Habitus politik adalah salah satu kunci bagaimana praktik kekuasaan formal bekerja menciptakan kemunduran atau kemajuan suatu bangsa. Pengertian paling dasar, habitus politik adalah praktik elite-elite kekuasaan berdasar pada kesadaran umum, direproduksi untuk merealisasikan kepentingan umum.
Kesadaran umum, atau doksa dalam konsep Pierre Bourdieu, memberi fondasi pengetahuan, sebagai referensi utama, bagi setiap praktik. Jika pada konteks keindonesiaan kesadaran umum politik masih diwarnai oleh narasi kepentingan seksional, reproduksi praktik-praktik politik muncul dalam bentuk antikerakyatan.
Habitus lama
Praktik politik antikerakyatan bermakna proses penggunaan dan pemobilisasian sumber daya negara oleh para elite politik, dari tingkat pusat sampai daerah, tidak bertujuan untuk pencapaian kebaikan publik (common bonum). Walaupun transformasi demokrasi telah berjalan sejak 1998, habitus politik dengan narasi kepentingan seksional adalah endemik sosial yang akut.
Demokrasi telah bekerja keras menangani habitus lama. Ruang publik dan arena digital menjadi pusat upaya pencerabutan habitus lama berbasis narasi kepentingan seksional menjadi habitus berbasis narasi kepentingan publik.
Namun, ruang publik memiliki keterbatasan akibat relasi kuasa elite politik terhadap aktor-aktor sipil di ruang publik. Relasi kuasa menghegemoni aktor-aktor sipil menjadi bagian dari jaringan elite-elite politik. Istilah paling dekat, meminjam Herbert Marcuse, adalah desublimasi represif elite politik di ruang publik. Para elite politik dengan jaringan kapitalismenya menciptakan aktor-aktor sipil yang tidak sadar menjadi bagian penjaga kepentingan seksional elite.
Oleh karenanya, fenomena polarisasi dukungan terhadap elite-elite politik sering tidak rasional dalam nalar kacamata kuda. Faktisitas sosiologi politik ini menyebabkan masyarakat mudah terjatuh dalam cengkeraman nalar identitas sempit, dari etnisitas sampai keagamaan, demi mendukung elite.
Realitas inilah yang menjadi lokus persoalan bertahannya habitus lama dalam pengorganisasian kekuasaan negara. Para elite politik Indonesia, secara umum, dari pusat sampai daerah menjadi leluasa mereproduksi praktik politik yang menguntungkan diri dan kelompok.
Misal, permasalahan regulasi yang rumit dan panjang atau mekanisme perizinan berbelit dari struktur pemerintahan adalah hasil dari habitus politik lama. Para elite politik dalam birokrasi memanfaatkan kerumitan dan jalur panjang dalam administrasi terkait pembangunan untuk mengakumulasi keuntungan. Praktik korupsi menjadi mudah berlangsung karena pemberian kemudahan kepada aktor-aktor sipil.
Habitus lama, pada dasarnya, mengomodifikasi kerumitan mekanisme birokrasi. Artinya, kerumitan adalah produk yang dijual dalam bentuk paket kemudahan. Tentu saja proses transaksi muncul dalam bentuk praktik sosiologi politik yang sering sulit terdeteksi oleh radar formal penegakan hukum.
Rekonstruksi habitus
Ruang publik demokrasi dan arena sosial digital telah memainkan peran membentuk politik demokratis pada porsinya. Upaya mendekonstruksi habitus politik lama yang bernarasi kepentingan seksional perlu diimbangi oleh peran jaringan elite politik sendiri. Mengapa demikian? Ini karena para elite politik memiliki sumber kekuasaan formal yang bersifat transformasional. Pengertian transformasional dalam diskursus ini adalah kemampuan memberi hukuman dan penghargaan demi perubahan baik.
Tradisi pemikiran sosiologi politik Weberian menunjuk pada pusat kekuasaan eksekutif dalam negara sebagai sumber kekuasaan transformasional. Tradisi Weberian tidak melihat proses penghukuman dan penghargaan sebagai kekuatan memaksa yang buruk. Namun, sebagai mekanisme penggunaan sumber kekuasaan formal, otoritas, untuk mencapai kebaikan atau kepentingan publik. Oleh karenanya, elite-elite politik dalam pemerintahan eksekutif adalah kunci dari upaya rekonstruksi habitus politik.
Bahasa politik Presiden Joko Widodo pada berbagai pidato terkait kepemerintahan, termasuk tentang kabinet dan pemerintahan dari pusat sampai daerah, mengisyaratkan upaya rekonstruksi habitus politik. Substansi bahasa politik presiden adalah perlunya habitus politik baru yang bernarasi kepentingan publik. Ini sudah pasti akan menghadapi jaringan habitus politik lama yang sulit menanggalkan kepentingan-kepentingan seksional. Ini merupakan faktisitas sosiologi politik yang harus dikelola serius.
Presiden dan Kabinet Indonesia Maju perlu menciptakan kebijakan regulatif selain konstruksi bahasa politik. Kebijakan regulatif akan mengorganisasi para elite politik dalam struktur pemerintahan, negara, dalam mekanisme penghukuman dan penghargaan. Kebijakan regulatif ini tidak dalam pengertian memperbanyak regulasi, tetapi menciptakan efektivitas dan efisiensi penegakan regulasi terkait praktik politik dalam struktur pemerintahan.
Upaya deregulasi, sebagai bagian strategi pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, harus hadir dalam bentuk baru regulasi ramping yang mampu menciptakan habitus politik baru untuk kepentingan publik. Tantangan paling besar dari upaya rekonstruksi habitus politik berasal dari struktur regulasi lama dan elite-elite politik yang mendapatkan keuntungan di bawahnya. Dukungan besar dari elite-elite politik dalam struktur legislatif adalah dalam penyusunan kebijakan regulatif yang bernarasi kepentingan publik.
Namun, sampai sejauh mana level idealisme politik kerakyatan para elite politik dalam struktur legislatif bekerja? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh seruan moral bahwa rekonstruksi habitus politik Indonesia berbasis pada kepentingan publik dan bisa menjadi proyek kolektif kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar