Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

MASA MEDIA: Wartawan Bisa Keliru, tetapi Tidak Boleh Bohong (TRI AGUNG KRISTANTO)


DOKUMENTASI PRIBADI

Tri Agung Kristanto, Wartawan Senior Kompas

"What is the long-term effect of too much information? One of the effects is the need to be first, not even to be true anymore. So what responsibility do you all have? To tell the truth. Not just to be first. But to tell the truth." (Denzel Washington, Academy Award Winning Award, 2016)

Setelah pemilihan presiden Amerika Serikat, yang berakhir dengan kemenangan Donald J Trump, tahun 2016, Freedom House mengeluarkan sebuah laporan yang mengejutkan. Lembaga nirlaba yang bertujuan memajukan kemerdekaan berpendapat dan demokrasi itu memastikan adanya manipulasi media, khususnya media sosial, untuk melemahkan demokrasi. Laporan dari lembaga yang berbasis di Washington DC, AS, itu dikeluarkan pada November 2017.

Manipulasi informasi, memproduksi dan menyebarkan kabar bohong, dan disinformasi secara dalam jaringan (daring) itu, menurut Freedom House, memainkan peran penting dalam pemilihan di setidaknya 18 negara selama setahun terakhir, termasuk AS. Trump hingga saat ini masih dituduh menggunakan taktik disinformasi dan menyebarkan hoaks (kabar bohong) bagi lawan politiknya. Ia pun tahun 2017 "membalas" dengan memberikan "penghargaan" pemberi kabar bohong kepada enam media di AS, yakni The New York Times, ABC News, CNN, Time, Washington Post, dan Newsweek. Tentu saja langkah Presiden Trump ini dilawan oleh media.

Menurut Freedom House, kondisi tahun 2016 dan 2017 itu berlanjut hingga kini. Tahun 2018 dilaporkan sebagai "Democracy in Retreat" dan terjadi kemunduran dalam kebebasan publik, terutama kemerdekaan mendapatkan informasi, secara global. Dalam laporan terakhir, tahun 2020, yang berjudul "Nation in Transit", pandemi Covid-19 kian melemahkan demokrasi, khususnya di kawasan Eropa Tengah dan Asia. Kebebasan warga untuk mendapatkan informasi, sebagai bagian dari demokrasi, terutama melalui internet, mengalami penurunan keseluruhan. Terjadi peningkatan gangguan pada layanan internet seluler serta peningkatan serangan fisik dan teknis terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) dan media independen.

Freedom House mencatat, sejumlah pemerintah membatasi layanan internet seluler dan hak warga mendapatkan informasi untuk alasan politik atau keamanan. Kondisi ini acap kali terjadi di daerah yang dihuni oleh kelompok warga minoritas. Kebijakan ini terjadi pula di Indonesia, misalnya saat terjadi kerusuhan di Papua dan Papua Barat tahun 2019. Pemerintah juga sempat membatasi dan menghentikan layanan data dan akses internet di dua provinsi itu.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menggugat kebijakan pemerintah di Papua dan Papua Barat pada masa krisis periode Agustus-September 2019 itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Rabu (3/6/2020) lalu, majelis hakim PTUN Jakarta yang diketuai Nelvy Christin memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan tindakan pemerintah, yaitu tergugat II Presiden Republik Indonesia dan tergugat I Menteri Komunikasi dan Informatika, melanggar hukum. Kedua tergugat dihukum membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 457.000. Sepanjang hari Rabu dan Kamis (4/6/2020), dunia media di negeri ini gaduh. Sejumlah warga melalui media sosial dan aplikasi percakapan warga menuding sejumlah media dalam jaringan (daring) menyebarkan berita bohong atau hoaks sebab menyebutkan PTUN Jakarta menghukum Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada masyarakat melalui media.

Dalam putusan atas gugatan bernomor 230/G/TF/2019/PTUN.JKT tak ada putusan yang menyebut nama dan menghukum pemerintah meminta maaf. Media pun segera memperbaiki kesalahan itu, meski ada pula yang lambat mengoreksi, disertai permintaan maaf. Namun, sejumlah warga negara, yang diprakarsai dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, mengadukan sejumlah media dalam jaringan (daring) dan media elektronik ke Dewan Pers. Ade, di Jakarta, Sabtu (6/6/2020), membenarkan adanya pengaduan tersebut.

Namun, Ade dan kawan-kawan tidak mengadukan dugaan penyebaran berita bohong oleh media, tetapi antara lain meminta Dewan Pers mengidentifikasi pihak-pihak yang sengaja menyebarkan berita bohong, yang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan meruntuhkan kredibilitas pers di Indonesia. Dewan Pers diminta membangun profesionalisme, terutama dalam hal akurasi dan independensi media di Indonesia.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam vonisnya, Rabu (3/6/2020), menyatakan bahwa tindakan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu merupakan perbuatan melanggar hukum.

Wakil Ketua Dewan Pers Hendri Ch Bangun, di Jakarta, Sabtu (6/6/2020), mengatakan sudah menerima pengaduan itu. Dewan Pers meminta ahli pers untuk menganalisis pengaduan itu dan memprioritaskan penanganannya.

Bukan pertama kali

Tudingan terhadap media, khususnya media sosial, menyebarkan berita bohong di negeri ini sudah berulang kali terjadi. Penelitian dari pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, Nurul Hasfi, dalam masa kampanye Pemilu Presiden 2014 menemukan penggunaan media sosial untuk pertarungan wacana dan informasi dari tim kampanye dan para pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden saat itu, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla. Informasi yang diunggah melalui media sosial itu, setelah dikaji dan diverifikasi, tidak semuanya mengandung kebenaran. Bahkan, boleh disebutkan sebagai berita bohong.

Selain melalui media sosial, penyebaran berita bohong pada Pemilu 2014 terjadi melalui "media", misalnya tabloid Obor Rakyat. Tabloid yang dipimpin Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyosa itu dinilai menyebarkan hoaks, khususnya terkait Jokowi. Dewan Pers, yang saat itu dipimpin Bagir Manan, memutuskan Obor Rakyat bukan produk pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak bisa dijangkau dengan Kode Etik Jurnalistik dan nota kesepahaman Dewan Pers-Polri dalam penanganan perkaranyaKedua pemimpin Obor Rakyat itu dihukum oleh pengadilan sebab terbukti menyebarkan fitnah kepada Jokowi pada 2016.‎

Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Polri melaporkan, selama masa Pemilu 2019, hingga pertengahan Agustus, tercatat sekitar 2.800 perkara siber, yang 35 persen di antaranya terkait berita bohong dan ujaran kebencian. Berita bohong dan ujaran kebencian itu sebagian besar terkait dengan pemilu. Tahun 2018, Polri mencatat ada 30.056 konten negatif di media sosial, yang terdiri dari 602 berita bohong, 20.945 konten provokasi, 6.886 ujaran kebencian, 1.120 informasi bernuansa SARA, 491 konten radikalisme, dan 12 konten terkait terorisme.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Mural bertema melawan hoaks atau berita bohong menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). Penyebaran informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial dan grup percakapan, kian mengkhawatirkan.

Pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020, informasi yang dikategorikan berita bohong tetap bertebaran di media. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sepanjang tahun ini, hingga Kamis (4/6/2020), tercatat ada lebih dari 855 konten hoaks. Bahkan, laporan jurnalistik wartawan Kompas, Februari lalu, sempat diinterpretasikan sebagai berita bohong oleh seorang pejabat Kementerian Kesehatan dalam paparannya di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Padahal, laporan itu juga bersumber dari Kemenkes. Setelah diajukan keberatan, Kemenkes meluruskan penilaian dari pegawainya itu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) mengartikan bohong sebagai (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta, dan (2) bukan yang sebenarnya; palsu (biasanya mengenai permainan). Namun, KBBI belum mengartikan hoaks, yang selama ini dipahami sebagai berita bohong oleh masyarakat, termasuk media. Hoaks bisa diartikan sebagai kabar yang tidak sesuai dengan hal (keadaan) sebenarnya, kabar dusta, kabar palsu, atau berita yang bukan sebenarnya.‎

Asosiasi Advokat Internasional (International Bar Association/IBA) dalam Konferensi Tahunan IBA tahun 2011 di Dubai, Uni Emirat Arab, menyepakati, media sosial yang belakangan ini muncul tidak bisa disamakan dengan pers atau media massa konvensional (arus utama), yang mempunyai sejarah panjang dalam tradisi jurnalistiknya. Hampir semua media sosial tidak memenuhi prinsip dasar jurnalistik, yang seharusnya menjadi pegangan bagi setiap pengelola dan pekerja media massa yang sesungguhnya. Bahkan, Wikileaks bukanlah hasil kerja jurnalistik sehingga tidak bisa disamakan dengan hasil kerja wartawan (Kompas2/11/2011). Dewan Pers juga tidak mengelompokkan media sosial sebagai media, sesuai UU Pers.

Terkait kemungkinan media arus utama turut serta menyebarkan kabar bohong, guru jurnalisme yang dianut oleh banyak wartawan di seluruh dunia, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel, dalam bukunya, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik (Pantau, 2003), mengingatkan, inti sari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi, selain kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran serta loyalitas pertama jurnalisme kepada warga. Dalam perkembangannya, Bill dan Tom juga menambahkan elemen kesepuluh pada elemen jurnalisme dengan jurnalisme warga.

Verifikasi itu juga ditegaskan oleh Dewan Pers dalam peraturannya tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012. Peraturan itu menyebutkan, (a) Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi; (b) Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. Kode Etik Jurnalistik tahun 2006, yang berlaku sampai kini, juga mengingatkan pentingnya verifikasi itu. Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menguji informasi itulah verifikasi, cek dan ricek atas kebenaran informasi yang diterimanya.

Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik mengingatkan, wartawan Indonesia bersikap independen: mengikuti hati nuraninya dan tanpa campur tangan pihak lain, menghasilkan berita yang berimbang, akurat, dan tidak beritikad buruk. Pasal 4 menegaskan, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.‎

Hal itu yang diingatkan oleh Denzel Washington saat berbicara kepada wartawan di Museum Sejarah dan Budaya Afrika Amerika di Washington pada 9 Desember 2016, yaitu mengabarkan tentang kebenaran. Dalam banjir informasi seperti saat ini, kebenaran bisa jadi terabaikan. Banyak orang, termasuk melalui media sosial dan media arus utama, ingin menjadi yang pertama mendapatkan dan menyebarkan informasi yang dimilikinya sehingga verifikasi: konfirmasi, cek dan ricek, dan keberimbangan terlewatkan. Kebenaran bisa saja tersisih.

Budayawan GP Sindhunata dalam bukunya, Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi (PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), menuliskan, seorang jurnalis dituntut untuk mencapai dan mengetengahkan obyektivitas dalam laporannya. Dengan obyektivitas itulah, ia bisa mendekati kebenaran. Namun, bisa jadi wartawan yang berpretensi meraih obyektivitas tak berhasil meraihnya karena pandangannya yang naif mengenai realitas. Bahaya besar, seorang jurnalis terjerumus ke dalam ketidakprofesionalan karena tidak dapat melupakan interpretasinya atas realitas yang ditemuinya.

Philip Meyer, wartawan yang mengenalkan jurnalisme presisi, laporan jurnalistik yang berbasis data, menempatkan wartawan seperti seorang ilmuwan (sosial). Ilmuwan bisa keliru, tetapi tidak boleh bohong.

Tidak boleh bohong

Wartawan tetaplah manusia. Ia dan media tentu saja bisa melakukan kesalahan. Mereka bisa saja tergoda. Oleh karena itu, UU Pers mengatur adanya hak jawab dan hak koreksi bagi masyarakat yang merasa dirinya dirugikan oleh pemberitaan media massa. Pengelola media pun memiliki kewajiban koreksi, yaitu melakukan koreksi atau ralat terhadap informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tak benar, yang telah diberitakan oleh media itu. Kewajiban melakukan perbaikan terhadap berita yang sudah disajikan itu juga tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Dalam perjalanan selama menjelang 55 tahun, harian Kompas dan Kompas.id tentu saja pernah mengalami kekeliruan dalam laporannya. Namun, segera seusai mengetahui kekeliruan itu, perbaikan atau koreksi selekasnya dilakukan, sesuai ketentuan yang berlaku. Hak jawab pun semaksimal mungkin diberikan kepada masyarakat. Tentu masih ada saja kekurangan. Setiap kekeliruan yang terjadi, dan koreksi yang dilakukan, adalah bagian dari keterbukaan kepada masyarakat dan pendewasaan wartawan/media.

Wartawan bisa keliru, tetapi tidak boleh bohong. Namun, panduan dan aturan itu tak selamanya berjalan mulus. Tetap ada saja pelanggaran karena keinginan mendapatkan sesuatu pujian. Dalam buku Dusta Yudistira: Awas Hoax Bertakhta di Media Kita! (PT Cipta Prima Nusantara dan Dadeera Book, 2014), Achiar M Permana mencatat sejumlah kasus kebohongan, bukan kekeliruan, yang terjadi di media di Indonesia dan mancanegara. Kejadian itu biasanya berujung dengan kejujuran media untuk mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada publik, dan wartawan yang terbukti melakukan kebohongan tak bisa menyandang sebutan jurnalis lagi.

AP/DPA/KAY NIETFELD

Majalah berita terkenal di Jerman, Der Spiegel, memecat jurnalisnya yang bernama Claas Relotius setelah melakukan beberapa penipuan jurnalistik dalam artikel-artikelnya selama beberapa tahun terakhir, Desember 2018. Jurnalis itu pernah memenangi penghargaan sebagai jurnalis terbaik.

Di dunia, Kompas juga mencatat, tahun 2018, majalah Der Spiegel, Jerman, memecat wartawannya, Claas Relotius (33). Padahal, wartawan muda itu adalah penerima penghargaan dari Asosiasi Wartawan Jerman serta Journalist of the Year versi CNN dan masuk daftar 30 Under 30-Europe: Media dari majalahForbes. Relotius sejak tahun 2011, dan menjabat editor, menulis sekitar 60 artikel, termasuk laporan tentang kelompok preman di perbatasan AS dan Meksiko, "Jaegers Grenze". Laporan yang dimuat pada November 2018 itu menimbulkan pertanyaan dari rekan kerjanya dan seorang sumber.

Dari konfrontasi yang dilakukan atasannya di Der Spiegel, terbukti Relotius berbohong. Ia juga melakukan penipuan jurnalistik di sejumlah artikel lainDer Spiegel meminta maaf kepada masyarakat dan kejadian itu menjadi titik terendah dalam 70 tahun sejarahnya sebagai media massa. Manajemen majalah ternama itu terguncang karena tindakan Relotius mengingkari pesan pendiri majalah itu, Rudolf Augstein, yang mengatakan, "Tell it like it is." Katakanlah seperti apa adanya. Statuta Der Spiegel juga menegaskan, semua fakta, informasi, dan berita diproses secara akurat. Asosiasi wartawan Jerman pun marah (Kompas, 24/12/2018).

Di dunia media massa, perilaku tak terpuji dari wartawan memang berulang kali terjadi. Di AS, misalnya, pada 2003, wartawan The New York Times, Jayson Blair, berhenti karena melakukan sejumlah kebohongan. Editor surat kabar terbesar di dunia itu pun dirombak, selain redaksinya meminta maaf kepada masyarakat.

Sebelumnya, tahun 1981, The Washington Post pun memberhentikan wartawan peraih Pulitzer, Janet Leslie Cook, karena melakukan manipulasi fakta mengenai anak kulit hitam yang kecanduan heroin, berjudul "Jimmy's World", yang dimuat pada 29 September 1980. Lima belas tahun kemudian, dalam sebuah wawancara, Janet mengungkapkan, dulu ia terpaksa membuat laporan jurnalistik fiktif karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya melahirkan liputan berkualitas dan eksklusif.

Kata hoaks ternyata berasal dari cerita bohong sungguhan. Tahun 2006, aktor Richard Gere membintangi film berjudul The Hoax yang disutradarai Lasse Hallstrom. Film itu diangkat dari buku karya penulis ternama AS, Clifford M Irving, dengan judul sama yang diterbitkan oleh McGraw-Hill tahun 1971. Buku itu disebut sebagai biografi dari miliuner AS, Howard Hughes. Ternyata, Irving tidak pernah mewawancarai Hughes dalam menulis buku tersebut. Hughes juga tak mengetahui bahwa ada buku biografinya. Dokumen untuk penulisan buku itu pun palsu. Benar-benar hoaks: bohong dan palsu.

Sesungguhnya masih ada saja cerita tentang penulis atau wartawan yang melakukan kebohongan dalam berkarya. Namun, kewajiban wartawan adalah pada kebenaran. Sikap ini diperlihatkan Gary Webb, wartawan The San Jose Mercury News (AS), yang tahun 1996 melaporkan konspirasi Pemerintah AS dan gerilyawan Nikaragua melalui perdagangan gelap narkotika. Meskipun dia dipaksa untuk menarik laporannya, dan narasumbernya "mundur", Webb tetap kukuh. Ia tidak pernah terbukti salah membuat laporan itu hingga ditemukan meninggal tahun 2004 dengan luka di kepalanya.

Keteguhan Webb itu pada tahun 2014 dibuat film dengan judul Kill the Messenger, yang bersumber dari buku karya Nick Schou dengan judul seperti judul film itu dan buku berjudul Dark Alliance: The CIA, Contras and the Crack Cocaine Explosion karya Gary Webb. Memang kebenaran, sesulit apa pun, tetap menjadi yang terutama di media massa dan bagi wartawan. Bahkan sampai dibawa mati, seperti kisah Fuad Muhammad Syafruddin atau biasa dipanggil dengan nama Udin, wartawan Bernas (Yogyakarta), yang pada 1996 terbunuh sebab mengungkap realitas kebenaran apa adanya. Kisah di balik kematian Udin sampai kini belum sepenuhnya terungkap.

Kompas, 9 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger