Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 20 Desember 2019

CATATAN TIMUR TENGAH: Krisis Negara Bangsa dan Identitas di Dunia Arab (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas

Dunia Arab terus menjadi sorotan pusat-pusat kajian dan penelitian serta media internasional, lantaran kawasan itu kini menjadi kawasan paling bergejolak di muka bumi.

Akibat gejolak itu, Arab serta merta menjadi kawasan yang paling banyak mengalami intervensi asing. Kekuatan internasional, seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Perancis, Inggris, dan Italia kini melakukan intervensi di dunia Arab.

Kekuatan regional, seperti Turki, Israel, dan Iran juga melakukan intervensi cukup kuat di dunia Arab. Dunia Arab pun kini menjadi ajang pertarungan kekuatan internasional dan regional.

Para pakar politik Arab menyebut, gejolak yang mengguncang keras dunia Arab saat ini disebabkan sistem negara bangsa di dunia Arab kini mengalami krisis berat. Sebagian negara Arab kini terancam masa depan eksistensinya, seperti Libya, Suriah, dan Yaman.

Bahkan negara Libya, Suriah, dan Yaman secara de facto sudah bubar. Perang saudara di Libya, Suriah, dan Yaman saat ini sesungguhnya adalah pertarungan antara elemen rakyat dan kekuatan politik di tiga Arab tersebut untuk membangun negara baru dengan konstitusi baru pula yang sesuai dengan kepentingan masing-masing elemen rakyat dan kekuatan politik itu.

AFP/GIUSEPPE CACACE

Orang-orang melarikan diri ketika asap tebal membubung di Desa Baghouz, area terakhir yang dikuasai kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Mereka terus ditekan pasukan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dalam serangan terbaru, Senin (18/3/2019).

Sementara sebagian negara Arab lain mengalami krisis legitimasi sehingga tidak maksimal menjalankan fungsi utamanya, yang mengantarkan terjadinya krisis politik, ekonomi, sosial dan keamanan, seperti Irak, Lebanon, Sudan, Aljazair, Mesir, dan Mauritania.

Ada pula negara Arab yang cukup mengalami kemajuan secara ekonomi dan teknologi, namun masih sangat konservatif dalam struktur dan kultur politiknya, sehingga masa depannya masih dipertanyakan, seperti negara-negara Arab kaya Teluk.

Ada lagi negara Arab yang sangat lemah secara ekonomi akibat miskin sumber daya alam dan sangat tergantung bantuan luar negeri sehingga eksistensinya sangat rentan, seperti Yordania dan Maroko. Belum lagi masalah Palestina yang sampai sekarang masih gagal menjadi negara merdeka.

Karena itu, negara bangsa di dunia Arab saat ini menghadapi krisis dan sekaligus tantangan berat dengan faktor yang berbeda antara satu dan lain negara Arab. Pakar politik dan sejarah Arab sering menyebut, perjanjian Sykes-Picot menjadi pintu masuk terjadinya krisis di dunia Arab hingga saat ini.

REUTERS/IBRAHEEM ABU MUSTAFA

Seorang warga Palestina mengarahkan ketapel ke arah pasukan Israel dalam bentrokan di perbatasan Gaza-Israel dalam aksi protes menuntut hak untuk kembali ke tanah air mereka, di Jalur Gaza selatan, 31 Maret 2018.

Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada 16 Mei 1916 membagi wilayah dinasti Ottoman di Asia kecil atau Asia Barat (wilayah Timur Tengah sekarang) antara wilayah dibawah pengaruh Inggris dan Perancis, yakni dua negara raksasa saat itu.

Berdasarkan perjanjian Sykes-Picot yang kemudian disetujui Rusia saat itu, adalah Suriah dan Lebanon berada di bawah pengaruh Perancis, serta kawasan Teluk Arab, Irak, Palestina hingga Yordania berada dibawah kontrol Inggris.

Perjanjian Sykes-Picot bervisi membangun sistem negara bangsa di Timur Tengah sebagai pengganti dari sistem khilafah dinasti Ottoman. Namun Inggris dan Perancis yang berada di balik perjanjian Sykes-Picot itu, tidak membangun fondasi kultur yang memperkuat sistem negara bangsa sesuai dengan perjanjian Sykes-Picot itu. Malah sebaliknya, mereka terus memperkuat cengkeraman kolonialnya dan sekaligus melemahkan negara-negara baru yang berada di bawah pengaruhnya.

Pasca era kolonial, krisis negara bangsa di dunia Arab bukan hanya terus berlanjut, tetapi malah semakin parah. Hal itu karena elite politik yang berkuasa pasca era kolonial itu gagal membangun negara bangsa yang berlandaskan kekuatan institusional dan memiliki legitimasi kuat melalui cara merajut pluralisme agama, ideologi, etnis, dan kabilah menjadi satu identitas nasional di bawah bendera satu negara.

REUTERS

Koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi melancarkan serangan udara ke ibu kota Yaman, Sana'a, pada hari Rabu (6/12/2015).

Rajutan pluralisme tersebut, diimplementasikan dengan prinsip kesetaraan warga negara, penegakan hak asasi manusia dan kedaulatan hukum, serta toleransi agama, ideologi, dan politik.

Sebaliknya elite politik yang berkuasa setelah era kolonial, membangun kultur diktator dengan cara memonopoli kekuasaan dan kekayaan sumber daya alam.

Karena itu, pada gilirannya para elite politik baru itu lebih fokus membangun institusi negara yang memperkuat kultur diktator itu, bukan membangun institusi negara bangsa atau platform negara yang mengayomi dan memiliki legitimasi di hadapan semua warganya dengan berbagai latar belakang agama, ideologi, dan etnis itu.

Para elite politik yang berkuasa memang berhasil menciptakan stabilitas politik beberapa dekade di dunia Arab, namun dengan tangan besi, bukan dengan platform negara yang disepakati bersama oleh semua elemen anak bangsa.

Lebih ironi lagi, para elite politik yang berkuasa hendak mewariskan kekuasaannya kepada anak atau anggota keluarganya. Mendiang Presiden Suriah Hafez al-Assad, berhasil mewariskan kekuasaannya kepada anaknya, Bashar al-Assad, yang sampai saat ini menjadi Presiden Suriah.

AFP PHOTO / HO / SANA

Presiden Suriah Bashar al-Assad (kedua kiri) dalam sebuah pertemuan, 18 Maret 2019.

Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak, juga ingin mewariskan kekuasannya kepada anaknya, Jamal Mubarak. Mendiang Pemimpin Libya, Moammar Khadafy, ingin pula mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Saiful Islam. Mendiang Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, menyiapkan anaknya, Ahmed Abdullah Saleh, untuk menjadi penerusnya sebagai Presiden Yaman.

Karena itu, stabilitas politik dan keamanan di dunia Arab dalam beberapa dekade terakhir ini adalah stabilitas semu, dan bahkan negara pun menjadi negara semu.

Tentu situasi semu tidak mungkin bisa bertahan selamanya, di tengah perubahan dunia yang begitu cepat dan luar biasa, serta pergantian generasi di dunia Arab yang kini didominasi generasi milenial.

Gerakan musim semi Arab yang meletus sejak tahun 2010-2011 dan berlanjut sampai tahun 2019, digerakkan oleh generasi milenial yang menginginkan perubahan di dunia Arab.

Gerakan musim semi Arab itu yang menguak betapa semu dan rapuhnya struktur bangunan negara bangsa di dunia Arab.

REUTERS/THAIER AL-SUDANI

Para pemuda berunjuk rasa di Baghdad, Irak, Sabtu (5/10/2019) menuntut perbaikan ekonomi dan pemberantasan korupsi.

Akibat kerapuhan dan kesemuan struktur bangunan negara bangsa di dunia Arab tersebut, membuka jalan lebar-lebar bagi meletusnya konflik horizontal sengit etnis, mazhab agama, dan ideologi.

Konflik etnis terjadi di Irak dan Suriah antara kaum Arab dan Kurdi. Konflik mazhab agama antara Sunni dan Syiah juga meletup di Irak, Yaman, dan Suriah. Konflik ideologi antara gerakan Islam politik dan kelompok liberal/nasionalis terjadi di Mesir, Libya, Sudan, dan Aljazair. Konflik agama dan mazhab agama antara Sunni, Syiah, dan Kristen terjadi di Lebanon.

Maka, apa yang terjadi di dunia Arab saat ini adalah mereka tidak memiliki identitas nasional yang berada di atas identitas agama, mazhab agama, dan etnis. Sehingga, memudahkan terjadinya konflik dan kemudian sangat melemahkan eksistensi negara bangsa di kawasan itu.

Kompas, 20 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger