Harian umum Kompas, 28 Juni 2020, berusia 55 tahun. Bukanlah media tertua, tetapi perziarahan jurnalistik harian ini selama lebih dari setengah abad patut disyukuri. Di dunia masih ada The Guardian, Inggris, yang terbit sejak 5 Mei 1821, dan The New York Times, Amerika Serikat, yang terbit sejak 18 September 1851.
Hingga 28 Juni 2020, sudah 18.594 edisi nasional diterbitkan, di luar edisi daerah dan digital. Kebetulan, momentum ulang tahun berbarengan dengan situasi bangsa yang sulit. Revolusi sunyi Covid-19 meluluhlantakkan kehidupan. Semua sektor kehidupan terdampak, termasuk harian ini. Namun, dalam perjalanannya, harian ini tetap setia dan menjadi bagian suka dan dukanya negeri.
Tepatlah tema ulang tahun ke-55, "Kawan dalam Perubahan". Harian ini berkomitmen terus menyertai perjalanan bangsa dengan segala dinamika sosial politik dan ekonomi. Terbit di akhir kekuasaan Presiden Soekarno, 28 Juni 1965, harian ini terus menemani perjalanan bangsa. Nama Kompas diberikan Presiden Soekarno. Harian ini sudah melayani pembaca 55 tahun dan melewati tujuh presiden. Diawali dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.
Dua kali harian ini tidak boleh terbit oleh penguasa. Gaya jurnalisme harian ini tidak akan lepas dari pandangan Jakob Oetama, pendiri dan sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas. Kendati pemimpin media telah berganti delapan kali, cara pandangnya tidak berubah. Manusia dan kemanusiaan adalah pusat dari jurnalisme. Manusia punya dua sisi, kebaikan dan kelemahan. We are no angels.
Falsafah ini menjadikan kritik disampaikan dengan penuh pengertian, kritik with understanding. Perdebatan akal sehat dan sikap independen editor di ruang redaksi mengawal agar harian ini punya kepribadian, seperti dikatakan Jakob mengutip kata bersayap dari Perancis,un journal c'est un monsieur. Mengutip PK Ojong dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia (2001), karyawan adalah aset utama koran ini.
Perubahan teknologi digital menciptakan ekosistem digital yang tidak mendukung perkembangan pers nasional. Revolusi digital mengubah perilaku masyarakat dalam berkomunikasi atau mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial mengubah informasi jadi lebih personal. Tren industri media bergerak ke arah personalisasi. Produsen berita bukan lagi milik organisasi berita. Individu pun bisa memproduksi konten.
Masyarakat memasuki era post-truth society. Kebenaran bukan ditentukan oleh kekuatan argumentasi, melainkan pada keyakinan. Gejala baru muncul, seperti yang dikatakan Elisabeth Noelle Neumann dalam The Spiral of Silence, sebagai spiral kebungkaman (Jagat Digital, Agus Sudibyo, 2019). Dominasi opini mayoritas, apalagi di era post-truth, dianggap sebagai "kebenaran". Mereka yang berpendapat berbeda bisa dihakimi.
Mereka yang berpendapat berbeda bisa dihakimi.
Dalam situasi itu, publik memilih menahan diri daripada bertentangan dengan opini dominan di media sosial yang kadang diorkestrasi. Ruang publik dihantui ketakutan akan isolasi. Dalam situasi itu, masyarakat butuh media penjernih informasi dan media yang berikhtiar merawat ruang publik yang beradab, tetap setia pada kode etik jurnalistiknya.
Testimoni sejumlah tokoh dalam rangka ulang tahun harian ini akan dijadikan bahan refleksi. Harian ini berupaya menjawab ekspektasi dan berkomitmen menjadi kawan dalam perubahan, tempat mencari referensi, menjelaskan duduknya perkara, menawarkan solusi, serta menjadikan fakta punya makna. Dan, tentunya tetap menjadi pemantau kekuasaan secara santun (polite watchdog). Gaya bermedia mengadopsi prinsip klasik, teguh, dan keras dalam prinsip, tetapi lentur dan lembut dalam cara (fortiter in re, suaviter in modo).
Media akan berperan sebagai the conscience of a nation. Perubahan perilaku masyarakat mengonsumsi berita serta perubahan perilaku pemasang iklan menjadi tantangan bagi media. Teknologi memudahkan pekerjaan, termasuk aplikasi Zoom yang merebak di era pandemi, tetapi pemanfaatan teknologi tanpa landasan etik hanya akan melahirkan plagiarisme. Dalam A Scorecard for Net News Ethics, Online Journalism Review (2/4/2002) disebutkan, proses pengumpulan berita dengan bantuan teknologi copy and paste sangat mudah, tetapi berpotensi menjerumuskan pada plagiarisme.
Harian ini berupaya tetap relevan dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Harian Kompas, Kompas.id, dan e-paper dalam format berlangganan dibuat untuk menanggapi perubahan demi melayani pembaca. Di tengah masyarakat yang berubah dan dunia jurnalisme yang jungkir balik, harian ini berkomitmen memperjuangkan the dreams of convictions, mimpi tentang cita-cita besar, tentang bangsa yang majemuk, bangsa yang demokratis, dan bangsa yang sejahtera serta hadirnya keadilan sosial dan bangsa yang bersih dari korupsi.
Di tengah ketidakrelevanan, butuh kejelasan informasi. Saat ini, tantangan terberat koran adalah mempertanyakan raison d'etre koran di tengah masyarakat. Dalam bukuKompas Way-Jakob's Legacy, Hal Jurgenmeyer (1931-1995), pemimpin media massa di bawah kelompok Knight Ridder, Amerika Serikat, berpendapat, surat kabar bukanlah lembaga yang bergerak semata-mata di bisnis berita atau bisnis informasi. Koran adalah lembaga yang bergerak dalam bisnis pengaruh!
Di tengah pandemi Covid-19, menjadi tugas media mengajak bangsa berefleksi, mencari makna dari pandemi, sambil terus mendorong melakukan pertobatan ekologis, menggalang solidaritas sosial, agar bangsa ini tidak mrucut. Pandemi telah melahirkan orang miskin baru. Ini masalah besar.
Pada sisi ini, pers—di tengah persoalan internal yang dihadapinya—harus memperjuangkan nasib orang miskin untuk mendapat perhatian. Seperti ditulis Frans Seda di Kompas, 28 Juni 1990, Amanat Hati Nurani Rakyat tetap menjadi jati diri. Amanat Hati Nurani Rakyat bukanlah slogan yang diformulasikan sembarangan. Ia merupakan hasil pilihan dan renungan matang yang timbul dari keprihatinan tentang situasi dan kondisi rakyat.
Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, menyebut, kemiskinan adalah absennya hak asasi manusia. Sementara Mahatma Gandhi mengatakan, "Kemiskinan adalah bentuk kekerasan terburuk." Kondisi ini sejalan dengan filosofi harian ini untuk terus membela yang papa dan mengingatkan yang mapan. Itulah arah untuk menggerakkan jurnalismeKompas dalam situasi tak mudah.
Harian ini berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya. Selain karena penyelenggaraan ilahi (providentia dei), ada dukungan pemerintah, narasumber, pembaca, pemasang iklan, loper, dan semua yang terlibat dalam penerbitan media. Dukungan semua pihak tetap dibutuhkan.