Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

ANALISIS EKONOMIH Normal Baru Perekonomian (A PRASETYANTOKO)


Persiapan menuju normal baru terus dilakukan di berbagai aspek. Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/MENKES/328/2020 mengatur protokol kesehatan di perkantoran dan kawasan industri yang wajib diikuti semua pihak. Keputusan Menteri Keuangan No 223/2020 mengatur implementasi fleksibilitas tempat bekerja sebagai cara baru. Begitu pula Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 58/2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru.

Perusahaan seperti Twitter telah mengumumkan bekerja dari rumah bukan lagi temporer,  melainkan permanen. Penerapan protokol kesehatan ketat dan cara kerja baru hanya gejala dari perubahan yang lebih mendasar, mulai dari perubahan perilaku hingga struktur ekonomi yang meliputi konsumsi, distribusi, dan produksi.

Pada triwulan I-2020, perekonomian RI hanya tumbuh 2,97 persen secara tahunan. Padahal, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baru mulai diberlakukan April 2020 sehingga pertumbuhan triwulan I belum mencerminkan dampak PSBB.  DKI Jakarta pertama kali menerapkan PSBB pada 10 April, disusul Depok, Bogor, dan Bekasi pada 15 April, sedangkan Tangerang Raya mulai 18 April, dan Surabaya 21 April.

Kendati belum mencerminkan dampak PSBB, pola pertumbuhan ekonomi triwulan I bisa menjadi indikator dini perubahan perilaku ekonomi pascapandemi. Pada triwulan I, sektor jasa keuangan dan asuransi masih tumbuh 10,67 persen, jasa kesehatan dan kegiatan sosial 10,37 persen, sedangkan sektor informasi dan telekomunikasi tumbuh 9,81 persen. Sementara sektor lainnya tumbuh rendah, bahkan beberapa sektor mendekati nol persen.

Hasil survei sosial demografi "Dampak Covid-19" yang dirilis Badan Pusat Statistik atau BPS (1 Juni 2020) memberikan gambaran situasi masyarakat menghadapi pandemi. Sebanyak 41,91 persen responden mengalami penurunan pendapatan sejak terjadi pandemi, banyak di antara mereka dirumahkan sementara. Bahkan, responden yang masih bekerja, sebanyak 35,78 persen di antaranya, mengalami penurunan pendapatan. Semakin rendah penghasilan, maka semakin banyak responden yang mengalami penurunan pendapatan. Di sisi lain, 56 persen responden meningkat pengeluarannya, bahkan pengeluaran 44 persen responden meningkat 25-50 persen. Peningkatan pengeluaran sebagian besar akibat perubahan pengeluaran bahan makanan.

Penurunan sisi permintaan tersebut disertai beberapa perubahan pola, seperti peningkatan belanja dalam jaringan maupun fokus pada beberapa pos pengeluaran saja. Jika ditilik dari sisi penawaran, ada beberapa sektor dengan lonjakan permintaan, seperti bahan makanan dengan peningkatan 51 persen, kesehatan 20 persen, pulsa telepon 14 persen, makanan/minuman jadi 8 persen, dan listrik 3 persen.

Perubahan perilaku ekonomi

Dennis J Snower dalam paper berjudulThe Socioeconomics of Pandemics Policy (Brokings Institution, 4/2020) mengemukakan perlunya readaptasi kebijakan untuk mengantisipasi perubahan perilaku ekonomi agar tak terjadi "Great Economic Mismatch". Pembatasan fisik dan sosial telah mengubah perilaku ekonomi, terutama dari sisi konsumsi yang menuntut perubahan sisi produksi dan distribusi. Jika tak ada perubahan, konsumsi dan produksi punya potensi tidaknyambung.

Selain hasil survei, BPS juga merilis kajian berjudul "Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19" dengan Indeks Mobilitas Google sebagai salah satu indikator. Saat diterapkan kebijakan bekerja dari rumah, mobilitas di tempat kerja menurun 15 persen, sedangkan setelah kebijakan PSBB turun 73 persen. Adapun aktivitas di rumah setelah bekerja dari rumah naik 8 persen dan setelah PSBB naik 34 persen. Aktivitas di tempat perdagangan ritel dan rekreasi turun 16 persen setelah bekerja dari rumah dan 61 persen setelah PSBB. Sementara  mobilitas di tempat belanja kebutuhan sehari-hari turun 3 persen setelah bekerja dari rumah dan 46 persen setelah PSBB.

Perubahan perilaku perlu menjadi rujukan kebijakan pemulihan ekonomi. Fokus kebijakan pemerintah saat ini masih di bidang kesehatan dalam rangka menekan risiko kematian serta mendukung masyarakat bisa bertahan hidup dari risiko ekonomi. Meski demikian,  peningkatan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional harus dirancang dalam rangka mengantisipasi perubahan pola perekonomian pascapandemi.

SUMBER: KEMENTERIAN KEUANGAN

Pelebaran defisit APBN 2020

Defisit anggaran 2020 kembali naik dari 5,07 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 1.039 triliun. Perubahan itu diatur dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Kebijakan fiskal lebih fokus pada menjaga agar permintaan tidak merosot lebih tajam. Namun, selebihnya, harus ada strategi pemulihan sektoral secara menyeluruh yang meliputi sisi produksi dan distribusi. Pola investasi dan pendanaan dengan sendirinya akan berubah drastis seiring perubahan perilaku ekonomi.

Pertama, perubahan akan terjadi pada sisi produksi terkait jenis produk yang akan meningkat permintaannya pascapandemi berikut prosedur kesehatan yang diperlukan, seperti pengemasan dan cara distribusinya. Kedua, diperlukan investasi di berbagai sektor sebagai pendukung produksi pascapandemi supaya kenaikan permintaan tidak menimbulkan kekurangan pasokan. Ketiga, memberi kemudahan pertumbuhan ekosistem industri baru yang diperlukan pascapandemi, seperti distribusi dan pembayaran daring.

Melihat berbagai indikator, pemulihan ekonomi sulit terjadi secara cepat (V-shape), melainkan membutuhkan waktu cukup lama (U-shape). Kebijakan fiskal memainkan peran sebagai penyangga agar permintaan tak merosot lebih tajam. Namun, pemulihan harus ditarik dari sisi produksi dengan perencanaan skenario pemulihan yang relevan dengan perubahan perilaku ekonomi.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian harus memainkan peran dalam menavigasi pemulihan ekonomi dari sisi produksi dengan mengadopsi standar baru pascapandemi. Sangat mungkin, banyak sektor yang sudah tak relevan lagi. Sebaliknya, ada aneka sektor ekonomi baru yang relevansinya tinggi. Itulah normal baru dalam perekonomian.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian harus memainkan peran dalam menavigasi pemulihan ekonomi dari sisi produksi dengan mengadopsi standar baru pascapandemi.

A PRASETYANTOKO, REKTOR UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

Kompas, 9 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger