"Sejak berpartisipasi dalam PISA tahun 2000, pendidikan sains di Indonesia telah mengalami transformasi yang luar biasa untuk mencapai kemakmuran dalam pembangunan yang berkelanjutan," demikian laporan hasil asesmen dari "Country Note Indonesia Result PISA 2015".
Laporan tersebut sangat mengapresiasi kemajuan pendidikan Indonesia, khususnya dalam membaca, matematika, dan sains. "Antara 2012 sampai 2015 saja, performa sains antarsiswa umur 15 tahun terjadi kenaikan skors 21 poin. Ini membuat Indonesia tercepat kelima dalam hal perbaikan sistem pendidikan di antara 72 negara yang ikut dalam perbandingan ini," demikian diungkapkan. Country Note, yang diterbitkan OECD itu.
Juga dituliskan, "Jika Indonesia senantiasa dapat menjaga upaya perbaikan ini, anak yang lahir hari ini mempunyai kesempatan nyata untuk menyamai capaian sains siswa-siswa sebayanya di negara-negara industri maju pada tahun 2030."
Kesimpulan yang diambil dari laporan PISA 2015 tentang Indonesia yang dapat dibaca di internet, sungguh meyakinkan bahwa upaya keras dari dunia pendidikan mulai dari kebijakan pemerintah, guru, dan murid termasuk ujian nasional (UN) yang berjalan selama ini, sangat berhasil.
Akan tetapi, mengapa hasil PISA 2018 tiba-tiba menurun? Sesuai dengan laporan hasil PISA, skor kemampuan membaca pada 2003 adalah 371 dan pada 2015 naik menjadi 397, tetapi pada 2018 turun menjadi 371. Matematika dari 360 menjadi 386 pada 2015, lalu turun menjadi 379 pada 2018. Sains dari 393, menjadi 403 pada 2015, lalu turun ke 396 pada 2018.
Laporan tersebut sangat mengapresiasi kemajuan pendidikan Indonesia, khususnya dalam membaca, matematika dan sains.
Ujian nasional
Kebijakan apa yang berubah pada rentang waktu 2015-2018, padahal pada masa tersebut justru banyak hal positif yang dilakukan pemerintah, seperti peningkatan kesejahteraan guru, pendirian pusat-pusat pelatihan guru di banyak kota, dana APBN yang besar, juga tersedia kartu pintar dan berbagai bantuan untuk siswa yang kurang mampu.
Ternyata hal penting yang berubah adalah kebijakan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015 yang tak lagi menjadikan hasil UN sebagai bagian penentu kelulusan. Perubahan ini saya percaya, menyebabkan semangat belajar para siswa menurun dari sebelumnya. Pada waktu itu saya panggil dua menteri bersangkutan untuk melakukan evaluasi ulang.
Ketika menjabat sebagai Menko Kesra tahun 2002, untuk mengetahui mutu pendidikan, kita membandingkan hasil ujian SD dan SMP di Indonesia dalam waktu 50 tahun, dari 1950 hingga 2000. Ternyata luar biasa sulit, soal berhitung SD atau Sekolah Rakyat (SR) 50 tahun lalu dibandingkan dengan ujian tahun 2000 yang jawabannya sudah tersedia dalam bentuk pilihan ganda.
Jadi, akhirnya yang tamat SR tahun 1950-an dengan yang tamat tahun 2000-an jauh berbeda hasilnya. Kita perbandingkan pula secara regional tiga negara ASEAN yang menggunakan UN dengan bahasa Melayu dan Inggris, Singapura, Malaysia dan Filipina.
Surveinya, jauh lebih mengejutkan, soal ujian matematika SD di Singapura atau Malaysia hampir sama tingkatnya dengan soal ujian SMP di Indonesia. Tidak usah bicara soal bahasa Inggris-nya, yang jelas di atas Indonesia. Karena soal ujian Malaysia dan Singapura memakai standar Cambridge atau Oxford.
Melihat data pembanding itu, saya berkesimpulan, yang membuat mutu pendidikan mereka lebih tinggi karena mereka memiliki standar kelulusan.
Hanya Filipina yang soal ujiannya hampir sama dengan Indonesia. Melihat data pembanding itu, saya berkesimpulan, yang membuat mutu pendidikan mereka lebih tinggi karena mereka memiliki standar kelulusan. Standar nilai lulus UN di Malaysia atau Singapura adalah tujuh (7).
Karena itu diadakan studi untuk memperbaiki mutu dengan UN. Setelah Kementerian Pendidikan Nasional melakukan uji coba sistem UN selama enam bulan di berbagai sekolah, diketahui bagaimana rendahnya mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Karena itu, pada 2003, pemerintah meminta Mendiknas mengadakan UN untuk mencapai standar pendidikan yang sama di seluruh Indonesia, dengan cara siswa belajar lebih tekun. Dengan tetap memberikan kesempatan sekolah di daerah untuk belajar mata pelajaran dengan muatan lokal.
UN 2003 ini, diawali dengan angka kelulusan terpaksa 3,5 dan hasilnya 18 persen siswa seluruh Indonesia tidak lulus. Sangat memprihatinkan. Kenapa terpaksa 3,5 karena kalau angka kelulusan dipatok 5,5, maka 40 persen anak tak lulus.
Akan tetapi, kemudian tiap tahun dinaikkan 0,5 sampai mencapai standar 5,5 seperti sekarang, dengan penambahan 0,5 poin setiap tahun, persentase kelulusan tetap tinggi. Artinya secara bertahap ada peningkatan mutu karena siswa terdorong belajar lebih keras.
Di samping itu, dengan UN, pemerintah memetakan dan membantu daerah dan sekolah yang kurang. Itulah esensi dasar mencerdaskan kehidupan bangsa dalam NKRI, yang sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Seluruh gedung sekolah negeri dan biayanya juga hampir sama, fasilitas laboratorium dan buku-buku sama cetakannya. Guru hampir semua lulusan S-1. Sekolah swasta dibantu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
UN waktu itu dibarengi dengan pertukaran kepala sekolah dari daerah yang kurang maju menjadi wakil kepala sekolah di sekolah yang baik, yang umumnya di Jawa. Sementara wakil kepala sekolah yang baik menjadi kepala sekolah di daerah yang kurang maju. Tujuannya, agar terjadi transformasi pengetahuan dan kultur belajar. Standar nasional ini upaya menghilangkan gap mutu pendidikan antar wilayah.
Mutu pendidikan itu ibarat meletakkan mistar dalam lompatan tinggi. Di negara lain, untuk meningkatkan prestasi ketinggian mistar secara bertahap ditambah. Sebaliknya di Indonesia, karena mau semua murid lulus, atau melewati mistar, ketinggian mistar yang diturunkan.
Karena itu standar harus dijaga dan secara bertahap dinaikkan, termasuk upaya meningkatkan kompetensi guru. Metode apa pun yang diterapkan, tanpa disiplin belajar dan disiplin serta kompetensi guru, tujuan sulit tercapai. Ujian berbasis sekolah telah dilaksanakan dengan Ebtanas dari tahun 1980 hingga tahun 2000. Dalam praktiknya, ujian sekolah, guru menguji apa yang telah diajarkan. Sementara UN menguji apa yang seharusnya diketahui sesuai dengan kurikulum.
Di samping itu, dengan UN, pemerintah memetakan dan membantu daerah dan sekolah yang kurang. Itulah esensi dasar mencerdaskan kehidupan bangsa dalam NKRI, yang sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kritik terhadap UN
Aneh kalau selalu dikatakan UN itu pemborosan. Sejatinya, tak ada upaya kemajuan pendidikan tanpa biaya. Sebagian besar biaya justru untuk kesejahteraan guru, pembuatan soal, pengawasan, penyelenggaraan dan lain-lain semua oleh guru. Setelah UN memakai sistem komputer, akhirnya menghemat biaya percetakan dan distribusi logistik, anggaran dari Rp 500 miliar turun menjadi Rp 210 miliar pada 2019 atau turun 60 persen.
Kritik lain yang kerap muncul, mengenai kebocoran bahan ujian, tetapi setelah Kemdikbud membuat bahan ujian berbeda-beda dalam satu kelas serta adanya komputerisasi, masalah ini dapat diatasi. Stigma lain yang biasa menyertai UN adalah UN seolah hanya melahirkan generasi penghafal.
Generasi muda atau milenial yang sekarang menjadi harapan bangsa sebagian besar adalah generasi UN, khususnya yang berumur 33 tahun ke bawah dan bersekolah di dalam negeri. Faktanya, mereka bukan sekadar pintar menghafal saja, tetapi pintar berpikir dan berinovasi. Karena memang menghafal adalah cara untuk membantu berpikir dan matematika serta sains tidak bisa diselesaikan dengan hanya menghafal.
Banyak pula orangtua siswa dan juga guru mengeluh dan protes karena UN dianggap memberatkan. Akan tetapi, jutaan orangtua dengan penuh perhatian mendorong anak-anaknya belajar dengan tekun atau belajar bersama sambil berdoa. Umumnya yang mengeluh karena tak siap menghadapi ujian. Adakah keberhasilan tanpa kerja keras?
Ada juga pandangan di daerah-daerah banyak yang lemah tingkat pendidikannya sehingga tak perlu standar nasional. Justru daerah perlu kita tingkatkan agar masuk dalam sistem nasional. Apabila merdeka untuk menentukan standar setiap sekolah dan daerah, siswa sulit bersaing dalam dunia kerja atau masuk pendidikan yang lebih tinggi, dan akan terjadi sistem negara federal.
Finlandia sering menjadi acuan untuk mutu pendidikan dan sistem belajar-mengajarnya. Negeri ini penduduknya hanya 5,5 juta jiwa, pendapatan per kapita 40.000 dollar AS per tahun. Bandingkan dengan Indonesia, penduduk 265 juta, sedangkan pendapatan per kapita 4.100 dollar AS per tahun. Tentu Finlandia yang hanya setara Yogyakarta dalam hal penduduk, dapat berbuat banyak. Itu pun peringkat kemampuan matematika Finlandia di PISA tahun 2018 adalah ke-16 dan AS ke- 27.
Indonesia pun sekiranya yang dinilai PISA hanya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, akan berada di peringkat 40-an, karena kedua daerah itu poinnya di atas 400. Peringkat tertinggi justru China, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Dengan sesama negara Asia inilah kita harus mencontoh kedisiplinan dan ketatnya dalam pemelajaran. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW: "belajarlah sampai ke negeri China".
Tahun depan Singapura tidak lagi menerapkan UN setelah dilaksanakan hampir 50 tahun, itu karena mereka sudah mencapai ranking tertinggi dunia. Akan tetapi, bagi Indonesia yang masih berada pada tingkat lebih rendah, dengan sistem yang benar sebagaimana disimpulkan OECD lewat PISA, pasti akan mencapai kemajuan. Tentu kurikulum juga selalu mengalami perbaikan, seperti Kurikulum 2013, yang meningkatkan peran guru dan murid yang lebih kreatif.
Bagi pengambil kebijakan jangan selalu menganggap capaian yang lama semua salah dan harus diubah dan diubah dengan menganut sistem pendidikan liberal, seperti banyak dilakukan di Amerika.
Bagi pengambil kebijakan jangan selalu menganggap capaian yang lama semua salah dan harus diubah dan diubah dengan menganut sistem pendidikan liberal, seperti banyak dilakukan di Amerika. Perlu evaluasi yang jelas dan sangat hati-hati. Karena perubahan sistem pendidikan hasilnya baru bisa dilihat setelah 5-10 tahun. Kalau kebijakan keliru akan merugikan masa depan puluhan juta generasi muda dan bangsa secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar