Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Desember 2019

PERGELARAN‎: Beethoven, Puisi, dan Sapardi (FRANS SARTONO)


SUPRIYANTO

Frans Sartono, wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019

Kala musik bertemu puisi, maka lahirlah simfoni. Bandung Philharmonic dengan pengaba Robert Nordling memainkan karya Ludwig van Beethoven "Simfoni No 9", Sabtu (30/11/2019).

Bagian ke-4 karya tersebut yang berunsur paduan suara digubah dari puisi Friedrich Schiller. Pergelaran bertajuk "Flame of Joy" di Hilton, Bandung, itu juga menyuguhkan komposisi "Terbangnya Burung" karya Arya Brahmantya Boga. Lirik pada bagian paduan suara karya tersebut diambil dari puisi Sapardi Djoko Damono.

Bagi Sapardi Djoko Damono, antara puisi dan musik adalah dua wilayah  berbeda. Ketika dari puisi lahir sebentuk komposisi musik, maka karya baru tersebut bukan lagi puisi. Komposisi tersebut menurut Sapardi juga bukan milik sang penyair. "Simfoni itu karya komposer. Yang punya saya itu puisinya," kata Sapardi.

Puisi Sapardi "Terbangnya Burung" dipilih sebagai inspirasi penyusunan komposisi di ajang Kompetisi Komponis Muda Indonesia 2019 yang diselenggarakan Bandung Philharmonic. Bandung Philharmonic memang selalu menampilkan karya baru dalam setiap konser.

Mereka, misalnya, pernah menampilkan karya Singgih Sanjaya "Nagara Kartagama" dan karya Budi Ngurah "Borobudur". Belakangan, mereka menjaring karya baru lewat kompetisi. Kali ini, dalam pergelaran "Flame of Joy" ditampilkan karya pemenang kompetisi 2019, yaitu "Terbangnya Burung" dari Arya Brahmantya Boga (26).

ARSIP BANDUNG PHILHARMONIC

Para musisi dan penyanyi dalam pergelaran musik "Flame of Joy" oleh Bandung Philharmonic di Hilton, Bandung, Sabtu (30/11/2019).

Sajak-sajak Sapardi memang sudah banyak yang dijadikan komposisi musik. Salah satunya yang terkenal adalah "Hujan Bulan Juni". Ananda Sukarlan juga pernah membuat komposisi untuk piano atas dasar puisi Sapardi.

Sang penyair mempersilakan karyanya dialihwahanakan dalam bentuk apa saja. Entah itu dalam bentuk musik, seni rupa, film, dan apa saja. "Mereka menafsirkan sajak saya sedemikian rupa sehingga mereka dapat membuat komposisi," kata Sapardi.

"Terbangnya Burung"

Dan, dengan bebas pula, Arya menafsir sajak "Terbangnya Burung". Setelah membahas bersama rekan-rekannya, Arya memahami atau menafsirkan puisi Sapardi itu sebagai upaya untuk mengikhlaskan kepergian seseorang. "Kami pahami sebagai melepaskan, merelakan orang yang dikasihi pergi."

Ada baiknya kita kutipkan puisinya:

//terbangnya burung/ hanya bisa dijelaskan/ dengan bahasa batu/ bahkan cericitnya/ yang rajin memanggil fajar/ yang suka menyapa hujan/ yang melukis sayap kupu-kupu/ yang menaruh embun di daun/ yang menggoda kelopak bunga/ yang paham gelagat cuaca/ hanya bisa disadur/ ke dalam bahasa batu/ yang tak berkosa kata/ dan tak bernahu/ lebih luas dari fajar/ lebih dalam dari langit/ lebih pasti dari makna/ sudah usai sebelum dimulai/ dan sepenuhnya abadi/ tanpa diucapkan sama sekali//

ARSIP BANDUNG PHILHARMONIC

Vincent Wiguna, asisten pengaba, sedang mengaba "Sleigh Ride" dalam pergelaran musik "Flame of Joy" oleh Bandung Philharmonic di Hilton, Bandung, Sabtu (30/11/2019).

Kompetisi dari Bandung Philharmonic itu mewajibkan peserta membuat komposisi untuk paduan suara dengan atau tidak dengan orkes gesek. Atau dibuat secara akapela. Arya memilih komposisi dengan pembagian suara sopran, alto, tenor, dan bas (SATB) plus gesek. "Jadi, bisa dibilang ini setengah akapela, setengah dengan iringan. Tapi keduanya saling kawin," kata Arya.

Larik-larik puisi Sapardi itu seperti menuntun Arya dalam menyusun komposisi. Pada bagian awal komposisi, misalnya, terdengar cericit burung. Dalam benaknya, Arya membayangkan suasana pagi di hutan. Dalam puisi tertulis "Bahkan cericitnya/ Yang rajin memanggil fajar…".

Larik-larik puisi Sapardi itu seperti menuntun Arya dalam menyusun komposisi. Pada bagian awal komposisi, misalnya, terdengar cericit burung.

Bagian komposisi selanjutnya terdengar liris. Suara bariton seperti mendeskripsikan tentang apa yang dilakukan si burung. Selanjutnya terdengar impresi gemuruh, berat. Dalam sajak ada larik "yang suka menyapa hujan" dan  "yang paham gelagat cuaca".

Setelah itu, komposisi melirih, kalem. Dikatakan Arya, itu merupakan ungkapan sikap pasrah dan ikhlas melepas. Sang burung terbang dengan hati lapang, lepas, ikhlas. Setidaknya, itulah tafsir sang komponis yang mungkin berbeda dengan interpretasi pembaca lainnya. Atau, mungkin juga berbeda dengan apa yang ada di benak sang penyair.

"(Karya) itu merupakan tafsir, dan itu bebas. Tidak apa-apa. Tidak harus sesuai, tidak harus setia pada (puisi) yang asli," tutur Sapardi.

ARSIP BANDUNG PHILHARMONIC

Para musisi dan penyanyi dalam pergelaran musik "Flame of Joy" oleh Bandung Philharmonic di Hilton, Bandung, Sabtu (30/11/2019).

Pianis dan komponis Ananda Sukarlan yang menulis sejumlah komposisi berdasar puisi juga mengaku sering tidak setia pada karya penyair. Diakui Ananda, muatan emosi suatu puisi kadang harus berhadapan dengan emosi personal komposer saat menyusun komposisi. Ia, misalnya, pernah menggarap puisi Sapardi "Dalam Doaku". Berikut kutipan salah satu baitnya:

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja

yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis…

Ananda merasa komposisi itu lebih merupakan ungkapan perasaan orang kesepian. Saat menyusun komposisi, ia mengakui sedang dalam situasi kesepian. Akan tetapi, diakui Ananda, jika tidak ada puisi "Dalam Doaku" tersebut, maka musiknya pun tidak akan berbunyi seperti terdengar dalam komposisi tersebut. Artinya, di satu sisi, puisi sangat berpengaruh atas lahirnya komposisi.

"Ode to Joy"

Puisi karya Friedrich Schiller oleh Beethoven digarap sebagai libretto atau lirik untuk bagian akhir "Simfoni No 9" yang berupa paduan suara. Itu mengapa karya tersebut dikenal sebagai Choral Finale. Bandung Philharmonic untuk bagian ini menampilkan soprano Anna Migalos, Camille Lopez Molina (alto), Noel Azcona (bariton) dari Filipina, dan Kim Ji Ho (tenor) dari Korea.

Edward Downes dalam bukuEveryman's Guide to Orchestral Musicmenulis bahwa keduanya lahir dari gemuruh sejarah yang sama. Pada masa muda, mereka sama-sama terimbas semangat revolusi Perancis yang gelombangnya menembus negeri-negeri Eropa lain, termasuk Jerman.

Semangat itu adalah the brotherhood of man, persaudaraan antarsesama manusia. Semangat itu ditulis Schiller dalam puisi, dan menyemangati Beethoven dalam "Simfoni No 9". Semangat persaudaraan antarsesama itu pula yang digelorakan kembali oleh Bandung Philharmonic.

ARSIP BANDUNG PHILHARMONIC

Bandung Philharmonic dengan pengaba Robert Nordling dalam konser "Krakatoa" di Hilton Bandung, Minggu (27/1/2018).

Ada empat bagian atau movementdengan durasi sekitar 70 menit. Bagai sebuah perjalanan panjang yang memerlukan konsentrasi, pengaba Robert Nordling perlu memberi semacam bekal, lewat cerita.

"Suatu kali ketika saya tidur lelap Beethoven datang, dan berdiri di samping saya. Dia berpesan, mohon jangan bertepuk tangan sebelum seluruh karya (Simfoni) selesai dimainkan," kata Nordling, dan penonton tertawa.

Tentu saja pengaba Bandung Philharmonic itu bercanda. Tapi, di balik itu, ia serius. Dan benar, selama simfoni dimainkan, penonton diam, terpaku, dan terpukau oleh karya yang ditulis selama 7 tahun sejak 1817 itu.

Dan, begitu bagian akhir "Ode to Joy" lenyap dari pendengaran, meledaklah tepuk riuh dan sorak sorai berkepanjangan. Mereka memberi penghormatan sambil berdiri (standing ovation), dan terus bertepuk riuh.

Keempat bagian simfoni ini memang merupakan satu kesatuan ucap yang utuh. Setiap bagiannya bukanlah karya terpisah. Setiap bagian seperti mengantar ke bagian berikutnya sampai ke klimaks pada bagian "Ode to Joy".

ARSIP BANDUNG PHILHARMONIC

Penampilan Bandung Philharmonic dengan pengaba Robert Nordling saat konser di Dago Tea House, Bandung, Sabtu (23/9/2017).

Bagian awal dari movement 4 ini merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara tiga movementsebelumnya dengan bagian akhir ataufinale.

Jika terinterupsi oleh tepuk tangan, mungkin akan terputuslah kekhusyukan musisi dan penikmat. Untunglah, malam itu sukacita seperti dimaksud dalam karya ini terasa di ruang pergelaran di Hilton, Bandung.

Pengaba Robert Nordling sebelum mengaba memberi pengantar kecil. Ia mengingatkan kembali akan semangat yang menjadi roh "Simfoni No 9", yaitu persahabatan dan persaudaraan yang saling memahami serta menghormati,  kebebasan, kasih sayang, dan sukacita atas semua itu.

Mungkin akan dikatakan berlebihan jika semangat tersebut dikaitkan dengan Dasa Sila Bandung, semangat ketika Konferensi Asia Afrika digelar di Bandung pada 1955. Tapi, nyatanya, lewat "Simfoni No 9",  Bandung Philharmonic menggelorakan semangat persaudaraan itu.

"Pesan Beethoven dalam karya ini terasa semakin bermakna saat ini," kata Nordling.

Kompas, 7 Desember 2019 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger