Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Februari 2020

KEWARGANEGARAAN: WNI Eks NIIS dan Derita Susy (M SUBHAN SD)


HANDINING

M Subhan SD,Direktur PolEtik Strategic, Wartawan Kompas 1996-2019

Film Susi Susanti, Love All (2019) baru beberapa bulan lalu diputar di bioskop-bioskop. Susy Susanti adalah legenda bulu tangkis. Ia berulang kali mengharumkan nama Indonesia di arena dunia.

Mulai dari SEA Games, Asian Games, Piala Sudirman, All England, Uber Cup, sejumlah kejuaraan terbuka, World Championship, hingga Olimpiade, ketika semua atlet-atlet terbaik berlaga berebut menjadi nomor satu. Dan, bersama sang suami, Alan Budi Kusuma, Susy menyandingkan medali emas pada Olimpiade Barcelona 1992.

Itulah pertama kali Indonesia merebut medali emas sejak ikut serta di ajang Olimpiade pada 1952. Itulah untuk pertama kali bendera Merah Putih berkibar di podium tertinggi di gelanggang Olimpiade. Itu juga pertama kali lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan di posisi pertama di ajang bergengsi tersebut. Sebuah perjuangan yang membuat Indonesia semerbak di seantero bumi.

Susy Susanti adalah salah satu putra terbaik Indonesia. Ia lahir di Tasikmalaya pada 1971, dari keluarga yang pada zaman Orde Baru (1966-1998) dikenal sebagai "warga keturunan". Istilah itu mengacu pada mereka beretnis China atau Tionghoa.

Pada zaman Orde Baru, politik keturunan ini sangat diskriminatif dan membentuk segregasi sosial. Privileseekonomi (bisnis) yang boleh dimasuki oleh warga keturunan yang kemudian banyak menciptakan orang-orang kaya, tetapi justru pada gilirannya juga menciptakan kecemburuan sosial. Banyak analis menilai, politik keturunan adalah salah satu kartu truf Orde Baru untuk mengendalikan kekuasaan.

SCREEN CAPTURE YOUTUBE/OFFICIAL TRAILER: DAMN! I LOVE INDONESIAN MOVIES, OREIMA FILMS, EAST WEST SYNERGY

Cuplikan adegan film Susi Susanti, Love All (2019).

Nah, film biopik Susi Susanti, Love All itu tidak hanya menggambarkan keberhasilan atlet pengharum nama bangsa, tetapi juga tentang derita pejuang pengharum nama bangsa itu.

Walaupun sudah membuktikan mengharumkan nama negara berulang kali, tetapi menjadi warga negara Indonesia (WNI), sesuatu yang sangat mendasar, tidak serta-merta gampang. Padahal, Susy Susanti lahir di Tasikmalaya, salah satu kota di Priangan Timur yang merupakan tanah air Indonesia.

Namun, karena warga keturunan, dia tidak lantas diakui sebagai WNI sejak kelahirannya. Warga keturunan harus mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Surat ini adalah lembaran yang menakutkan.

Sebab, untuk mendapatkannya bukan perkara gampang. Bahkan, emas Olimpiade 1992 yang membuat Indonesia menembus rekor peraih emas tak ada artinya sama sekali bagi Susy untuk mendapatkan status kewarganegaraan.

Bukti apa lagi yang harus dipersembahkan Susy untuk sebuah status kewarganegaraan? Medali emas Olimpiade adalah puncak pembuktian. Inilah cerita ironis dan paradoks bagi pahlawan olahraga. SBKRI menjadi kisah pahit nan getir bagi warga keturunan.

SCREEN CAPTURE YOUTUBE/OFFICIAL TRAILER: DAMN! I LOVE INDONESIAN MOVIES, OREIMA FILMS, EAST WEST SYNERGY

Potongan adegan dalam film Susi Susanti, Love All.

Asas kewarganegaraan

Pada umumnya penggolongan manusia berdasarkan darah, seperti patrilineal (garis bapak), matrilineal (garis ibu), dan parental (garis ibu-bapak). Ada juga penggolongan berdasarkan teritorial (daerah).

Kelompok pertama kerap disebut etnik, sedangkan kelompok kedua dalam konteks kampung yang ukuran besarnya adalah negara. Di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, asas kewarganegaraan mencakup asas ius sangunis atau law of the blood (kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan).

Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal, bukan kewarganegaraan ganda (bipatride), atau kewarganegaraan banyak (multipatride), atau tanpa kewarganegaraan (apatride).‎

UU tersebut sebetulnya juga menyebutkan asas ius soli atau law of the soil, yaitu kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, tetapi diberlakukan terbatas.

Dengan demikian, ada asas kewarganegaran ganda, tetapi diberlakukan terbatas untuk anak-anak. Pada usia 18 tahun anak-anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya. Kasus anggota Paskibraka, Gloria Natapradja Hamel, yang berdarah Perancis (garis bapak), sempat viral tahun 2016.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Anggota Paskibraka dari Jawa Barat, Gloria Natapraja Hamel, siap bertugas untuk Upacara Penurunan Bendera dalam rangka HUT Ke-71 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2016). Gloria akhirnya bisa bertugas setelah gugur karena masalah kewarganegaraan.

Karena memiliki paspor Perancis, ia memupus mimpinya menjadi tim pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka pada 17 Agustus 2016 walaupun ia tetap dimasukkan dalam tim Paskibraka.

Menjadi warga negara adalah sebuah kesadaran yang hakiki untuk menentukan kehidupan. Warga negara adalah subyek yang berperan untuk menghidupi, memupuk, membesarkan, mendarmabaktikan, dan mengharumkan Indonesia ini. Itu yang harus mengalir dalam darah, pikiran, dan jiwa.

"Kebangunan bangsa kita dalam abad ke-20 ini artinya kesadaran akan nasibnya, keinsyafan kepada haknya sebagai bangsa dan disinari oleh keyakinan bahwa cita-cita akan sampai. Kebangunan ini baru akan kuat atau lahir dengan kerasnya kalau kebangsaan Indonesia masuk ke dalam dada kita," kata pendiri bangsa, Moh Yamin, dalam rapat besar pertama Indonesia Moeda yang digelar di Solo pada 29 Desember 1930-2 Januari 1931.

Cerita "status kewarganegaraan" ini menggelitik hati ketika tersiar wacana ada sekitar 600 WNI eks Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) diusulkan dipulangkan ke Indonesia. Mereka disinyalir pergi ke kancah perang di Timur Tengah itu dan melepaskan status kewarganegaraan Indonesia-nya, antara lain dengan membakar paspor.

Mereka juga menganggap Indonesia sebagai negara kafir, dan pemerintahnya adalah thagut. Tak mengherankan, kabar kepulangan mereka pun memantik pro-kontra. Polemik pun berkepanjangan: apakah mereka "WNI eks NIIS" atau "NIIS eks WNI". Ini hanya narasi yang bikin gaduh, subyektif, dan tidak menemukan jalan keluar.

Oleh karena itu, kasus tersebut harus mendapat perhatian esktra. Wacana pemulangan mereka haruslah disikapi sangat hati-hati, dikaji secara komprehensif, tentu mengacu pada kepentingan nasional, seperti dinyatakan dalam UU No 12/2006.

Agar tidak salah langkah, Pasal 23 UU tersebut setidaknya menegaskan, WNI kehilangan kewarganegaraannya antara lain apabila: "secara sukarela masuk dalam dinas tentara negara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut".

Mengacu pada Pasal 23 UU di atas, "kehilangan kewarganegaraan" mereka seharusnya tidak lagi menjadi bahan debat kusir berkepanjangan. Semuanya sudah jelas, kok. UU itu adalah peraturan yang mengikat semua WNI. Jangan permainkan status kewarganegaraan. Ia adalah sesuatu yang "sakral" karena menyangkut relasi warga dan negara.

Maka, luar biasa runyam ketika kasus tersebut dianggap biasa saja. Bahkan, ada yang menyamakan wacana pemulangan mereka semirip pemulangan WNI dari Wuhan akibat merebaknya virus korona. Ini sudah jalan berpikir yang keliru.

Sejumlah pejabat negara yang berpikiran seperti itu menjadi tanda tanya besar apakah mereka tidak memahami konteks kasus tersebut atau menggampangkan saja. Pejabat negara seharusnya tidak asbun (asal bunyi), tetapi berpedomanlah pada aturan yang berlaku.

Komentar-komentar keliru justru membingungkan publik yang bisa disalahtafsirkan. Kasus ini menjadi polemik berkepanjangan ketika tidak mengacu pada konstitusi. Persepsi subyektif menjadi tidak valid untuk menjelaskan kasus yang sebetulnya sudah jelas hitam putihnya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Unjuk rasa yang menyerukan penolakan wacana pemulangan sekitar 600 warga Indonesia yang bergabung sebagai milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Taman Pandang Istana kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Senin (10/2/2020). Pemerintah diharapkan dapat mengambil kebijakan terbaik untuk melindungi warga negara yang ada di Indonesia terkait dengan isu tersebut.

Menjadi Indonesia

Menjadi (warga negara) Indonesia bukan seperti orang keluar rumah. Bisa bolak-balik kapan saja. Negara memiliki aturan, dan warga negara harus tunduk pada semua aturan itu. Bayangkan saja, seorang Susy Susanti yang sudah memberikan prestasi terbaiknya untuk membuat Indonesia di mata dunia harus bersusah payah untuk mendapatkan status WNI.

Lah, ini mereka yang sadar membenci Indonesia (dianggap sebagai negara kafir) bergabung dengan negara lain dan menyebarkan teror mudah saja mau kembali. Karena itu, apabila mereka ingin kembali menjadi WNI, haruslah mengikuti prosedur sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Salah satunya adalah sumpah dan janji setia kepada NKRI. Siapkah mereka mengingat mereka sangat ideologis?

Menjadi warga negara itu bukan semau-maunya sendiri. Kata-kata inspiratif John F Kennedy saat inaugurasi sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-35 pada 1961 menjadi kredo, "Jangan tanya apa yang negara bisa lakukan untuk Anda, tetapi tanyakan apa yang bisa Anda lakukan untuk negara."

Kembali teringat Susy Susanti yang menunjukkan jiwa sebagai warga negara Indonesia, bukan sekadar status saja. Ketika diwawancara apakah akan pindah warga negara atau meminta suaka di tengah kerusuhan 1998 yang korbannya banyak warga Tionghoa, Susy memperlihatkan jati diri orang Indonesia sejati, "Saya orang Indonesia. Sampai kapan pun saya selalu orang Indonesia."

AFP PHOTO/AYHAM AL-MOHAMMAD

Leefa (tengah) bersama beberapa orang dari Indonesia lainnya saat tiba di Kamp Ain Issa, 50 km di utara Raqqa, Suriah, seusai lari dari benteng pertahanan NIIS, 13 Juni 2017. Sebelumnya, mereka meninggalkan Indonesia untuk bergabung dengan NIIS karena iming-iming pindah ke negeri "surga" yang menawarkan gaji tinggi dan fasilitas kesehatan gratis.

Tidak adil rasanya ketika Susy Susanti dan kawan-kawan merasakan betapa sulitnya mendapatkan SBKRI sembari terus mempersembahkan dan membuktikan diri sebagai warga negara terbaik, justru sebaliknya ada sekelompok WNI yang dengan sadar meninggalkan Indonesia, bahkan mengganggap sebagai negeri kafir, kok, dengan mudahnya ingin kembali seperti tidak ada sesuatu yang pernah terjadi.

Menjadi warga negara Indonesia itu adalah kisah pengabdian kepada negeri tanpa pamrih, bukan melarikan diri, apalagi sampai membakar paspor WNI. Dan, pemerintah bersama para pengambil keputusan di negeri ini jangan salah langkah yang justru menyemai benih-benih persoalan di kemudian hari.

Bukankah bertahun-tahun kita bersama-sama merasakan betapa beratnya memerangi radikalisme dan terorisme, sampai berulang kali membuat bangsa ini nyaris terkulai.

Kompas, 11 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger