Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 Desember 2019

TAJUK RENCANA: Ancaman Laten Terorisme (Kompas)


AFP/OLI SCARFF

Petugas forensik Kepolisian Inggris membawa peralatan, termasuk sekop, saat mereka memeriksa sebuah rumah di Stafford, Inggris tengah, Sabtu (30/11/2019). Pemeriksaan ini terkait serangan oleh mantan terpidana terorisme di London Bridge yang menewaskan dua orang warga, sehari sebelumnya.

Serangan di London yang menewaskan dua orang mengingatkan betapa sulit mengatasi terorisme. Tak mudah menjaga keselamatan publik.

Pelaku serangan dengan senjata tajam di London, Inggris, adalah Usman Khan (28). Ia dinyatakan bersalah tahun 2012 atas perannya dalam sebuah kelompok teroris yang berencana mengebom sejumlah target, termasuk Bursa Efek London. Khan dibebaskan bersyarat Desember 2018 setelah menjalani separuh dari masa hukuman penjara yang diterimanya.

Penusukan Jumat siang pekan lalu di Aula Fishmongers, merupakan lokasi Universitas Cambridge menggelar konferensi rehabilitasi bagi narapidana. Khan pun menghadiri acara itu. Serangan diyakini dimulai di dalam gedung konferensi. Setelah itu, pelaku bergerak menuju Jembatan London dan akhirnya diringkus warga serta tewas ditembak petugas keamanan.

Pembebasan bersyarat terhadap Khan, kini, menjadi pusat perhatian. Berbagai program untuk menjauhkan Khan dari gagasan ekstrem penuh kekerasan telah dilakukannya. Intinya, ia telah mengikuti semacam program deradikalisasi. Apa mau dikata, semua upaya itu tak membuatnya menjauh dari kekerasan. Otoritas Inggris pun kini menelusuri, mengapa hal itu terjadi. Kurang lebihnya, sedang diselidiki, celah apa atau kekurangan apa dari program pemerintah yang membuat orang seperti Khan bisa tetap beraksi.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Petugas dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara meledakkan bom yang disita dari terduga teroris di areal perkebunan PT Perkebunan Nusantara II di Desa Klumpang Kebon, Kecamatan Hamparan Perak, Sumatera Utara, Senin (18/11/2019). 

Di Indonesia juga ada masalah terorisme. Belum lama ini, aksi bom bunuh diri terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara. Jauh ke belakang, rangkaian pengeboman pun terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Aksi itu dilatarbelakangi oleh gagasan ekstrem yang sama sekali menolak toleransi dan menggunakan kekerasan sebagai "alat kerjanya".

Penanganan terorisme memang tidak mudah. Kejahatan ini tak bisa diatasi dengan hanya memperkuat penindakan hukum atau penangkapan, dan menjebloskan pelakunya ke penjara. Ada paham dan situasi tertentu yang membuat orang menjadi ekstrem dan tidak mampu bersikap toleran terhadap perbedaan. Dari situ, muncul gagasan untuk menyerang kelompok-kelompok yang dianggap bagian dari musuh atau berseberangan dengan mereka.

Penindakan memang diperlukan, tetapi hal lain yang dibutuhkan adalah bagaimana melepas gagasan ekstrem dari benak para narapidana terorisme. Hanya dengan melepas gagasan ekstrem itu, para narapidana terorisme nantinya bisa kembali hidup di tengah masyarakat karena mereka sudah tak lagi menjadi ancaman bagi keselamatan publik.

Deradikalisasi atau apa pun namanya merupakan komponen penting untuk membuat para narapidana terorisme bisa kembali ke masyarakat. Hal ini pun harus dilakukan secara hati-hati, dan akan lebih berhasil lagi jika melibatkan kerabat dekat narapidana. Era internet yang memungkinkan narapidana terorisme terus-menerus memperoleh informasi mengenai gagasan ekstrem. Kita tak boleh menyerah.

KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kepala Polda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Agus Andrianto, Jumat (15/11/2019), menjenguk salah satu korban luka bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan yang kini dirawat di RS Bhayangkara Sumatera Utara.

Kompas, 2 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger