Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

PENGELOLAAN MONETER: Keluar Kantong Kiri Masuk Kantong Kanan (FAJAR MARTA)


Pada rapat terbatas khusus membahas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pekan lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya konsep berbagai beban (sharing the pain) dalam upaya menanggulangi dampak pendemi Covid-19 terhadap perekonomian.

"Saya minta konsep berbagi beban. Sekali lagi saya minta konsep berbagi beban, sharing the pain harus menjadi acuan bersama antara pemerintah, BI, OJK, perbankan, dan pelaku usaha, harus betul-betul bersedia memikul beban, bergotong royong, bersedia bersama-sama menanggung risiko secara proporsional dan dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian," kata Presiden Jokowi.

Mengapa Presiden menegaskan soal berbagi beban ini? Bukankah semua pihak sudah menderita akibat pandemi Covid-19 ini. Ataukah memang ada pihak-pihak yang enggan berbagi beban karena tak ingin memikul tanggung jawab dan risiko saat ini dan di kemudian hari?

Program pemulihan ekonomi yang luluh lantak akibat pandemi Covid-19 membutuhkan dana yang besar, yang menurut hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini mencapai Rp 677,2 triliun.

Anggaran tersebut sudah dan akan digunakan antara lain untuk insentif pajak, subsidi bunga kredit, penyertaan modal negara, penjaminan kredit, dana talangan, penempatan dana pemerintah, serta stimulus sektor pariwisata dan perumahan.

Di luar pemulihan ekonomi, pemerintah juga masih harus mengucurkan dana yang besar untuk penanganan sisi kesehatannya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Deretan kios tutup, yang terlihat hanya lorong-lorong sunyi Pasar Tanah Abang saat pandemi.

Pemerintah jelas tak memiliki dana untuk memberikan berbagai stimulus fiskal tersebut. Untuk memenuhinya, pemerintah pun berutang besar-besaran tahun ini, mencapai Rp 1.633,6 triliun yang terdiri dari Rp 1.206,9 triliun untuk pembiayaan defisit anggaran dan investasi serta Rp 426,6 triliun untuk menutup utang jatuh tempo. Besaran utang saat pandemi ini lebih dua kali lipat dari kondisi normal.

Karena ketersediaan likuiditas di pasar diperkirakan tak cukup untuk menyerap semua surat utang yang akan diterbitkan pemerintah tahun ini, UU No 2/2020 tentang penetapan Perppu No 1/2020 terkait kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 pun memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia (BI) untuk membeli surat utang negara di pasar perdana alias memberi pinjaman langsung kepada pemerintah.

Untuk keperluan ini, BI akan mencetak uang. Pada kondisi normal, sesuai best practice pengelolaan moneter di banyak negara, bank sentral hanya boleh membeli surat utang pemerintah jangka panjang di pasar sekunder.

Kendati kebutuhan dana bisa terpenuhi, beban pemerintah dalam berutang ini tentu tak ringan. Gejolak keuangan di pasar global akibat pandemi Covid-19 telah meningkatkan risiko Indonesia sehingga imbal hasil (yield) surat utang negara pun meningkat menjadi di kisaran 7 persen untuk tenor 10 tahun.

Untuk meringankan beban ini, pemerintah sebenarnya berharap surat utang yang dibeli BI di pasar perdana tak perlu berbunga. Toh, BI juga merupakan institusi negara meskipun posisinya independen terhadap pemerintah. Jika pemerintah memberi imbalan ke BI, itu bisa diistilahkan keluar kantong kanan masuk kantong kiri.

Apalagi, sebelumnya, pemerintah pernah memberikan surat utang dengan kupon nol persen atau zero coupon kepada BI sebagai pengganti bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144 triliun saat penyelamatan krisis perbankan tahun 1998.‎

Namun, kali ini BI menginginkan pembelian surat utang, termasuk besaran bunga tetap mengikuti mekanisme pasar meskipun BI tidak ikut menawar (noncompetitive bid). BI beralasan, dengan transaksi sesuai mekanisme pasar, surat utang yang dibeli BI menjadi dapat diperdagangkan (tradable). Dengan demikian, ke depan, akan memudahkan BI dalam mengendalikan likuiditas di pasar sekaligus tidak memberatkan neraca keuangan BI.

BI belajar dari pengalaman saat mengucurkan BLBI dan hanya mendapatkan surat utang dengan zero coupun dari pemerintah. Setelahnya, BI kesulitan mengendalikan likuiditas dan biaya operasi moneter sehingga berdampak pada neraca keuangan BI.

BANK INDONESIA UNTUK KOMPAS

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam pemaparan perkembangan ekonomi terkini di Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Namun, di satu sisi kurang pas juga apabila dalam kondisi susah saat ini, BI mengambil untung dari pemerintah untuk sesuatu yang menjadi kepentingan bersama, yakni penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.

Lalu, mulailah dicari cara agar BI tetap bisa menjalankan pengelolaan moneter secara prudent, tetapi pemerintah juga tak terbebani biaya bunga surat utang yang dibeli BI. Skemanya, secara akuntansi BI tetap menerima bunga surat utang dari pemerintah, tetapi uang senilai bunga tersebut akan dikembalikan kepada pemerintah melalui rekayasa-rekayasa finansial.

Yang tengah dikaji BI saat ini adalah memberikan kompensasi berupa remunerasi bunga pada rekening pemerintah di BI. Sebelumnya, remunerasi bunga ini tak ada. Remunerasi bunga yang diberikan BI kepada pemerintah juga semacam "keluar kantong kiri masuk kantong kanan".

Cara berikutnya yang juga tengah dibahas adalah burden sharingpemerintah dan BI atas selisih suku bunga penempatan dana di bank dengan suku bunga surat utang ke BI. Pemerintah berencana menempatkan dana di bank guna disalurkan sebagai kredit modal kerja untuk dunia usaha.

Dalam menempatkan dananya, pemerintah akan tetap menerima jasa giro, tetapi besaran bunganya di bawah bunga pasar. Misalkan saja, bunga yang diterima pemerintah sebesar 1,5 persen. Ini berarti dibandingkan dengan bunga surat utang ke BI sebesar 7 persen, ada selisih 5,5 persen.

Besaran inilah yang melalui rekayasa keuangan lainnya akan dikembalikan BI ke pemerintah. Jadi, ujungnya sebenarnya tak ada uang yang dikeluarkan pemerintah untuk bunga surat utang yang dibeli BI.

Berdasarkan data BI, hingga 26 Mei 2020, bank sentral telah membeli surat utang atau disebut juga Surat Berharga Negara (SBN) jangka panjang di pasar perdana sebesar Rp 24 triliun.

Gadai SBN

Selain soal bunga surat utang, juga ada usulan agar bank sentral menurunkan biaya gadai berjangka (term repo rate) SBN oleh perbankan ke BI yang saat ini sekitar 4,8 persen untuk tenor satu bulan.

Jika biaya repo diturunkan, misalnya, menjadi 2 persen, tentu perbankan lebih tertarik untuk menggadaikan SBN-nya ke BI. Dampaknya, perbankan akan memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo ataupun penyaluran kredit.

Dengan repo rate sekitar 4,8 persen, hanya bank-bank yang betul-betul membutuhkan likuiditas, terutama untuk memenuhi kewajiban jatuh tempo, yang akan menggadaikan SBN-nya. Bank tidak akan tertarik merepo SBN sekadar untuk mendapatkan likuiditas guna disalurkan sebagai kredit.

Bank akan lebih senang tetap memegang SBN yang bunganya sekitar 7 persen ketimbang menyalurkan kredit yang risikonya tergolong tinggi saat ini.

Ini terbukti, dari Rp 886 triliun SBN yang dimiliki bank hingga pertengahan Mei 2020, hanya sekitar Rp 44 triliun yang direpokan ke BI.

Namun, BI berpendapat, repo ratetidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter agar tidak memberatkan neraca keuangan BI.Repo rate di bawah biaya operasi moneter juga berpotensi dipermasalahkan Badan Pemeriksa Keuangan. Biaya operasi moneter adalah biaya yang dikeluarkan BI untuk menarik likuiditas dari pasar.

Bentuk operasi moneter kontraksi, antara lain lelang Sertifikat Bank Indonesia dan reverse repo yang rate-nya sepadan dengan suku bunga acuan, yakni mulai 4,5 persen untuk tenor 1 minggu.

BI pun mencari cara agar repo ratetidak dianggap memberatkan bank. BI akhirnya memberikan kompensasi berupa remunerasi bunga pada giro wajib minimun (GWM) perbankan di BI sebesar 1,5 persen, yang sebelumnya tak ada. Dengan remunerasi ini, perbankan mendapatkan tambahan penerimaan yang bisa dianggap sebagai kompensasi saat menggadaikan SBN ke BI.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, dana pihak ketiga (DPK) perbankan per April 2020 sebesar Rp 6.128 triliun. Dengan GWM rata-rata sekitar 3 persen dari DPK, GWM perbankan di BI mencapai Rp 183,8 triliun.

Demikianlah konsep berbagai beban yang diminta Presiden Jokowi, yang berusaha diimplementasikan oleh pihak-pihak terkait meskipun dengan cara masuk kantong kanan keluar kantong kiri demi memenuhi prinsipgood governance dan prinsip kehati-hatian.

Kompas, 9 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger