Salah satu bagian penting program kerja prioritas periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi adalah pembentukan "Omnibus Law", yaitu sebuah UU payung yang menggantikan beberapa UU sekaligus, berkaitan dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan lintas sektoral. Mencermati rencana pemerintah untuk menerbitkan Omnibus Law dalam rangka mengatasi tumpang tindih peraturan UU, tentu tak mudah.
Penerbitan Omnibus Law ini ditujukan untuk menstandarisasi pasal-pasal bermasalah dari sekitar 71-74 UU sektoral, dan diharapkan bisa jadi solusi untuk proses kodifikasi hukum atas isu-isu besar lain di masa mendatang, seperti perkembangan ekonomi digital dan perlindungan investor.
Namun demikian apakah mudah menggantikan puluhan UU? Hal apa saja yang harus diperhatikan pemerintah, dan langkah apa saja yang harus ditempuh untuk melancarkan proses ini?
Konsep Omnibus Law sendiri sebenarnya bukan konsep baru. Di negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Irlandia, dan Singapura, konsep ini sering digunakan untuk mengubah, mencabut, dan meratifikasi beberapa UU sekaligus melalui pembentukan suatu UU payung.
Sementara itu Pemerintah AS kerap menggunakan Omnibus Bills untuk mengatur isu-isu multi-sektoral sekaligus. Perancangan Omnibus Bills ini selalu melibatkan setiap pemangku kepentingan, badan-badan pemerintah, dan komite-komite yang berkaitan.
Di Indonesia sendiri konsep ini sebenarnya sudah pernah diimplementasikan dengan prosedur yang sudah diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebagai contoh, UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang secara langsung mencabut sejumlah UU tentang pemilu dan pembentukan UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang sekaligus merevisi beberapa ketentuan dalam UU Perbankan, UU Bank Indonesia (BI) dan UU Otoritas Jasa Keuangan.
Namun konsep Omnibus Law yang diusung Presiden Jokowi pada pidato pelantikannya 20 Oktober 2019 memang akan jauh lebih luas.
Mencermati potensi masalah
Luasnya cakupan Omnibus Law ini mengakibatkan munculnya berbagai potensi masalah yang harus dicermati pemerintah dengan saksama. Salah satu potensi hambatan pembentukan UU ini adalah risiko bahwa proses pembentukannya dianggap tidak sesuai dengan prosedur perancangan UU yang telah diatur dalam UU No 12 Tahun 2011. Hal ini membuka potensi banyaknya penentangan terhadap pembentukan Omnibus Law di Indonesia, dan diajukannya judicial review baik di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.
Salah satu cakupan dalam perancangan Omnibus Law ini adalah untuk mendukung pemberdayaan usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) di Indonesia. Namun, peraturan terkait pemberdayaan UMKM saat ini tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sektoral yang berbeda, dengan definisi dan pengaturan yang berbeda pada setiap sektor, tergantung pada kepentingan sektoral masing-masing.
Sebagai contoh, kriteria UMKM itu sendiri berbeda-beda di beberapa badan pemerintah, walaupun peraturan sektoral pada umumnya mengacu kepada kriteria kuantitatif, sebagaimana diatur pada UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Namun, BPS menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja, di mana disebut usaha mikro jika memiliki tenaga kerja 1-4 orang, usaha kecil 5-19 orang dan usaha menengah 20-99 orang.
Sementara itu, Kementerian Keuangan menggunakan istilah "pengusaha kecil" yang didefinisikan sebagai "Pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar" untuk mengatur pengecualian pajak bagi UMKM dan pengusaha-pengusaha kecil lainnya.
Langkah antisipasi masalah
Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengantisipasi kedua masalah yang telah diuraikan di atas.
Sebagai langkah pertama, pemerintah sebaiknya terlebih dahulu melakukan revisi atas UU No 12 Tahun 2011 untuk mengakomodasi prosedur khusus dalam pembentukan Omnibus Law yang lebih efisien dan efektif, yang juga akan mengatur keterlibatan badan pemerintah dan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang jumlahnya lebih banyak dari pembahasan RUU pada umumnya.
Revisi ini akan mengatur adanya UU payung dengan hierarki di atas UU biasa, yang mempunyai kuasa hukum bersifat lintas sektoral dan dapat merevisi banyak undang-undang secara serentak.
Selain itu, pemerintah perlu merancang kriteria UMKM yang bersifat umum dengan batas kuantitatif dan kualitatif yang berlingkup luas, untuk memprioritaskan dampak yang luas terhadap UMKM tanpa dibatasi oleh kepentingan sektoral badan-badan pemerintah.
Penyetaraan definisi UMKM lalu dapat disertai dengan program-program pemberdayaan UMKM dalam Omnibus Law yang terintegrasi, tanpa adanya pengulangan, di mana badan-badan pemerintah membagi tugas untuk menjadi penanggung jawab atas program-program pemberdayaan tertentu, misalnya pembiayaan UMKM menjadi tanggung jawab BI, perizinan UMKM menjadi tanggung jawab Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan bertanggung jawab atas perpajakan UMKM.
Pembentukan dan implementasi Omnibus Law ini tentu akan menghadapi banyak tantangan.
Sebagai suatu konsep hukum yang belum pernah secara formal diterapkan di Indonesia, pembentukan dan implementasi Omnibus Law ini tentu akan menghadapi banyak tantangan. Salah satu solusi untuk menjawab tantangan ini adalah dengan pembentukan suatu tim ahli, bisa berbentuk seperti Badan Khusus Pusat Legislasi Nasional bisa juga tetap dalam lingkup Kementerian Hukum dan HAM dengan mandat untuk melakukan konsolidasi kebijakan dan pendefinisian aturan demi tercapainya tujuan pembentukan Omnibus Law.
Dalam menyiapkan Omnibus Law, pemerintah harus selalu memprioritaskan harmonisasi hukum, mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan badan pemerintah terkait dan melakukan sosialisasi yang menyeluruh, untuk mencapai tujuan Omnibus Law dengan cara efisien dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar