Kisah tentang developer yang tidak kunjung membangun rumah yang dijanjikan sudah sering terdengar.
Belakangan, muncul kasus developer yang menawarkan rumah dengan pembayaran secara syariah, namun tidak juga membangun rumah yang dijanjikan.
Padahal, para konsumen sudah membayar sebagian dari cicilan rumahnya.
Terdapat beberapa skema dalam pembelian rumah. Jika dana tersedia, rumah bisa dibeli dengan cara tunai. Pembelian tunai pun dapat dilakukan dengan tunai keras atau tunai bertahap.
Jika konsumen membeli dengan cara tunai keras, penyelesaian pembayaran dilakukan dengan cepat. Setidaknya dalam tiga bulan, konsumen sudah harus membayar seluruh harga rumah.
Keuntungannya, pengembang biasanya memberikan potongan harga menarik jika konsumen mau membayar dengan cara tunai keras.
Cara pembayaran tunai lainnya dilakukan secara bertahap. Dengan cara ini, konsumen mencicil langsung kepada pengembang. Ada pengembang yang meminta uang muka cukup besar, ada pula yang tidak.
Sisanya, dibayarkan secara bertahap dalam waktu yang tidak terlalu lama, semisal 3 tahun. Jumlah pembayaran cicilan tetap, tidak memperhitungkan bunga karena pengembang sudah memasukkan unsur margin keuntungan.
Pastikan rumah sudah dibangun atau segera dibangun ketika melakukan transaksi tunai keras atau tunai bertahap. Teliti juga perizinan dan kinerja pengembangnya.
Cicilan
Cara lain adalah dengan cicilan. Banyak bank yang menyediakan kredit kepemilikan rumah dengan jangka hingga 20 tahun. Skema cicilan semacam ini diatur juga oleh Bank Indonesia.
Pemberian kredit perumahan merupakan salah satu hal penting yang melibatkan orang banyak sehingga harus diatur oleh Bank Indonesia. Rakyat memerlukan rumah, sementara bank yang mengucurkan kredit rumah juga harus dijaga.
Masih ingat kan, subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang menghancurkan industri keuangan, juga perekonomian global? Semua berawal dari kucuran kredit rumah yang diberikan kepada orang yang belum layak menerima kredit.
Bank Indonesia kemudian mengatur, antara lain besaran loan to value (LTV) atau uang muka yang harus disetorkan konsumen ke bank untuk mendapatkan kredit. Pengaturan LTV ini merupakan salah satu instrumen Bank Indonesia untuk menjaga kesehatan ekonomi.
Ketika Bank Indonesia merasa kucuran kredit seret, pelonggaran LTV menjadi salah satu obat. Dengan pelonggaran LTV berarti konsumen membayar uang muka kredit lebih kecil.
Pada awal Desember ini, Bank Indonesia melonggarkan LTV untuk rumah kedua dengan luasan di atas 70 meter persegi yang dibeli dengan KPR, yakni dari 85 persen menjadi 90 persen. Artinya, konsumen hanya membayar uang muka sebesar 10 persen saja dari harga rumah.
Baca juga: Ribuan Orang Tertipu Perumahan Syariah
Konsumen lalu membayar cicilan kredit yang terdiri dari pokok utang dan bunga. Biasanya, bank memberikan promosi bunga yang menarik untuk 2 tahun pertama.
Selanjutnya, suku bunga kredit akan disesuaikan dengan suku bunga acuan. Ketika suku bunga di pasar naik, seperti ketika terjadi krisis pada 1998 lalu, bunga kredit pun ikut naik. Hasilnya, cicilan semakin besar.
Fluktuasi bunga ini merupakan salah satu faktor pertimbangan nasabah ketika memutuskan membeli rumah secara kredit. Sebagian masyarakat tidak menyukai skema ini karena mengandung unsur riba.
Cara lain untuk membeli rumah secara cicilan bebas riba adalah melalui KPR Syariah. Dalam KPR Syariah, akad yang dipakai adalah jual beli atau murabahah. Jadi, bank Syariah membelikan rumah yang diinginkan konsumen kemudian mengambil keuntungan
Misalnya, seorang konsumen ingin membeli sebuah rumah seharga Rp 500 juta dan akan mencicil selama 10 tahun. Bank memperkirakan, dalam 10 tahun rumah akan berharga Rp 750 juta sehingga bank kemudian mengambil margin sebesar Rp 250 juta.
Maka, konsumen akan mencicil Rp 750 juta dibagi dengan tenor 120 bulan atau sebesar Rp 6,25 juta per bulan. Angka cicilan ini tetap selama 10 tahun, tidak terpengaruh fluktuasi bunga.
Risiko cicilan ke pengembang
Masih ada skema cicilan lainnya, yaitu cicilan ke pengembang langsung tanpa melalui bank. Meminjam uang ke bank apalagi yang berjangka panjang, membutuhkan banyak persyaratan yang harus dipenuhi.
Bank Indonesia telah mengumpulkan data konsumen atau para nasabah. Data itu merekam profil konsumen, apakah pernah menunggak cicilan atau bahkan pernah mengemplang kredit. Semuanya ada dalam catatan Bank Indonesia.
Bank yang harus berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya, kemudian meneliti calon konsumen berdasarkan data dari Bank Indonesia yang disebut BI Checking.
Gunanya, untuk mengetahui apakah konsumen yang mengajukan kredit rumah dapat dipercaya atau tidak. Jika ada catatan buruk tentang kredit, bank tidak akan mengucurkan kredit kepada konsumen tersebut.
Berutang langsung kepada pengembang, tidak memerlukan proses BI Checking ini. Biasanya, pengembang menawarkan proyek perumahan hanya dengan gambar saja. Pembeli yang tertarik terkadang melupakan reputasi pengembang.
Pilihlah pengembang besar dengan reputasi bagus jika memang ingin mencicil langsung kepada pengembang. Tidak adanya pengawasan dari pihak lain, seperti perbankan, membuat risiko pengembang akan lari sebelum rumah dibangun sangat besar.
Baca juga: Polisi Buru Dua Buron Kasus Mafia Perumahan Syariah
Jika pengembang bekerja sama dengan bank, bank akan mengucurkan kredit secara bertahap sesuai tahapan pembangunan rumah tersebut. Jika tidak dibangun, kredit kepada pengembang akan dihentikan oleh bank.
Belakangan, iming-iming KPR Syariah, bebas riba, bebas BI Checking, dan uang muka nol persen menjadi penarik utama konsumen dalam membeli atau mencicil rumah melalui pengembang langsung.
Padahal, siapa yang bisa menjamin pengembang pasti beritikad baik menyelesaikan pembangunan. Perizinan saja kadang belum diurus tetapi pengembang sudah menawarkan proyek perumahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar