Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Februari 2020

Toilet (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018.

Ia biasa dipanggil "Pak Haji" oleh kami, teman-temannya sekantor. Sebab, ia memang seorang haji. Kami berkenalan sejak sekitar tahu 1983-an, sejak sama-sama mengawali pekerjaan.

Sama-sama dari daerah dan bekerja di ibu kota negara, yang bisa membuat orang tidak peduli orang lain. Kami sama-sama gagap hidup di kota besar. Maklum, orang daerah.

Dulu di kantor, kami sering mojok,ngobrol berdua, ngobrol tentang banyak hal, yang mungkin bagi teman-teman yang sudah lama di Jakarta, obrolan kami tidak bermutu. Tetapi, bagi kami sangat bermanfaat. Obrolan yang menguatkan perjalanan hidup kami di Jakarta. Dan, pertemuan di pojok kantor itulah yang membuat hubungan kami begitu dekat. Kami bersahabat dekat.

Pak Haji, orang yang sangat sederhana, baik dari perilaku, tutur kata, maupun penampilannya. Tetapi, dari kesederhanaannya itu memancar keluhuran budinya. Tidak ada kata-kata yang bernada dengki dan iri, cemburu, sakit hati, dendam, dan juga bernada ataupun bermakna meremehkan orang lain, keluar dari mulutnya atau dari bahasa tubuhnya.

Ia memiliki semangatcompassion, bela rasa yang sangat tinggi. Semangat solider kepada teman, kepada orang yang tersisihkan, orang kecil. Itu bagian dari ibadah yang dijalankan Pak Haji.

KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Antrean panjang di area istirahat jalan tol di kawasan Batang, jawa Tengah, Sabtu (7/6/2019). Jumlah toilet yang terbatas dikeluhkan pengguna jalan.

Dalam bahasa Rabi'ah al-Adawiyah (713/717-801), seorang perempuan sufi kelahiran Basrah, Irak, orang beribadah tidak mengharapkan pahala surga ataupun karena takut siksa neraka. Karena itu, Rabi'ah al-Adawiyah mengkritik serta mengoreksi orang-orang yang beribadah atas dasarraja' (mengharap pahala) dan khauf(takut siksa neraka).

Yang juga menarik, Pak Haji selalu punya pikiran-pikiran atau pendapat-pendapat yang tak terduga; kata orang,out of the box dan genuine, yang tidak dipikirkan orang lain. Suatu hari, pada tahun 2000, Pak Haji mengatakan, "Mas, saya membuat bisnis toilet." Hah??

"Sebenarnya bukan bisnis murni," katanya lagi. "Setiap hari, dalam perjalanan pergi dan pulang kantor, melewati jalan macet, dekat pintu tol. Saya tahu, di tengah jalan yang macet itu banyak orang kebelet kencing atau bahkan untuk kebutuhan lain. Toilet tidak ada. Nah, itulah yang mendorong saya membuat toilet umum, kerja sama dengan penduduk kampung. Laku, Mas. Tetapi, setelah setahun lebih sedikit, 'bisnis' itu saya tinggalkan, dan saya serahkan kepada pemilik tanah."

Itulah Pak Haji. Mula-mula, hatinya tergerak oleh kepedulian untuk membantu orang lain; dan akhirnya setelah berjalan lancar, kepedulian kepada orang lainlah yang mendorongnya untuk meninggalkan "bisnis" itu, lalu menyerahkan begitu saja kepada orang lain. Membantu orang lain adalah motivasi utama Pak Haji. Bukan untuk mencari untung. Itulah compassion.

Cerita "bisnis" toilet Pak Haji mengingatkan akan kisah tentang Kaisar Roma Vespasianus Agustus atau Kaisar Vespasian, berkuasa tahun 69-79, yang juga berurusan dengan toilet. Suatu hari, Titus, komandan tertinggi dalam Perang Yahudi, yang juga anak Vespasian memprotes kebijakannya memajaki urine, air kencing.

KOMPAS/INDIRA PERMANASARI

Foto repro dari katalog "Fundamentals; 14th International architecture exhibition" tentang toilet kuno dari zaman Romawi yang berbentuk mirip kursi kereta. Toilet ini ditampilkan dalam ruang pamer International Architecture Exhibition la Biennale ke-14 di Venezia, Italia, 2014.

Diprotes Titus, Kaisar Vespasian mengambil sekeping mata uang terbuat dari emas dan bertanya kepada Titus, "Sciscitans num odore offenderetur (apakah Titus merasa terganggu memegang mata uang emas itu karena baunya)." Ketika Titus menjawab, "Tidak", Vespasian mengatakan, "Atqui ex lotio est (tetapi ini berasal dari urine)."

Saat itulah, menurut Suetonius, seorang sejarahwan Romawi, muncul frasa pecunia non olet (uang tidak bau). Tidak peduli uang itu asalnya dari mana, apakah dipungut dari pajak urine—yang diberlakukan oleh Vespasian—atau pajak sampah, atau pajak tempat prostitusi, atau pajak-pajak lainnya, tetaplah uang. Uang tetaplah uang, tak peduli dari mana asal-muasalnya karena nilainya, walau beda asal, tetap lah sama.

Baca juga: "O Sole Mio"

Lalu, Vespasian membangun toilet-toilet umum di Roma, khusus untuk perempuan, laki-laki, dan budak. Orang tidak perlu membayar untuk kencing di toilet itu. Air kencing dari semua toilet itu dikumpulkan dan dijual. Inilah yang kena pajak.

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Konten premium, independen.

Anda sedang mengakses konten premium Kompas.id secara gratis.

Menurut cerita, para buruh cuci pakaian zaman Romawi kuno menggunakan air seni untuk mencuci. Mereka tidak punya sabun. Air seni digunakan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada pakaian, minyak, atau kotoran-kotoran lainnya.

Sebab, air seni mengandung urea, dan setelah ditampung serta didiamkan selama 24 jam lebih, urea akan berubah menjadi amonia yang bisa digunakan untuk membersihkan kotoran. Air seni juga digunakan para penyamak kulit binatang untuk membersihkan bulu-bulu binatang.

AP/COMUNE DI CITTAREALE CITYHALL

Dalam foto yang diterbitkan Cittareale Cityhall, diambil 5 Agustus 2009, tampak para arkeolog sedang meneliti pelataran yang diyakini sebagai tempat kelahiran Vespasian, Kaisar Romawi yang membangun Colosseum.

Sejak saat itu, toilet-toilet di seluruh Roma disebut sebagai "Vespasian." Secara simbolis, frasa pecunia non olet, untuk zaman sekarang terutama, bisa diartikan bahwa perbuatan yang berkaitan dengan uang tidak mudah untuk dilacak, tidak mudah untuk diendus, tidak mudah untuk dicium, dan tidak mudah diketahui, karena tidak berbau. Itulah sebabnya, banyak korupsi tidak terungkap, kecuali setelah diaudit atau tertangkap tangan, seperti yang banyak terjadi di negeri ini.

Korupsi menggerogoti banyak negara. Menurut Corruption Perception Index 2019, sepuluh negara terkorup di dunia adalah Somalia, Sudan Selatan, Suriah, Yaman, Afganistan, Sudan, Guinea Equatorial, Venezuela, dan Korea Utara, Indonesia dalam daftar 180 negara terkorup berada di urutan ke-85 dengan skor 40 dari skala 0-100. Sekelompok dengan Guyana, Kuwait, Trinidad dan Tobago, Lesotho, Burkina Faso, dan Benin.

Somalia merupakan negara terkorup di dunia selama lebih dari 10 tahun terakhir dengan skor 9 dari skala dari 0-100. Posisi negara terbersih adalah Selandia Baru dan Denmark dengan skor 87, disusul Finlandia (86), Swiss (85), Singapura (85), Swedia (85), Norwegia (84), Belanda (82), Luksemburg (80), dan Jerman (80).

Mengapa orang korupsi? Apa mungkin karena pecunia non olet, uang tidak berbau, sehingga menganggap bahwa tindakan korupnya tidak akan diketahui orang lain?

Kalau pertanyaan itu diajukan kepada Lord Acton (1834-1902), akan dijawab, kekuasaan cenderung korup. Acton menulis, … Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely…, orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kalimat selanjutnya yang ditulis Lord Acton berbunyi "Orang besar hampir selalu orang yang buruk…."

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin berfoto bersama para calon menteri yang akan dilantik, di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Presiden berpesan agar mereka tidak korupsi serta menciptakan sistem yang menutup celah korupsi.

Mengapa demikian? Seperti pepatah lama, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain, menjadi manusia super, bahkan semidewa; minta dipuja-puja, bahkan minta dikultuskan. Lupa daratan.

Dalam bahasa pujangga besar RNg Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati, situasi semacam itu dikatakan:Para jalma sajroning jaman pakewuh/ sudranira andadi/ rahurune saya ndarung/ keh tyas mirong murang margi/ kasekten wus nora katon// Artinya, pada zaman kirsuh atau edan/ kerendahan nafsu manusia makin menjadi-jadi/keserakahan makin merajalela/banyak hati angkara murka memerkosa kebenaran (Simuh: 2019).

Seperti pepatah lama,honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya.

Apalagi, kalau orang terjun ke dunia politik masih dengan mentalitasanimal laborans (Hannah Arendt: 1958), yakni menjadikan orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi dominan. Maka, politikus akan cenderung menjadikan politik sebagai tempat untuk mencari mata pencarian utama untuk hidup. Maka, laku yang menyertainya adalah korupsi. Karena,pecunia non olet….

Meskipun, dalam kenyataannya, uang itu berbau, terutama uang kertas, karena kucel, berpindah tangan dari orang ke orang, dari bank satu ke bank lain, dari dompet satu ke dompet lainnya, dari kantong satu ke kantong lain, dan juga dari kotak di toilet. Maka itu, pecunia olet….

Dan yang "bau" itu telah memberikan rezeki kepada banyak orang. "Mungkin sekarang sudah besar, Mas. Dan, yang mengelola mungkin juga sudah kaya pula," kata Pak Haji mengakhiri obrolan kami soal toilet.

Kompas, 11 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger