Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Desember 2019

SENI RUPA: Para Pelacur yang Menyeramkan (ILHAM KHOIRI)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ilham Khoiri, wartawan Kompas

Tetiba saya menggigil di depan lukisan "Les Demoiselles d'Avignon" karya seniman masyhur asal Spanyol, Pablo Picasso.

Bukan semata lantaran musim dingin yang merundung New York, Amerika Serikat, Oktober 2018, itu menembus The Museum of Modern Art, tempat karya itu dipajang.

Saya terenyuh terutama karena lima sosok perempuan telanjang dalam lukisan itu demikian menggugah. Bagaimana rasa tergugah bisa muncul tiba-tiba? Saya cerita sedikit dulu tentang suasana museum.

Pagi itu, pengunjung di The Museum of Modern Art (biasa disingkat MoMA) cukup padat. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia. Sebagian besar mengenakan jaket atau jas tebal yang mengusir dingin. Semuanya terpaku di depan lukisan "Les Demoiselles d'Avignon" yang oleh kurator MoMA diterjemahkan sebagai "The Young Women of Avignon" (Para Perempuan Muda di Avignon).

Beberapa orang duduk di sofa sambil menatap lekat-lekat lukisan itu. Beberapa berdiri diam agak lama. Banyak juga yang kemudian mejeng untuk berswafoto di depan karya masyhur tersebut. Semuanya berlangsung dengan minim suara. Ucapan keras sedikit saja terasa mengusik hening mereka menikmati karya seni.

Semua itu memusat pada lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 243 cm x 233 cm, buatan tahun 1907. Lukisan itu, sebagaimana termaktub dalam buku-buku sejarah seni rupa, menampilkan lima perempuan pelacur. Warnanya dominan pink, agak oranye kemerahan. Wajah dan tubuh telanjang mereka tampak berantakan.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Pengunjung menikmati lukisan "Les Demoiselles d'Avignon" (1907) karya seniman asal Spanyol, Pablo Picasso, di The Museum of Modern Art, New York, AS.

Satu perempuan duduk di bagian kanan kanvas. Hidungnya meleyot tak karuan. Kedua matanya tidak simetris: mata kiri agak merosot ke bawah, mata kanan meliuk ke atas. Rambutnya berantakan.

Di belakangnya, satu perempuan berdiri. Wajahnya lebih awut-awutan, penuh coreng-moreng, dengan rambut juga acak-acakan. Kedua perempuan itu seperti mengenakan topeng seram.

Tampang tiga perempuan lain di sebelah kiri agak lumayan. Setidaknya mata, hidung, telinga, dan mulut mereka berada tak jauh dari tempat sepatutnya. Tapi, postur dan detail anatomi tubuh mereka masih aneh. Kakinya lancip-lancip, dada dan payudara segitiga, mata melotot tajam.

Mereka semua tampak keluar dari tirai yang berwarna coklat, putih, dan biru yang murung. Hanya saja, tirai itu terlihat seperti kaca yang hancur, terbelah-belah. Di dekat kaki mereka duduk, ada segerombol buah-buahan: sepotong melon, anggur, apel, dan pir. Buah-buahan itu tak terlihat segar, melainkan pucat pasi.

Sebagaimana di catatan dalam situs moma.org, para peneliti sejarah seni mencatat lukisan ini sebagai salah satu penanda penting gejala kubisme Picasso, seniman genius kelahiran Spanyol tahun 1881 yang kemudian hijrah dan hidup di Perancis hingga meninggal tahun 1973. Kubisme (membelah obyek jadi kubus-kubus dan geometris) merupakan pendekatan visual yang radikal pada masanya. Mazhab ini menyegarkan aliran-aliran sebelumnya, terutama realisme (melukis dengan meniru sepersis mungkin obyeknya) dan impresionisme (mengutamakan kesan cahaya warna-warni yang menimpa obyek).

Sosok-sosok dalam karya ini memperlihatkan pendekatan visual yang multiperspektif: beragam sudut pandang yang tidak linier dibaurkan menjadi satu. Mirip patung-patung primitif Afrika yang memang memengaruhi Picasso. Figur dibelah dalam faset-faset berbentuk kubus dan geometris, lantas ditata ulang secara acak. Pewarnaan liar, meleset jauh dari aslinya.

Unsur berantakan ini memang jadi ciri khas permainan visual Picasso. "Setiap kreasi dimulai dari penghancuran," katanya suatu ketika dalam situspablopicasso.org. Tak hanya menghancurkan, pelukis itu kemudian berusaha menata kembali potongan-potongan kubus itu, tetapi dengan caranya yang unik, cenderung agak asal-asalan.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

"Les Demoiselles d'Avignon" (1907), lukisan karya seniman asal Spanyol, Pablo Picasso, di The Museum of Modern Art, New York, AS.

Menarik melanjutkan diskusi soal kubisme dalam sejarah seni rupa modern dunia. Namun, bagi saya, ekspresi kelima perempuan ini tak kalah menggugah.

Kelimanya tidak tersenyum. Meski mata melotot, tatapan mereka pun terkesan dingin sekaligus murung. Alih-alih menggoda atau tampak erotik, sosok kelima perempuan itu buruk rupa. Jika dilihat lekat-lekat, tatapan mata mereka mendelik, agak menakutkan.

Tak berlebihan jika kemudian pelukis asal Perancis, Henri Matisse, menyindir pandangan mata para perempuan itu sebagai "para pelacur yang menyeramkan". Kini, sindiran itu lebih pas dibaca sebagai pujian. Pandangan seram itu memang mungkin mewakili ekspresi kelima pelacur itu saat digambar oleh Picasso di Avignon, satu kawasan prostitusi di Barcelona, Spanyol.

Sebagaimana lazimnya para pelacur zaman sekarang, pada masa itu mereka menjual tubuhnya bukan untuk sekadar bersenang-senang, menuruti hawa nafsu, tetapi terutama untuk mencari uang, menyambung hidup. Mereka nyemplung dalam dunia itu karena berbagai alasan yang tak sepenuhnya diketahui publik: mungkin karena terpaksa, dikelabui germo, atau terjebak keadaan. Sesuatu yang rumit dan sulit dijelaskan dengan asumsi tunggal.

Ekspresi inilah yang terasa menggugah. Sekilas, kelima perempuan dalam lukisan itu tampak berantakan. Tapi, jika dicermati lekat-lekat, keberantakan visual itu justru dengan jitu menguak jati diri para pelacur itu yang lebih otentik. Bagaimanapun, pekerja seks komersial adalah eksistensi yang kompleks dalam dirinya sendiri dan dalam pandangan publik.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Sejumlah patung menghiasi pelataran The Museum of Modern Art di New York, AS, Sabtu (13/10/2018).

Kompleksitas Pupuk DP

Entah bagaimana, ingatan atas lukisan Picasso itu juga muncul saat saya melihat pameran pelukis Pupuk Daru Purnomo (DP) bertajuk "Kerak Residu" di Bentara Budaya Jakarta, 28 November-7 Desember 2019. Pelukis lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu menampilkan sejumlah lukisan, patung, dan instalasi. Wajah-wajah yang ditampilkan dalam pergelaran ini juga cenderung seram.

Salah satu lukisan menonjol, berjudul "Potret Diri Bagai Vampir", buatan tahun 2014. Bidang kanvas berukuran 167 cm x 230 cm itu dipenuhi gambar wajah sangar sang pelukis. Dua tanduk mencuat di atas kepalanya. Dua taring besar bertengger di mulut. Dua kupingnya lebar, mirip kuping kelelawar.

Dua matanya melotot, berwarna merah-kecoklatan. Di balik kacamata, ada cairan putih yang meleleh. Jubah hitam—busana khas vampir dalam film-film Barat—membalut pundak sosok itu. Pada bagian bawah lukisan, tertera pertanyaan, "Kau dapatkan pesanku?"

Namun, di balik kerapiannya, dia menyimpan pengalaman sakit fisik dan berbagai persoalan kejiwaan. Secara fisik, pelukis itu pernah terancam buta dan menderita gangguan pendengaran.

Menjawab pertanyaan itu, pengunjung boleh saja membayangkan berbagai macam tafsir. Tapi, catatan kurator dari ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, cukup mengisyaratkan petunjuk. Dia tulis dalam katalog digital pameran, karya tersebut menggambarkan jejak-jejak pengalaman yang beraneka ragam dan bertumpuk-tumpuk dalam 55 tahun perjalanan hidup Pupuk. Tak selalu indah tentu saja, sebagian pengalaman itu cenderung gelap, murung, bahkan menyakitkan.

Pupuk berpenampilan rapi dengan tutur kata apik. Namun, di balik kerapiannya, dia menyimpan pengalaman sakit fisik dan berbagai persoalan kejiwaan. Secara fisik, pelukis itu pernah terancam buta dan menderita gangguan pendengaran. Suatu masa kupingnya terus berdenging. Secara psikis, dia pernah dirundung rasa terasing, kesepian, dan akhirnya bersikap soliter (menyendiri).

"Karya Pupuk merupakan potret jiwa dan pikiran yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain, untuk sekadar membagi pengalaman kegelapan, kecemasan, kerapuhan, sekaligus membantu dirinya merasa plong, tumbuh harapan, dan lega jiwanya," catat Suwarno.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Lukisan karya Pupuk DP, "Potret Diri Bagai Vampir" (tahun 2014) dalam pameran "Kerak Residu" di Bentara Budaya Jakarta, 28 November-7 Desember 2019.

Melihat lukisan-lukisan Pupuk, kita sulit menemukan estetika sebagai keindahan konvensional selazimnya dipahami awam. Serangkaian lukisan potret dirinya sama sekali tidak mirip wajahnya. Gambar dan adegan dalam lukisan, drawing, dan instalasinya cenderung merayakan wajah-wajah atau tubuh-tubuh yang buruk rupa, bahkan menakutkan.

Nyaris tidak ada elemen visual yang menyenangkan, dalam arti warna-warna yang segar atau bentuk-bentuk yang elok dan enak dipandang. Dengan semua karya dikemas dalam visual serupa, maka suasana pameran ini murung, bahkan mirip teror. Pengunjung diprovokasi, dipantik untuk gelisah, seperti membangkitkan memori kelam tentang vampir yang menyerupai sosok setan tadi.

Namun, jika dipikir-pikir, kegelisahan yang ditularkan lukisan Pupuk bisa juga menyambung dengan kegelisahan kita. Mungkin pemicunya bisa berbeda, bentuknya berlainan, tapi setiap manusia menyimpan kecemasan masing-masing. Sisi gelap diri kita itulah yang hendak dibangkitkan oleh Pupuk lewat lukisan-lukisannya.

Usaha itu bisa berhasil karena Pupuk mengelolanya secara jujur. Tak tergoda untuk mengindah-indahkan lukisannya (dengan bekal pendidikan seni rupa, dia tentu mampu melakukannya), dia justru mengumbar jeroan kegelisahan dalam dirinya. Sesuatu yang suram dibiarkan suram, tak perlu dipoles menjadi apik dan menyenangkan. Sikap apa adanya inilah yang dapat ditangkap sebagai "keindahan" tersendiri.

"Bagian terindah dari sebuah ekspresi adalah karena ia akan mengatakan kepadamu sebuah kejujuran, bahkan dari kegelapan hatimu sekalipun." Demikian ungkap Pupuk dalam katalog pameran.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Pameran Pupuk DP, "Kerak Residu", di Bentara Budaya Jakarta, 28 November-7 Desember 2019.

Antara pelacur dan vampir

Apa menariknya membicarakan lukisan pelacur Picasso, kemudian mengaitkannya dengan lukisan vampir Pupuk DP?

Kedua pelukis itu sama-sama berhasil mengangkat kompleksitas manusia dengan cara berbeda. Picasso menawarkan diskusi dengan mengambil contoh pelacur. Pupuk DP mengumpankan kegelisahan dirinya sebagai eksperimen visual. Pada akhirnya, semuanya mengulik jati diri manusia.

Setiap orang memiliki kerumitan di dalam diri masing-masing. Kerumitan yang tak bisa disederhanakan dengan cara pandang hitam putih.

Setiap orang memiliki kerumitan di dalam diri masing-masing. Kerumitan yang tak bisa disederhanakan dengan cara pandang hitam putih. Misal saja, tak bisa manusia dibilang sepenuhnya bahagia, pun tak seluruhnya sedih. Dalam kegembiraan, kadang tersembunyi kemurungan. Dalam rasa murung, kerap terselip rasa senang.

Pemahaman akan kompleksitas manusia juga bisa diperluas. Manusia bukanlah malaikat yang putih bersih, pun bukan setan yang gelap gulita. Manusia adalah manusia, makhluk yang memiliki banyak sisi, yang kadang saling bertentangan. Tergantung lapisan mana yang ingin kita bedah.

Sisi manusiawi macam itu juga terpampang terang dalam serialGenius: Picasso yang pernah tayang di National Geographic Channel dan kemudian saya tonton dalam penerbangan pulang dari New York ke Jakarta. Dibintangi aktor asal Spanyol, Antonio Banderas, serial itu menceritakan secara rinci bagaimana kehidupan pribadi pelukis tersebut, romantika cintanya, dan proses kreatif karya-karyanya. Meski tinggal di Paris, tak selalu mudah baginya berkarya.

Perang masa itu memaksanya berhadapan dengan kekuatan Nazi Jerman yang nyaris membuatnya celaka. Saat bersamaan, dia dan para seniman lain juga ditekan fasisme Benito Mussolini di Italia. Dalam situasi demikian, Picasso menyadari sepenuhnya bahwa lukisan, sebesar apa pun itu, tak akan bisa menghentikan nafsu manusia berperang. Tapi, seni sebenarnya juga bisa berfungsi lebih jauh. Lukisan tak semata sebagai dekorasi untuk menghias rumah, tetapi juga sarana untuk mengalahkan musuh (yaitu belenggu) dan memperjuangkan kebebasan.

Dengan prinsip itu pula, Picasso menyajikan ekspresi para perempuan pelacur dalam lukisan "Les Demoiselles d'Avignon". Karya itu tentu tak bisa serta-merta membebaskan mereka dari jerat prostitusi. Tapi, setidaknya, karya seni itu turut memberi gambaran lebih otentik tentang kehidupan muram para perempuan di dunia remang-remang.

"I paint objects as I think them, not as I see them," katanya suatu ketika. Begitulah, Picasso melukis suatu obyek berdasarkan apa yang dipikirkan, bukan apa yang dilihatnya.

Kompas, 7 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger