Pohon cemara identik dengan Natal, sedangkan bambu adalah perayaan Galungan. Bagaimana keduanya bisa bertemu?
Di dua desa di belahan Bali bagian barat, orang-orang tak hanya memasang pohon natal di dalam rumah, tetapi juga mendirikan penjor di pinggir jalan.
Dua kampung kecil bernama Palasari dan Blimbingsari, selalu bertambah asri di hari Natal. Penjor-penjor bertanda salib berderet sepanjang jalanan desa hingga berujung di depan gereja.
Penjor dalam tradisi Hindu-Bali, selalu harus terbuat dari bambu yang melengkung, sehingga menyerupai sebuah gunung. Bambu tak hanya memenuhi hasrat estetik-simbolik orang-orang Bali masa lalu, tetapi juga perwujudan alam yang serba memberi.
Pada setiap upacara, apa pun bentuknya, bambu selalu dibutuhkan, baik sebagai material inti bangunan untuk penyelenggaraan upacara, maupun sebagai artefak ritus seperti kelatkat (anyaman bambu berbentuk segi empat) dan penjor.
Sebagai tanaman yang sangat dibutuhkan, bambu harus dilindungi. Para leluhur Bali menyuratkan dalam lontar-lontar kuno, dilarang menebang bambu pada dina Redite (hari Minggu).
Jika larangan ini dilanggar, pohon bambu tidak akan tumbuh dengan baik. Jika pun tumbuh, bagian pucuknya selalu tidak sampai melengkung. Larangan kuno semacam ini secara ekologis, semata-mata untuk melindungi bambu dari ancaman kepunahan.
"Karena bambu termasuk tumbuhan tenget," kata ahli wariga I Ketut Weda dari Bali barat, Minggu (22/12/2019).
Wariga tak lain adalah ilmu astronomi kuno yang dipakai sebagai pedoman menentukan hari baik penyelenggaraan upacara. Sedangkan tenget yang dimaksudkan Weda adalah tanaman yang bernuansa angker atau sakral. Oleh sebab itu dilindungi.
Tenget sebenarnya berkaitan dengan mitos di masa lalu, yang dibutuhkan untuk tujuan positif, terutama mempertahankan harmoni dalam relasi manusia dengan alam semesta.
Menurut Weda, dalam pemahaman masa kini, kalau kita tidak memelihara bambu bisa dipastikan sebagian ritus upacara di Bali tidak bisa dipertahankan. "Jadi bambu tak boleh punah," katanya.
Ketika Pastor Simon Buis tahun 1940 memimpin transmigrasi lokal orang-orang Nasrani dari Paroki Tritunggal Mahakudus, Desa Tuka, Badung menuju hutan Bali barat, seluruh perangkat kebudayaan turut pula dibawa.
Sejumlah 18 KK warga Tuka bergotong-royong merabas hutan untuk mendirikan Paroki Palasari. Tak berapa lama sebuah gereja sinkritis Eropa-Bali berdiri dan disebut sebagai Gereja Paroki Hati Kudus Yesus, kerap pula disebut sebagai Gereja Katolik Palasari.
Setahun sebelumnya, dua orang Bali bernama Made Regug dan Pendeta Made Rungu mendirikan kampung bernama Desa Blimbingsari untuk menampung puluhan transmigran lokal dari Denpasar.
Di desa itu pula kemudian didirikan dua gereja Prostestan bernama Gereja Pniel di Banjar Blimbingsari dan Gereja Imanuel di Banjar Ambyarsari. Kini, di Desa Blimbingsari yang letaknya segaris dengan Paroki Palasari, terdapat 270 KK yang semuanya memeluk Nasrani.
Kedua kampung ini memang bukan orang-orang Bali pertama yang memeluk Nasrasi, tetapi keduanya menjadi unik karena menerima agama yang berbeda dari Hindu, dengan tetap membawa segala atribut kultural di dalam dirinya.
Penjor yang mereka pasang di depan rumah masing-masing sepanjang jalanan desa, adalah artefak ritus pengagungan kebesaran semesta. Oleh sebab itulah bambu yang melengkung selalu secara simbolik dimaknakan sebagai gunung dengan segala kekayaan alam di dalamnya.
Dalam setiap Galungan, orang-orang Hindu-Bali, mendirikan penjor dua hari sebelum hari raya. Biasanya penjor dihias dengan janur beserta hasil bumi berupa kelapa, padi, tebu, dan umbi-umbian.
Pada ujung bagian atasnya diterakan sampyan penjor dan porosan, dua sarana sesaji penyimbolan kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasa. Secara keseluruhan penjor bermakna sebagai ungkapan rasa syukur terhadap berkah melimpah yang telah diberi alam semesta, sehingga manusia serta makhluk hidup lainnya, bisa melalui masa-masa hidup di dunia dengan kebajikan.
Orang-orang Bali yang memeluk Nasrani, juga mendirikan penjor sebagai wujud kesyukuran serta menyalurkan hasrat estetis yang melekat pada kultur asal-muasalnya.
Bedanya, jika orang Hindu membuat sanggah cerucuk berbentuk bulan sabit pada pangkal penjornya, orang Nasrani memasang tanda salib. Tanda itu tak lain sebagai simbol pengagungan kepada Yesus Kristus, yang telah memberikan jalan keimanan.
Sesungguhnya bukan hanya penjor yang khas di Palasari dan Blimbingsari. Kedua desa ini merancang gereja yang memadukan unsur-unsur Eropa dan Bali. Pada Gereja Katolik Palasari misalnya, wujud seluruh bangunan mengambil gaya gothic yang diserap dari Abad Pertengahan di Eropa, sementara secara ornamentik memperlihatkan unsur-unsur Bali.
Pada bagian depan gereja dibangun dua gapura, sebagaimana biasanya terdapat pada bangunan suci seperti pura. Relief tentang kelahiran Yesus di dalam gereja ditatah dengan menggunakan gaya Bali.
Bahkan, di setiap perayaan Natal, umat Katolik di Palasari membuat gebogan dari buah untuk menjadi persembahan. Apa yang kita saksikan dari sebatang bambu, perpaduan arsitektur, serta liturgi peribadatan gereja di kedua kampung ini, mengingatkan pada inkulturasi yang terjadi pada ajaran-ajaran gereja saat bertemu dengan kebudayaan non-Kristiani.
Khotbah Rasul Paulus kepada orang-orang Yunani di hadapan Majelis Areopagus di Athena (Kitab Para Rasul 17:22:33) bisa dianggap sebagai upaya pertama-tama inkulturasi.
Walaupun saat itu, sebagaimana disebut dalam ayat 32,"Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, ada yang mengejek."
Meski begitu, inkulturasi terus bergerak.
Doa-doa di Palasari dan Blimbingsari disampaikan dalam bahasa Bali, bahasa ibu para jemaat. Selain itu, sebagai pelengkap liturgi, di gereja juga selalu digelar tarian penyambutan bernuansa Bali sebelum umat melakukan doa peribadatan.
Jadi, kebudayaan sesungguhnya seperti sebatang bambu. Ia berdiri tegak tetapi lentur menghadapi angin kencang di musim hujan, seperti Desember saat-saat menjelang Natal 2019 ini.
Sekali waktu, ia menjadi perahu, berupa rakit-rakit bambu yang dipergunakan banyak suku di pedalaman Sungai Kuning, China. Pada saat berbeda, menjelma layang-layang yang terbang di kejauhan langit.
Bahkan di daerah Bona, Gianyar, kita bisa menjumpai bambu yang diolah menjadi mebel-mebel artistik dan mengesankan. Apa pun bentuknya, pada intinya bambu seolah "ditakdirkan" mewadahi segala hasrat manusia dalam menjalin relasi sosial dan religius.
Ia adalah wadah yang menyambungkan keterpisahan manusia karena sungai, ia juga memenuhi hasrat manusia menyamai seekor burung dengan terbang di angkasa. Pada akhirnya, ia bahkan menjadi medium penghantar "keterpisahan" manusia dari unsur-unsur ketuhanan.
Jika pada setiap hari raya Galungan, umat Hindu-Bali mendirikan penjor dari bambu, itulah pertanda kesucian hati dan keinginan menjalin "komunikasi" yang kudus dengan Sang Maha Pencipta.
Begitu pula ketika umat Nasrani menegakkan penjor di hari Natal. Itulah pertanda "panjatan" doa syukur atas kelahiran Sang Juru Selamat ke dunia. Sesudahnya, kehidupan umat beragama berjalin dalam relasi toleransi yang saling menghargai eksistensi masing-masing.
Sekali lagi, kebudayaan adalah sebatang bambu yang tumbuh sebagai penjor di halaman peribadatan. Ia secara lentur menyusup ke dalam desir angin, agar tak mudah patah dan punah.
Jika pun angin besar menghampiri, ia akan merunduk untuk kemudian menjelma sebagai "makhluk" inkulturatif, yang tetap menyisakan elemen-elemen kultural asal-usulnya.
Kelak, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai akulturasi, karena telah lahir sebagai kebudayaan baru yang dirayakan untuk memuliakan martabat kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar