Akademisi dan sekaligus pengamat politik asal Libya, Jibril al-Obeidi, menulis artikel di harian Asharq Al-Awsat edisi 27 November 2019 dengan judul "Arab dan UNESCO, upaya menyempitkan gap ilmu pengetahuan".
Al-Obeidi menulis artikel tersebut untuk mengapresiasi keberhasilan tiga negara Arab, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Tunisia, menjadi anggota Dewan Eksekutif UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, yang didirikan pada 1945).
Arab Saudi, UEA, dan Tunisia saat ini memang dikenal sebagai tiga negara Arab yang cukup maju sektor pendidikannya. Dua perguruan tinggi di Arab Saudi, yaitu Universitas Raja Abdulaziz di Jeddah dan Universitas Raja Saud di Riyadh, berhasil masuk peringkat 500 universitas terbaik di dunia versi UNESCO.
Adapun kemajuan pendidikan di UEA berhasil melahirkan Dubai dan Abu Dhabi menjadi kota kelas dunia. Sementara kemajuan pendidikan di Tunisia berandil besar atas suksesnya proses demokrasi pasca-gelombang Musim Semi Arab tahun 2010-2011 di negara itu.
Al-Obeidi menyerukan, keberhasilan Arab Saudi, UEA, dan Tunisia menjadi anggota Dewan Eksekutif UNESCO hendaknya dijadikan momentum oleh bangsa Arab untuk membangun kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Arab, serta sekaligus segera meninggalkan kebodohan dan keterbelakangan.
Empat hari setelah artikel Al-Obeidi itu, akademisi yang sekaligus pengamat politik asal Mesir, Alaa El Din Helal, menulis artikel di harian terkemuka Mesir, Al Ahram edisi 1 Desember 2019, dengan judul "Kebangkitan dan Keharusan Pembaruan Pemikiran Arab".
Al-Obeidi ataupun El Din Helal sesungguhnya hanya mewakili opini publik dan para cendekiawan Arab yang sangat prihatin terhadap kondisi dan situasi di dunia Arab saat ini yang hanya akan membawa bangsa Arab semakin tertinggal dibandingkan dengan bangsa lain.
Menurut El Din Helal, para ulama dan cendekiawan Arab sudah sejak awal abad ke-20 telah mendengungkan tentang pentingnya pembaruan pemikiran bangsa Arab agar mampu menyongsong perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan.
Namun, kenyataannya bangsa Arab kini semakin mengalami kemunduran meski sudah beberapa dekade dari bergulirnya seruan pentingnya pembaruan pemikiran Arab itu.
Sejak awal abad ke-20, sudah muncul dua pertanyaan besar di dunia Arab, yaitu "Mengapa bangsa Arab mundur, tetapi bangsa lain bisa maju?" dan "Bagaimana cara bangsa Arab bisa keluar dari keterbelakangan dan mampu mewujudkan kebangkitan?"
Sudah banyak buku dari para cendekiawan di dunia Arab sejak abad ke-20 yang mengulas tentang isu keharusan pembaruan pemikiran Arab agar bisa keluar dari jebakan keterbelakangan.
Para cendekiawan dari Mesir bisa antara lain adalah Rifa'a al-Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Taha Hussein (1889-1973), dan Zaki Naguib Mahmoud (1905-1993).
Cendekiawan dari Suriah, tercatat ada Tayyeb Tizini (1934-2019), Sadiq Jalal al-Azm (1934-2016), dan Burhan Ghalioun (1945-sekarang). Dari Maroko ada Mohammed Abed al-Jabiri (1935-2010) dan Ali Oumlil (1940-sekarang). Dari Tunisia ada Hichem Djait (1935-sekarang). Dari Lebanon terdapat George Traboulsi (1937-1989).
Banyak juga yang disebut dalam polemik di lingkungan para cendekiawan Arab itu tentang faktor kemunduran bangsa Arab. Di antaranya, semakin jauhnya bangsa Arab dari ajaran agamanya yang pernah membawa kemajuan selama tujuh abad (abad ke-7 hingga ke-14). Ada pula yang berpendapat, menyebarnya buta huruf dan kebodohan di dunia Arab akibat bangsa Arab tidak membangun kultur metode pemikiran ilmiah dan sebaliknya lebih mengutamakan metode tekstual atas rasionalitas.
Ada juga yang berpandangan, kemunduran bangsa Arab akibat tidak dibangunnya kultur demokrasi serta absennya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan terkait urusan keseharian mereka dan kenegaraan.
Ada juga pendapat, mundurnya bangsa Arab akibat merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dengan menanggalkan pendekatan berdasarkan kemampuan dan profesionalisme. Ada pula yang berpandangan, kemunduran bangsa Arab akibat gagal terciptanya keadilan sosial dan persamaan di lingkungan negara dan masyarakat Arab.
Semua faktor yang disebut dalam polemik tentang isu keharusan pembaruan pemikiran Arab, realitanya kini menjadi satu paket faktor yang meledakkan Musim Semi Arab gelombang pertama di Tunisia, Libya, Mesir, Suriah, dan Yaman (2010-2011) serta Musim Semi Arab gelombang kedua di Aljazair, Sudan, Irak, dan Lebanon (2019).
Apa yang harus dilakukan bangsa Arab ke depan?
Pengamat politik yang juga Mantan Menteri Luar Negeri Jordania, Marwan Muasher, menyerukan, bangsa Arab segera membangun manajemen yang modern dan komprehensif tentang pelaksanaan kekuasaan dan pemberdayaan sumber daya alam.
Manajemen modern itu adalah semakin memperluas partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan, menegakkan hukum untuk semua, dan menganut konsep ekonomi yang bersandar pada nilai profesionalitas dan produktivitas.
Menurut Muasher, elite penguasa Arab kini harus mengakui bahwa mekanisme yang diadopsi dalam menjalankan pemerintahan dan memberdayakan sumber daya alam selama ini telah gagal total mengantarkan negara-negara Arab menjadi negara modern.
Akhir-akhir ini juga muncul opini bahwa tantangan dunia Arab saat ini tidak hanya isu politik, ekonomi dan sosial-budaya, tetapi juga turunnya harga minyak hingga jauh di bawah 100 dollar AS per barel. Turunnya harga minyak itu berandil mengguncang dunia Arab saat ini, seperti aksi unjuk rasa di Irak, Lebanon, Aljazair, dan Sudan.
Irak dan Aljazair adalah negara Arab pengekspor minyak dan anggota OPEC. Adapun devisa Lebanon dan Sudan sangat mengandalkan pendapatan warganya yang bekerja di negara-negara Arab Teluk. Kini, banyak warga Lebanon dan Sudan pulang ke negaranya setelah pemerintah dan perusahaan-perusahaan di negara Arab Teluk menanggalkan mereka, disebabkan merosotnya kondisis ekonomi akibat merosotnya harga minyak itu.
Karena itu, negara-negara Arab harus segera melakukan reformasi ekonomi dengan tidak mengandalkan lagi atas sumber devisa dari minyak dan sekaligus membangun sumber ekonomi dari nonmigas
Kebijakan Arab Saudi dengan meluncurkan visi 2030 yang berpijak pada visi membangun sumber devisa dari nonmigas dinilai langkah yang tepat. Jika Arab Saudi terlambat melaksanakan visi 2030, itu bisa mengancam kekuasaan keluarga besar Ibn Saud dan negara itu bisa dilanda aksi unjuk rasa besar seperti yang terjadi di Irak, Iran, dan Lebanon saat ini.
Kota Dubai yang gemerlapan menjadi contoh lain di dunia Arab tentang keberhasilan membangun sumber devisa dari nonmigas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar