian banyak. Belakangan ini, bahkan, tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Wajah masyarakat Indonesia yang pada dasarnya plural, majemuk, terasa dan terlihat ada bagian-bagian yang mulai kabur atau dikaburkan kemajemukannya, kepluralitasannya, keheterogenitasannya. Karena itu, ada sementara masyarakat yang tidak lagi merasakan salam, syalom, dan selamat, karena adanya pengingkaran terhadap keanekaragaman itu.

Padahal, salah satu ciri yang menonjol di negeri ini adalah keanekaragaman, kemajemukan dalam berbagai hal: baik secara fisik maupun sosial budaya. Indonesia adalah negeri dengan tingkat heterogenitas tinggi: ada begitu banyak, misalnya, suku, etnis, budaya, bahasa, agama, dan juga warna kulit serta bentuk rambut, bahkan juga orientasi politik.

Itu adalah sebuah kenyataan yang tidak mungkin dimungkiri, meskipun, ada yang berusaha untuk memungkirinya. Memungkiri kemajemukan, heterogenitas, adalah sebuah kesia-siaan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bhinneka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja, mereka juga mengunjungi masjid, wihara, dan pura di kawasan Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan memperkuat rasa kebinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.

Di zaman kini, semakin terasa bahwa tidak ada orang, tidak ada manusia, tidak ada masyarakat, tanpa pluralitas. Tidak ada masyarakat yang benar-benar tunggal atau tanpa ada unsur-unsur keberbedaan di dalamnya.

Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak mungkin manusia di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa makhluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat ialah sebagai malaikat atau hewan.

Sebab manusia bukanlah sebuah pulau yang terpisah dengan yang lain. Satu sama lain saling membutuhkan. Saling membutuhkan akan melahirkan kebersamaan dan itulah yang menciptakan perdamaian dan kedamaian.

Dengan kata lain, perdamaian dan kedamaian hanya akan tercipta apabila ada kehendak baik. Et in terra pax hominibus bonae voluntatis, dan damai di bumi bagi orang-orang yang berkehendak baik.

Kompas, 24 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger