Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juni 2020

CATATAN URBAN: Kota Sehat Bukan Mimpi, asal… (NELI TRIANA)


KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara lanskap kota Jakarta, Selasa (7/4/2020).

Mengelola kota agar warganya sehat dan produktif adalah jawaban atas situasi kini, saat pandemi akan selalu ada. Dan, ternyata, upaya menuju kota sehat sudah dirintis sejak 2005. Tugas besarnya kini adalah mewujudkan program itu cepat dan tepat dengan penyesuaian terhadap kondisi pandemi.

Kawasan perkotaan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paling terdampak pandemi Covid-19 karena tingkat kepadatan penduduknya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perdesaan. Kota merupakan simpul perlintasan orang dan barang ke kota, daerah, hingga negara lain. Kota adalah pusat pertumbuhan ekonomi yang menopang kesejahteraan kota itu sendiri, negara, dan dunia.

Menghentikan semua akivitas di perkotaan, seperti yang terjadi selama beberapa bulan terakhir untuk memutus rantai penularan virus korona baru, tidak dapat terus dilakukan. Perlu segera menemukan cara guna memastikan kesehatan warga terjamin dan roda perekonomian tetap berjalan.

Nilai penting kota itu sejak lama disadari. Banyak negara di dunia memulai gerakan kota sehat yang lantas menjadi program WHO sejak lebih dari 30 tahun silam.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan kriteria kota sehat sesuai WHO dari Ake Wihadanto, doktor lingkungan Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Kota sehat, menurut WHO, adalah kota yang terus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosialnya serta memperluas sumber daya masyarakat yang memungkinkan orang untuk saling mendukung satu sama lain dalam menjalankan semua fungsi kehidupan dan mengembangkan potensi maksimal mereka.

Di Indonesia, pemerintah pun mengadopsi program kota sehat dengan nama Kabupaten Kota Sehat (KKS) pada tahun 2005. Tujuan KKS adalah tercapainya kondisi kabupaten/kota yang bersih, aman, nyaman, dan sehat untuk dihuni dan sebagai tempat bekerja bagi warga dengan cara terlaksananya berbagai program kesehatan dan sektor lain sehingga dapat meningkatkan sarana, produktivitas, dan perekonomian masyarakat.

Kabupaten masuk dalam sasaran program kota sehat karena kawasan perkotaan saat ini memang tidak terbatas pada daerah yang berstatus administrasi sebagai kota. Kawasan yang tidak berstatus kota, tetapi telah mulai meninggalkan ciri perdesaan, seperti sumber perekonomian utama bukan lagi dari pertanian, terus tumbuh di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ini ada 56,7 juta jiwa dari 270,6 juta jiwa warga yang tinggal di 98 kota di Indonesia. Menurut Worldometers - Indonesia Population, pada tahun 2020, penduduk Nusantara mencapai 273 juta jiwa dengan 56,4 persen atau sekitar 154 juta jiwa berada di kawasan urban.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap bantaran Kali Ciliwung di kawasan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, kawasan padat penduduk yang sedang terendam banjir, Kamis (21/5/2020).

Baca juga : Pak dan Bu RW, Tugas Melawan Pagebluk Kini Ada di Tanganmu

Kembali ke KKS, program tersebut berlandaskan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/Menkes/PB/VIII/2005. Peraturan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Ada tujuh tatanan target KKS dengan melibatkan lintas sektor dan program di tingkat pusat dan daerah. Ketujuh tatanan tersebut adalah kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; kawasan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat sehat yang mandiri; serta kehidupan sosial yang sehat.

Ketujuh tatanan tersebut adalah kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; kawasan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat sehat yang mandiri; serta kehidupan sosial yang sehat.

Apa hasil program KKS dalam 15 tahun ini? Laporan dari Kementerian Kesehatan, penghargaan KKS tiap dwi-tahunan terakhir berlangsung pada November 2019. Saat itu, Kemenkes memberikan penghargaan kepada enam gubernur, 177 bupati dan wali kota, serta tiga motivator pendorong KKS di daerahnya.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam laporan di laman Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan dalam artikel "Menkes dan Mendagri Beri Penghargaan Swasti Saba untuk Kabupaten Kota Sehat" mengatakan, penghargaan diberikan kepada kabupaten/kota yang sudah memiliki program pembangunan untuk mewujudkan KKS. Dari data 2019 terlihat baru 177 kabupaten/kota atau sekitar sepertiga dari 514 kabupaten/kota (416 kabupaten dan 98 kota) di Indonesia yang mulai menerapkan tatanan KKS.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan wabah yang melanda dunia oleh Ake Wihadanto, doktor lingkungan dari Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Itu pun masih parsial. Langkah menuju sehat di sektor tertentu, antara lain, meliputi pemenuhan gizi anak untuk mengatasi tengkes, jambanisasi untuk mengurangi tingkat buang air besar sembarangan (BABS), gerakan Jumat bersih untuk memutus wabah demam berdarah dengue (DBD), memperbanyak taman kota, dan pengurusan administrasi kependudukan secara daring.

Saat langkah KKS itu belum separuhnya ditempuh, Covid-19 menyerang. Masalah makin berat ketika WHO mengimbau masyarakat agar bersiap menerima kenyataan Covid-19 akan selalu ada. Bahkan ada potensi serangan wabah lain di luar Covid-19. Semua pihak gelagapan, lalu muncul gagasan perlu tatanan normal baru untuk menangkal pagebluk ini.

Tak perlu tatanan normal baru

Suryono Herlambang, dosen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara (Untar), Sabtu (19/6/2020), mengatakan, selama ini banyak konsep kota ideal dimasukkan dalam kebijakan pengelolaan kawasan urban di Indonesia. Sebutlah kota sehat, kota hijau, kota tangguh, kota cerdas, dan lainnya.

"Pandemi ini tidak membutuhkan tatanan baru lagi, tetapi percepat perwujudan konsep-konsep ideal kota tersebut," kata peneliti di Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Untar ini.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan kota sehat sesuai WHO oleh Ake Wihadanto, doktor lingkungan dari Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Merujuk pada kebijakan pemerintah yang sudah berjalan, kota sehat dengan tujuh target tatanannya cukup memenuhi kebutuhan penerapan tatanan di masa pandemi. Di luar ketentuan baru, seperti memakai masker sehari-hari saat di luar rumah dan menjaga jarak, setiap area urban setidaknya harus memiliki program pencegahan penyakit, pelayanan medis, promosi kesehatan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan generasi. Semua program itu saling terkait.

Pencegahan berarti memastikan warga kota sehat jasmani dan rohani. Pelayanan medis berkorelasi dengan ketersediaan fasilitas dan petugas kesehatan.

Promosi kesehatan dan perlindungan masyarakat mencakup mengajak warga hidup sehat, seperti menyediakan fasilitas pendukung sehingga warga terhindar dari wabah dan polusi; menyediakan sarana-prasarana penunjang kebugaran, seperti taman dan trotoar; hingga menyediakan sistem sanitasi yang memadai dan jaringan transportasi publik yang baik. Juga agar warga terhindar dari kekerasan, tidak terjebak penyalahgunaan obat, dan lain-lain.

Untuk pembangunan generasi adalah bagaimana kota menyiapkan sistem keamanan lingkungan, menjamin kesehatan ibu dan anak, menekan angka kematian ibu dan bayi, serta menanamkan dan membantu pemenuhan gizi anak ataupun keluarga. Tak ketinggalan, menyediakan pendidikan terjangkau bagi semua warga.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Tempat pembuangan sampah dan kakus umum berada di pinggiran Kali Blencong di kawasan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018).

Terkait realisasi program tujuh tatanan itu, selayang pandang saja, bisa dilihat kualitas kota-kota di Indonesia yang masih jauh dari target kota sehat. Mari bertanya ke diri sendiri, adakah taman kota yang terjangkau dengan jalan kaki dari rumah atau tempat kerja kita? Bagaimana kondisi jaringan drainase kota kita? Bagaimana pula dengan ketersediaan jaringan angkutan umum? Apakah kota kita masih penuh polusi, fasilitas kesehatan memadai, atau tidak?

Di sini, kepekaan pemimpin diuji.

Pada 21 April lalu, seperti diberitakan di The Guardian, Wali Kota Milan, Italia, Beppe Sala mengumumkan proyek ambisius menata jaringan angkutan massal di Milan. Proyek mencakup mengurangi luas jalan kendaraan bermotor dan menambah luas trotoar bagi pejalan kaki. Memperluas jaringan jalur sepeda dan tentu menambah fasilitas transportasi umum, seperti bus kota dan kereta komuter. Agar tidak berjubel di bus dan kereta demi menghindari episentrum baru Covid-19, kereta komuter di Milan akan mengakomodasi penumpang harian maksimum 400.000 orang dari sebelumnya 1,4 juta orang.

Kebijakan serupa dilakukan Wali Kota Paris, Perancis, Anne Hidalgo. Hidalgo menyatakan, polusi udara berbahaya dan selama ini telah menjadi salah satu penyebab krisis kesehatan masyarakat, terutama di perkotaan. Polusi udara bisa memicu penyakit pernapasan dan membuat risiko kematian akibat Covid-19 lebih tinggi.

Semangat yang sama sebaiknya ditiru di sini.

Tangkapan layar paparan Bappenas dalam webinar IAPTalks Series, 1 Mei 2020.

Manfaatkan deurbanisasi

Mewujudkan kota sehat sekaligus bisa menjawab tantangan untuk mengatasi kemiskinan dan kawasan kumuh padat perkotaan.

Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaaan Pembangunan/Bappenas Vivi Yulaswati di IAPTalks, 1 Mei lalu, menjelaskan, merujuk pada data Bank Dunia, akibat Covid-19, di Indonesia terjadi penambahan 5,6 juta-9,6 juta orang miskin. Penambahan ini menghapus hasil penanggulangan kemiskinan satu dekade terakhir.

"Apakah Indonesia punya daya lenting untuk bertahan? Saat krisis 1997-1999 dan krisis 10 tahun lalu, sektor informal kuat jadi buffer zone. Kini, semua sektor terdampak pandemi. Apakah perdesaan memiliki daya tahan menghadapi forced migration dari perkotaan yang sekarang terjadi?" kata Wakil Ketua Ikatan Ahli Perencana Kota (IAP) Bidang Ekonomi Wilayah dan Kota Diding Sakri.

Diding, merujuk hasil survei The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada 29 Maret, 6 April, 13 April, dan 20 April, menyebutkan, migrasi dari kota besar ke kota kecil atau desa terjadi di Jawa dan di luar Jawa. Migrasi dilakukan pekerja lulusan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Tangkapan layar paparan Bappenas dalam webinar IAPTalks Series, 1 Mei 2020.

Catatan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, sekitar dua pekan selama Idul Fitri 2020, sebanyak 1,7 juta orang meninggalkan Ibu Kota. Mereka tidak sekadar mudik, tetapi pulang kampung menyambung hidup karena tak ada lagi pekerjaan di Jakarta. Meskipun saat ini gelombang arus balik ke Jakarta tetap ada, diyakini arus balik tahun ini tidak segencar tahun sebelumnya.

"Selama pandemi, kehilangan pekerjaan dialami semua sektor, agrikultur, jasa, hotel, dan manufaktur," kata Diding.

Selama pandemi, kehilangan pekerjaan dialami semua sektor, agrikultur, jasa, hotel, dan manufaktur.

Fenomena deurbanisasi ini bisa dimaknai positif. Saat sebagian warga telah kembali ke daerah asal dan industri di kota-kota besar lumpuh bahkan ditutup, muncul peluang menghidupkan dan meratakan industri ke daerah.

Di era kemajuan teknologi, pemerataan pembangunan jaringan internet dan pengoptimalan kegiatan daring di semua lini jadi poin penting serta semakin menunjang keseimbangan desa-kota. Sebuah momentum melepas gula-gula kota besar dan membaginya dengan daerah.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Arkeolog dan sejarawan, Candrian Attahiyat.

Arkeolog Universitas Indonesia, Candrian Attahiyyat, dalam seminar daring, Sabtu (18/4/2020), menyatakan, pandemi Covid-19 ini bukan peristiwa wabah pertama yang mendera Nusantara. Pada 1644, penyakit cacar menjangkiti warga dan menyebar ke seluruh Pulau Jawa. Setelah itu, silih berganti malaria, muntaber, diare, campak, dan demam berdarah meminta korban tak sedikit.

"Reaksi kita dulu, seperti memindahkan pusat kota dari kota lama Batavia (Kota Tua) ke Weltevreden (Sawah Besar hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat), belum menjawab akar masalah. Kali ini, jangan lagi kita seperti itu," katanya.

Reaksi kita dulu, seperti memindahkan pusat kota dari kota lama Batavia (Kota Tua) ke Weltevreden (Sawah Besar hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat), belum menjawab akar masalah. Kali ini, jangan lagi kita seperti itu.

Satu nyawa saja tidak boleh dikorbankan, tidak boleh ditinggalkan. Konsep dan kebijakan pembangunan sudah ada, pun pasti anggarannya. Wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden tinggal serius mewujudkannya demi kemaslahatan umat. Kota sehat bukan mimpi.

Kompas, 28 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger