Rabu 11 Desember lalu, akun Koalisi Pejalan Kaki @trotoarian mengunggah potongan video di Twitter tentang situasi di trotoar Jalan Casablanka, Jakarta Selatan. Video bersurasi 20 detik itu memperlihatkan pengguna sepeda motor, bahkan angkot berada di area trotoar. Video yang dilihat 14.000 kali ini segera direspons warga.
Pemilik akun @hadhmeant berkomentar, "Ini trotoar kenapa jadi surga buat pengendara motor, seharusnya ini surga buat pejalan kaki." Komentar ini ditulis seraya menautkan dengan akun @TMCPoldaMetro @aniesbaswedan @DishubDKI_JKT @DKIJakarta, dan @SatpolPP_DKI. Harapannya barangkali agar persoalan itu mendapat perhatian mereka.
Harapan itu wajar. Sebab, pada saat yang sama, Pemerintah Provinsi DKI sedang menjalankan program revitalisasi trotoar. Meskipun trotoar sudah menjadi lebar, ternyata pejalan kaki belum merasa aman di jalurnya. Okupansi trotoar oleh kendaraan bermotor membahayakan keselamatan pejalan kaki.
Perebutan ruang di sisi jalan ini berlangsung hampir tiap hari di banyak ruas trotoar di Jakarta. Seringkali pemenangnya adalah mereka yang merasa lebih kuasa karena kendaraan yang dipakai, sebagaimana yang terlihat di Jalan Casablanka.
Perebutan ruang di sisi jalan ini berlangsung hampir tiap hari di banyak ruas trotoar di Jakarta. Sering kali pemenangnya adalah mereka yang merasa lebih kuasa karena kendaraan yang dipakai, sebagaimana yang terlihat di Jalan Casablanka.
Perampas hak pejalan kaki itu barangkali tidak menyadari ulahnya melanggar hukum. Kemungkinan lain, mereka menyadari, tetapi yakin bahwa aksinya bakal aman karena tidak ada sanksi atas perbuatannya.
Setidaknya, ada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No 38/2004 tentang Jalan, UU No 34/2004 tentang Jalan, Perda DKI No 5/2014 tentang Transportasi, dan Perda DKI Jakarta No 8/2007 tentang Ketertiban Umum yang mengatur hak pejalan kaki. Semua ketentuan itu seakan mati di tangan mereka dan aparat yang tidak menggunakan kewenangannya melindungi hak pejalan kaki.
"Kenyataannya memang begitu, orang masih takut pada aparatnya, bukan pada aturannya. Kalau tidak ada yang jaga, trotoar itu bisa diokupasi siapa saja. Penegakan hukum harus dijalankan," kata Alfred Sitorus, pegiat Koalisi Pejalan Kaki.
Seruan serupa disampaikan anggota Ombudsman RI, Alvin Lie. "Jika pelanggaran di trotoar dibiarkan terus-menerus, kebiasaan itu bisa dianggap wajar dan benar," kata Alvin Lie seperti dikutip dari Kompas, Kamis (12/12/2019). Tanpa upaya itu, sepertinya kerja keras merevitalisasi trotoar akan sia-sia.
Mengutip data Dinas Bina Marga DKI Jakarta, Kompas, Senin (21/10/2019), selama kurun waktu 2016-2020, program revitalisasi trotoar di Jakarta baru mencakup 16 persen dari total panjang jalan 1.300 km di DKI Jakarta. Setiap tahun, targetnya bertambah. Untuk tahun ini, revitalisasi dikerjakan di sepanjang 67,449 km dan pada 2020 sepanjang 103,743 km. Dana pembenahan trotoar itu pun terbilang hingga lebih dari Rp 1 triliun.
"Jika pelanggaran di trotoar dibiarkan terus-menerus, kebiasaan itu bisa dianggap wajar dan benar," kata Alvin Lie
Dengan dana sebesar itu, bisakah kita menemukan trotoar yang aman dan nyaman di kota ini? Ismi Damayanti (28), pekerja swasta di Jakarta, memilih Kawasan Dukuh Atas sebagai contoh favorit. Trotoar yang ada di sekitar Stasiun MRT Dukuh Atas ini lokasinya strategis. Tempat ini menjadi simpul pergantian antarmoda karena terhubung dengan Stasiun KRL Sudirman, Stasiun Kereta Bandara, Transjakarta rute Dukuh Atas-Kuningan.
Akses penghubung antartitik di sana melintasi taman, jalan raya, serta terowongan. Jalan penghubung antara Stasiun KRL Sudirman dan Stasiun Kereta Bandara sebelumnya adalah jalan raya yang dilintasi kendaraan. Akses kendaraan itu kini terlarang untuk kendaraan bermorot dan hanya pejalan kaki yang boleh melintas.
Akses pejalan kaki makin lega, bahkan mereka mendapat bonus berupa pertunjukan musik gratis. Tidak hanya itu, ada ruang baca mini yang tersedia di sisi barat. Ruang seukuran peti kemas itu tersedia buku-buku sastra, cerita detektif, kiat bisnis, dari penulis dalam dan luar negeri. Singkat kata, bagi Ismi, kawasan Dukuh Atas cukup ramah untuk pejalan kaki.
Penilaiannya beralasan, sebab jalur pejalan kaki di area ini dijaga aparat Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta. Penjagaan di kawasan ini membuat pesepeda motor ataupun pedagang kaki lima tidak berani naik. Sempat tebersit dalam benak saya, apakah semua trotoar di Jakarta harus dijaga hingga pejalan kaki memperoleh hak sebagaimana mestinya. Betapa ribetnya jika pikiran seperti ini digerakkan. Berapa banyak petugas yang perlu dikerahkan hanya untik menjaga trotoar.
Selain Dukuh Atas, ada yang menyebut Kawasan Sudirman-Thamrin, SCBD, dan Senayan layak menjadi contoh trotoar terbaik di Jakarta. Meski belum semua nyaman, sebaiknya kita menjaga kawasan itu agar tidak dikuasai perampas hak pejalan kaki.
"Yang mudah itu membangun selama ada dananya, yang sulit itu membangkitkan kesadaran menghargai trotoar dan membangun budaya jalan kaki," kata seorang kolega dalam sebuah obrolan tentang trotoar di Jakarta.
Seandainya warga dan aparat menyadari hak pejalan kaki, barangkali trotoar Jakarta bakal "hidup" sebagaimana yang terjadi di Kota New York, Amerika Serikat. Pejalan kaki di sana tidak perlu khawatir haknya terampas pengguna motor meski jalanan padat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar