Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Desember 2019

ANALISIS LUAR NEGERI: Menggugat Politik Sektarian Lebanon (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Demonstrasi yang terjadi di Lebanon sejak Oktober silam hingga November lalu bukan sekadar demonstrasi untuk menuntut perlunya diciptakan pemerintahan yang bersih, pemerataan, keadilan, pemberantasan korupsi, dan penciptaan lapangan kerja.

Demonstrasi itu juga bukan hanya menuntut lengsernya seorang penguasa atau penggantian pemerintahan.

Mereka, para demonstran bahkan, menuntut disingkirkannya seluruh rezim sepenuhnya: setiap anggota elite yang berkuasa, terlepas dari kesetiaan (partai, golongan, kelompok, aliran, atau kelas politik). Mereka ingin mengangkat sampai ke akar-akarnya, menjebol "pohon cedar" lama dan digantikan "pohon cedar" baru.

Pohon cedar adalah bagian dari lambang Lebanon. Lambang negara Lebanon terdiri atas perisai merah dengan bidang pita putih melintang dan di atas bidang putih itu terletak gambar pohon cedar. Lambang ini hampir sama persis dengan bendera Lebanon, dengan pengecualian dasar putih mendatar di tengah digantikan dengan bidang putih melintang.

Dengan mengganti "pohon cedar" lama dengan "pohon cedar" baru, rakyat Lebanon ingin mengakhiri politik sektarian. Meskipun, sebenarnya, sektarianisme telah menjadi prinsip politik pemerintahan Lebanon sejak pembentukan republik itu pada 1926. Akan tetapi, prinsip seperti itu, sekarang dianggap menghambat pembangunan, menjadi penyebab merebaknya korupsi dan menjadi persemaian pemimpin politik yang tidak kompeten.

REUTERS/MOHAMED AZAKIR

Demonstran berdiri di jembatan yang dihiasi dengan bendera nasional bergambar pohon cedar selama protes anti-pemerintah di sepanjang jalan raya di Jal el-Dib, Lebanon, 21 Oktober 2019.

Aksi yang sama pernah dilakukan pada 2011. Ketika itu, sekitar 8.000 warga Lebanon berdemonstrasi menentang sektarianisme. Klaim yang mereka teriakkan waktu itu sama dengan yang diteriakkan sekarang ini. "Roti, pengetahuan, dan kebebasan, tidak untuk sektarianisme politik" (Arab News, Senin, 7 Maret 2011).

Sebenarnya, kritik semacam itu bukanlah hal baru di Lebanon. Para sejarawan telah lama berpendapat bahwa sektarianisme telah merusak politik dan pemerintahan nasional.

William L Cleveland dan Martin Bunton (A History of the Modern Middle East, 2009), misalnya, membahas sektarianisme Lebanon dengan menyatakan, "Ketekunan terhadap kesetiaan komunal sektarian merintangi perkembangan politik Lebanon dan memungkinkan ikatan keluarga dan agama untuk menang atas ikatan hubungan nasional. Politik didominasi oleh keluarga mapan yang kekuatannya berasal dari feodalisme, status ekonomi, dan tradisi kepemimpinan yang sudah lama ada. Di dalam setiap daerah pemilihan negara, seorang pemimpin politik (za'eem) dari keluarga terkemuka di wilayah itu memanipulasi pemilihan dan mendistribusikan bantuan politik dan imbalan uang."

Pakta Nasional

Realitas politik Lebanon saat ini adalah "warisan" kesepakatan pada musim panas 1943. Ketika itu, disepakati apa yang disebut sebagai Pakta Nasional (al-Mithaq al-Watani), yakni sebuah perjanjian tidak tertulis. Tujuan dari Pakta Nasional adalah memberikan hak kepada semua kelompok agama dan berbagi kekuasaan di antara mereka semua.

REUTERS/ALI HASHISHO/FILE PHOTO

Pengunjuk rasa anti-pemerintah berdiri di depan patung perdana menteri pertama Lebanon, Riad al-Solh, di Beirut, Lebanon, 20 Oktober 2019.

Kesepakatan itu hasil pertemuan antara Bechara El Khoury (seorang Kristen Maronit) yang juga presiden pertama Lebanon dan PM pertama Riad al-Solh, seorang Sunni. Pakta Nasional adalah label baru yang melambangkan politik konfesionalisme pasca-kemerdekaan, dengan demikian memahkotai proses perubahan yang terjadi selama mandat baik di Lebanon maupun di orde regionalnya (Farid el- Khazen, 1991).

Farid el-Khazen menyatakan, Pakta Nasional itu, mewujudkan persatuan "dikotomi" Lebanon: persatuan internal di Lebanon dan persatuan Lebanon berhadapan dengan dunia luar, terutama Suriah (saat itu aktor utama dalam tatanan regional Lebanon), dan Perancis (saat itu kekuatan kolonial utama di Suriah dan Lebanon).

Butir-butir penting dari Pakta Nasional itu adalah kaum Muslim Maronit tidak mengundang intervensi asing (Barat), dan menerima Lebanon afiliasi-Arab; kaum Muslim melepaskan aspirasinya untuk bergabung dengan Suriah; Presiden Republik Lebanon selalu seorang Katolik Maronit; Perdana Menteri dari Muslim Sunni; Ketua Parlemen selalu dari Muslim Syiah; Deputi Ketua Parlemen dan Deputi PM selalu Kristen Ortodoks Yunani; Kepala Staf Angkatan Bersenjata dari Katolik Maronit; Kepala Staf AD dari Druze; perbandingan anggota Parlemen selalu 6:5, untuk Kristen.

Pada saat itu, mayoritas penduduk adalah Kristen (51 persen), Muslim Sunni (22 persen), Muslim Syiah (20 persen), dan Druze (7 persen). Angka-angka komposisi penduduk tersebut, tentu, sekarang sudah berubah. Pakta Nasional 1943 itu disepakati sebagai tindakan sementara untuk mengatasi perpecahan filosofis antara pemimpin Kristen dan Muslim pada saat kemerdekaan. Diharapkan begitu urusan pemerintahan berjalan, dan ketika semangat nasional tumbuh, maka pentingnya pengakuan agama dalam struktur politik akan berkurang.

AP PHOTO/HASSAN AMMAR

PM Lebanon Saad Hariri saat menyampaikan pidato, Selasa (29/10/2019), di Beirut, Lebanon. PM Hariri mengatakan, dirinya mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Michel Aoun setelah menemui jalan buntu di tengah tekanan gelombang unjuk rasa.

Namun, beberapa kali terjadi perselisihan politik. Misalnya yang menonjol dan termanifestasi dalam Perang Saudara (1958), kontroversi Palestina pada 1960-an, dan 1970-an (dengan datangnya sekitar 400.000 pengungsi Palestina dan 95 persen dari mereka adalah Muslim Sunni, tentu ini menjadi persoalan bagi kelompok agama yang lain), lalu perang saudara selama 15 tahun sejak 1975. Semua itu menjadi catatan bahwa Pakta Nasional masih belum sepenuhnya bisa menjadi sarana terciptanya integrasi masyarakat.

Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa Pakta Nasional hanya melanggengkan kekuasaan orang-orang istimewa. Pakta tersebut, dikombinasikan dengan sistemclientelism—sistem politik atau sosial yang didasarkan pada hubungan klien dan patron, dengan klien memberikan dukungan politik atau keuangan kepada pelindung (seperti dalam bentuk suara) dengan imbalan hak istimewa atau keuntungan tertentu—menjamin pemeliharaan status quodan kelanjutan hak istimewa untuk elite sektarian.

Memang, Konstitusi Lebanon tidak secara langsung mengakui pembagian kekuasaan di antara komunitas agama dominan, pembagian kekuasaan itu menekankan kebutuhan untuk menegakkan "pakta koeksistensi komunal". Dalam Pembukaan Konstitusi Lebanon poin J hanya dinyatakan, "Tidak akan ada legitimasi konstitusional untuk otoritas apa pun yang bertentangan dengan 'pakta eksistensi bersama'."

Akan tetapi, identitas di Lebanon pascaperang dibentuk terutama oleh afiliasi konfesionalisme (dalam terminologi ilmu politik, konfesionalisme adalah sistem pemerintahan yang secara proporsional mengalokasikan kekuatan politik di antara masyarakat suatu negara—baik agama maupun etnis—sesuai dengan persentase populasi mereka) dan sektarian.

AFP/PATRICK BAZ

Demonstran anti-pemerintah merayakan pengunduran diri PM Lebanon Saad Hariri di Beirut, Lebanon, 29 Oktober 2019.

Mobilisasi politik dan loyalitas individu sering diarahkan ke sekte dan elite politik atau agama daripada institusi dan simbol negara. Namun, ini bukan konsekuensi dari identitas primordial statis atau budaya politik sektarian yang tidak dapat diubah.

Sebaliknya, identitas sektarian secara historis dibangun dan direproduksi secara dinamis melalui ansambel kompleks yang sangat modern. Konstitusi Lebanon 1926—dan semua versi selanjutnya—memberikan sektarianisme tempat istimewa dalam kehidupan pribadi dan publik (Bassel F Salloukh, Rabie Barakat, Jinan S Al-Habbal, Lara W Khattab, Shoghig Mikaelian: 2015).

Konstitusi Lebanon Pasal 9 secara jelas mewajibkan negara "untuk memberi penghormatan" terhadap perbedaan. "Ada kebebasan nurani yang absolut. Negara dalam memberikan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus menghormati semua agama dan kepercayaan serta akan menjamin, melindungi kebebasan melaksanakan semua ritual keagamaan asalkan tidak mengganggu ketertiban umum. Di bawah perlindungannya bebas menjalankan semua ritual keagamaan asalkan ketertiban umum tidak terganggu. Konstitusi juga harus menjamin bahwa status pribadi dan kepentingan agama penduduk, apa pun sekte agama yang mereka anut, harus dihormati."

Ujian berat

Gerakan rakyat, terutama kaum muda, berasal dari berbagai macam latar belakang. Kali ini, demonstran tidak lagi mengikuti garis sektarian atau mengikuti perintah pemimpin sektarian, tetapi sebaliknya. Mereka melawan garis sektarian itu, memotong pembagian kelas, agama, dan wilayah. Rakyat Lebanon kini bersatu dalam kemarahan bersama melawan oligarki yang dianggap tidak kompeten, acuh tak acuh pada rakyat, dan serakah karena sistem politik sektarian yang mereka pegang teguh.

Memang, para pemimpin politik dan pemerintahan gagal memberikan layanan dasar, seperti perawatan kesehatan serta penyediaan air bersih dan listrik. Inilah sebabnya mengapa begitu banyak yang memilih untuk berani menentang para pemimpin mereka.

Saat berpidato di televisi, Presiden Lebanon Michel Aoun—seorang Kristen yang bersekutu dengan Hezbollah, kelompok politik-paramiliter Syiah dukungan Iran yang mendominasi pemerintahan Lebanon—mengatakan, "sektarianisme adalah penyakit yang menghancurkan". Ia juga mengatakan, "para menteri mestinya dipilih berdasarkan kompetensi dan keahlian mereka, bukan atas dasar loyalitas politik".

Akan tetapi, Hezbollah, sekutu Michel Aoun, melihat tuntutan para demonstran terutama pembentukan pemerintahan teknokratik non-sektarian dan pemisahan kekuasaan, adalah sebuah ancaman langsung bagi kekuasaan mereka. Institusi pemerintahan yang lebih independen dapat mengancam pasokan baik senjata maupun dana serta material lain dari Iran, yang selama ini memungkinkan mereka mempertahankan superioritas militer di Lebanon.

Terlepas dari semua itu, nasionalisme adalah konsep politik yang berasal dan dikembangkan di Eropa. Meskipun nasionalisme muncul sebagai ideologi modern, ia berkembang sebagian sebagai hasil dari pemisahan awal kekuatan spiritual dan temporal di negara-negara Eropa.

REUTERS/ALKIS KONSTANTINIDIS

Demonstran melambaikan bendera Lebanon saat melakukan demonstrasi anti-pemerintah di jalan  Jal el-Dib, Lebanon, 23 Oktober 2019.

Sementara banyak negara Eropa memasuki era modern dengan pemisahan yang jelas antara negara dan agama, di Timur Tengah tidak ada perbedaan yang sama. Meskipun Pakta Nasional mungkin sudah mencukupi sebagai tindakan sementara dalam proses pembangunan bangsa, itu tidak dapat dianggap sebagai dasar untuk pengembangan selanjutnya dari demokrasi modern yang canggih (D Stoten, A State Without A Nation, University of Durham, 1992, 78).

Dengan kata lain, Lebanon boleh jadi tidak dapat berkembang menjadi demokrasi modern selama belum mampu melepaskan diri dari loyalitas individu (juga kelompok) pada agama dan kemudian mengadopsi kesetiaan yang seragam, yang satu kepada Lebanon. Inilah ujian berat bagi kaum muda lintas sektarian yang ingin mencabut "pohon cedar" lama dan menggantikan dengan "pohon cedar" baru.

Kompas, 7 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger