Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

CATATAN IPTEK: Merokok Perparah Covid-19 (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Atika Walujani Moedjiono, wartawan Kompas

Perokok berisiko menderita Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru (corona virus) lebih parah dibandingkan bukan perokok. Demikian kajian para ahli kesehatan masyarakat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 29 April 2020.

Merokok merusak fungsi paru. Akibatnya, tubuh lebih sulit melawan virus korona yang menyerang paru. Merokok juga merupakan faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, stroke, berbagai jenis kanker, penyakit pernapasan, dan diabetes. Kondisi itu menyebabkan perokok berisiko lebih tinggi sakit parah ketika terkena Covid-19.

Sebelum pandemi Covid-19, WHO mencatat, rokok dan produk tembakau lain membunuh lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Lebih dari tujuh juta kematian terjadi pada perokok aktif dan sekitar 1,2 juta kematian pada perokok pasif (orang yang terpapar asap rokok orang lain).

Rokok dan tembakau menjadi penyebab utama kematian, kesakitan dan kemiskinan.

Lebih dari 80 persen dari 1,3 miliar pengguna tembakau tinggal di negara berkembang dan negara miskin. Rokok dan tembakau menjadi penyebab utama kematian, kesakitan, dan kemiskinan.

Merokok adalah bentuk paling umum dari penggunaan tembakau. Produk lain adalah shisha, cerutu, tembakau gulung, kretek, bidi (semacam cerutu khas India).

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Untuk mengatasi polusi udara, selain adanya pembatasan tempat merokok juga ditegakkannya larangan merokok di tempat-tempat yang telah ditetapkan. Perokok pasif atau orang yang terpapar asap rokok berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan terkait perilaku merokok.

Penyebab kanker

Nikotin menstimulasi kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin). Epinefrin merangsang sistem saraf pusat serta meningkatkan tekanan darah, pernapasan, dan detak jantung. Nikotin juga meningkatkan kadar dopamin yang menimbulkan perasaan senang. Karena itu, nikotin bersifat adiktif.

Selain nikotin, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, sedikitnya ada 70 zat kimia dalam rokok. Zat-zat itu bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Setiap kali orang mengisap asap rokok, zat-zat kimia itu masuk ke aliran darah, merusak DNA (asam deoksiribonukleat) yang mengontrol tubuh dalam membuat sel-sel baru dan mengarahkan sel untuk melaksanakan tugas. Kerusakan DNA menyebabkan sel tumbuh tidak seharusnya dan berubah menjadi sel kanker.

Selain kanker paru, laman Mayo Clinicmenyebutkan, rokok menyebabkan kanker hampir di seluruh bagian tubuh, seperti kandung kemih, darah (leukemia), mulut dan tenggorokan, kerongkongan, pita suara, trakea dan bronkus, paru, hati, ginjal, panggul, mulut rahim, pankreas, lambung, usus besar dan rektum.

Hal yang sama bisa terjadi pada perokok pasif. Pada bayi, hal itu bisa menyebabkan sindrom kematian bayi mendadak (SIDS). Merokok pada perempuan hamil meningkatkan risiko keguguran, bayi dengan berat badan lahir rendah, bayi lahir mati atau prematur.

Rokok elektrik juga tidak aman untuk remaja, orang dewasa, perempuan hamil, ataupun mereka yang terpapar secara pasif. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS memperingatkan publik tentang ratusan laporan penyakit paru serius dan kematian terkait dengan produk itu.

KOMPAS/FAJAR RAMADHAN

Beragam cairan dengan aneka rasa yang di jual di salah satu Vape Store di Jakarta. Foto diambil pada 17 Februari 2020.

Pada Hari Tanpa Tembakau tahun ini yang diperingati setiap 31 Mei, WHO meluncurkan kampanye bagi anak-anak dan remaja usia 13-17 tahun agar mereka waspada terhadap taktik industri rokok. Setiap tahun industri rokok menginvestasikan lebih dari 9 miliar dollar AS untuk mengiklankan produknya.

Mereka menargetkan anak-anak muda sebagai pengganti delapan juta perokok yang meninggal setiap tahun. Taktik itu antara lain berupa sponsor pesta dan konser musik, juga pemasaran rokok elektrik berbagai rasa.

"Mendidik kaum muda sangat penting. Sembilan dari 10 perokok mulai sebelum usia 18 tahun. Kami ingin memberi orang muda pengetahuan untuk menentang manipulasi industri rokok," kata Direktur Promosi Kesehatan WHO Ruediger Krech, 29 Mei 2020.


Untuk menjangkau Generasi Z, WHO meluncurkan tantangan TikTok #TobaccoExposed serta merangkul mitra media sosial seperti Pinterest, Tinder, Youtube, dan TikTok.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Perwakilan pemuda dari negara-negara di Asia Pasifik membacakan deklarasi berupa komitmen terhadap pengendalian tembakau pada pembukaan Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) ke-12 di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/9/2018).

Negara diharapkan melindungi anak-anak dari eksploitasi industri dengan memberlakukan undang-undang pengawasan produk tembakau yang ketat, termasuk mengatur produk seperti rokok elektrik.

Ancam generasi muda

Dalam sejarahnya, mengisap tembakau dan berbagai zat halusinogenik dipraktikkan dalam ritual pengobatan sejak 5.000 sebelum Masehi (SM) di wilayah Andes, Peru, dan Ekuador. Hal itu dibawa para pelaut yang kembali dari Amerika ke Eropa sejak akhir abad ke-15.

Tembakau dipercaya masyarakat Eropa sebagai obat mujarab. Akhir abad ke-16, dokter Nicolas Monardes dari Spanyol menyatakan, tembakau mengurangi rasa lapar, sebagai obat penenang dan penghilang rasa sakit, bahkan obat kanker.

Namun, tahun 1929, Fritz Lickint dari Dresden, Jerman, menerbitkan bukti statistik formal tentang hubungan kanker paru dengan tembakau.

Penelitian epidemiologis pertama yang menunjukkan hubungan antara merokok dan kanker paru dan penyakit jantung diterbitkan pada September 1950 di British Medical Journal. Sejak saat itu timbul gugatan dari orang-orang terkait kerugian akibat rokok.

Pada 1990-an, tak hanya individu, negara juga mengajukan tuntutan hukum pada industri rokok. Tahun 1998, ditandatangani kesepakatan antara kejaksaan 46 negara bagian dengan empat produsen rokok terbesar di AS untuk pembiayaan perawatan penyakit terkait tembakau serta pembatasan tembakau. Pada Desember 2019, Pemerintah AS menaikkan usia minimum orang yang diizinkan membeli produk tembakau, dari usia 18 tahun menjadi 21 tahun.

Pada tahun 2003, negara-negara anggota WHO meratifikasi  Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC) yang mulai berlaku tahun 2005.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA

Sejumlah FCTC Warrior menyampaikan hasil peninjauan terhadap dampak kenaikan tarif cukai rokok dalam diskusi bertajuk "Sudahkah PMK 2017 Membuat Rokok Mahal" di Jakarta, Rabu (30/5/2018).

Selanjutnya, pada 2007, WHO memperkenalkan cara praktis dan hemat untuk mencapai tujuan pengendalian tembakau. Cara itu meliputi pengawasan penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahan, melindungi masyarakat dari rokok, menawarkan bantuan berhenti merokok, memperingatkan bahaya rokok, melaksanakan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, serta menaikkan pajak rokok.

Kenaikan harga rokok 10 persen bisa menurunkan konsumsi sekitar 4 persen di negara-negara berpenghasilan tinggi dan sekitar 5 persen di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO. Bahkan, industri rokok diberi kelonggaran berpromosi terselubung di berbagai acara olahraga dan kesenian.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Tulisan dilarang merokok terpasang di dekat eskalator Pasar Senen Blok III, Jakarta, Jumat (17/1/2020).

Pengendalian dampak rokok

Upaya pembatasan rokok memang dilakukan. Merokok dilarang di kendaraan umum dan di tempat umum, seperti fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan tempat ibadah. Namun, aturan itu harus disahkan lewat peraturan daerah dan tidak ada tenggat dari pemerintah pusat. Jadi, sangat bergantung pada kepedulian pemerintah daerah.

Padahal, Indonesia menghadapi ancaman serius. Tercatat lebih dari 230.000 kematian setiap tahun akibat rokok. Data Globocan (basis data daring tentang kanker di 185 negara) 2018 mencatat, kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian akibat kanker di Indonesia serta di seluruh dunia.

Data Komite Nasional Pengendalian Tembakau menyebutkan, jumlah perokok di Indonesia ada 166 juta orang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, diprediksi lebih dari 97 juta penduduk Indonesia menjadi perokok pasif.

Peningkatan prevalensi merokok terlihat pada kelompok anak dan remaja. Riskesdas 2018 menunjukkan, terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk hingga usia 18 tahun dari 7,2 persen menjadi  9,1 persen.

Proyeksi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sebanyak 30,1 persen atau 79,55 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak berusia 0-17 tahun. Artinya, ada 7,24 juta anak serta remaja menjadi perokok dan bisa terus bertambah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan masyarakat. Tanpa kesadaran akan bahaya rokok, generasi muda Indonesia terancam sakit, miskin, dan mati.

Kompas, 10 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger