Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 25 Juni 2020

INDUSTRI DIGITAL: Cara Publik Menghukum Platform Media Sosial (ANDREAS MARYOTO)


Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Beberapa perusahaan global, baik secara terbuka maupun diam-diam, menghentikan pemasangan iklan digital di Facebook setelah platform media sosial ini beberapa waktu lalu tidak mau menandai atau mencabut unggahan Presiden AS Donald Trump yang dinilai berisi ujaran kebencian di tengah kecaman terhadap rasisme yang menimpa warga kulit hitam. Publik tidak diam. Mereka bergerak dengan membuat kampanye dan mengorkestrasi tagar #StopHateForProfit.

Sejak beberapa hari lalu, satu persatu persatu perusahaan mengumumkan boikot dengan cara menghentikan pemasangan iklan di Facebook untuk sementara. Sejumlah perusahaan yang secara terbuka menyatakan boikot adalah Eddie Bauer, distributor film Magnolia Pictures, es krim Ben and Jerry's. Sebelumnya perusahaan yang telah mengumumkan boikot adalah perusahaan peralatan outdoor North Face, Patagonia, REI, serta beberapa perusahaan lainnya.

Sejumlah agensi iklan juga menyatakan mendukung langkah boikot dari sejumlah perusahaan. Beberapa perusahaan lainnya tidak mau secara terbuka mengumumkan langkah boikot namun salah satu agensi mengatakan, puluhan klien mereka telah menyatakan mendukung aksi itu sampai ada perbaikan dari pihak Facebook.

Kampanye boikot beriklan di Facebook dimulai pekan lalu oleh sejumlah organisasi sipil Amerika Serikat. Mereka melakukan aksi itu setelah menyadari aksi mereka selama ini melalui jaringan sosial terlalu lemah untuk menghentikan ujaran kebencian di platform itu. Kampanye itu dilakukan sebagai kelanjutan protes terhadap kematian warga kulit hitam George Floyd di tangan petugas kepolisian kulit putih Minneapolis.

Secara khusus publik kecewa dengan Facebook karena mereka tidak segera mencopot atau menandai unggahan Presiden Trump yang dinilai memecah belah. Mereka menginginkan agar media sosial ini berlaku seperti Twitter yang memberi tanda unggahan Presiden Trump yang dinilai bisa menyesatkan atau memuja kekerasan.

Di luar masalah di atas, Facebook memang mencopot iklan politik Trump yang menggunakan simbol yang pernah digunakan Nazi. Mereka juga akan memperkenankan para pengguna untuk menyingkirkan iklan-iklan politik dari akun para pengguna. Meski demikian, publik tetap saja kecewa dan meminta Facebook agar melakukan langkah yang lebih tegas untuk menghentikan unggahan yang bernada kebencian dan rasisme.

Beberapa perusahaan mulai bereksperiman untuk mengurangi porsi iklan di Facebook dan mengalihkan ke perusahaan programatik iklan lainnya seperti Amazon, TikTok, dan Snap. Perusahaan yang bereksperimen itu mengatakan, mereka melakukan langkah itu agar tidak ingin terjerumus ke dalam citra buruk perusahaan ketika ada polemik. Oleh karena itu mereka ingin melindungi merek-merek mereka. Kalau toh akan kembali beriklan di Facebook, mereka harus mempunyai justifikasi yang kuat. Alasan ini yang sampai sekarang belum ditemukan.


Sejumlah agensi juga melakukan kampanye agar klien-klien mereka mendukung tindakan menentang unggahan bernada kebencian. Perusahaan pemasang iklan diharapkan tidak mentoleransi konten-konten yang memecah belah.

Sejauh ini belum diketahui dampak aksi-aksi publik itu ke Facebook yang menargetkan penghasilan iklan mereka tahun ini naik 5 persen. Beberapa eksekutif Facebook telah menjelaskan dan membuat langkah mitigasi terhadap aksi sejumlah perusahaan itu.

AP/RICHARD DREW, FILE

Logo Facebook terpampang di Nasdaq Market Site, Times Square, New York, 29 Maret 2018. Sejumlah perusahaan memboikot pemasangan iklan di Facebook terkait kebijakan perusahaan media sosial ini terhadap unggahan yang dinilai mengandung ujaran kebencian.

Keluhan terhadap platform media sosial sebenarnya sudah lama muncul ketika muncul konten bermasalah atau bahkan konten yang memicu konflik sosial di beberapa negara. Kita masih ingat kerusuhan rasial di Srilanka yang berawal dari unggahan berisi berita bohong dan ujaran kebencian seorang tokoh hingga muncul kerusuhan.

Hingga beberapa saat tidak ada langkah menurunkan konten itu meski sudah terjadi kerusuhan. Pemerintah Srilanka saat itu hanya mengatakan akan memanggil Facebook untuk dimintai keterangan namun langkah lanjutannya tak diketahui secara persis.

Di negara lain unggahan kebencian juga telah memecah belah masyarakat hingga luka-luka kebencian tidak sembuh meski kejadian itu sudah lama berlangsung. Beberapa tokoh juga pernah menggugat platform media sosial karena menjadi tempat untuk menaruh kebencian dan berita bohong yang dilakukan oleh pesaing bisnis ataupun lawan politik mereka. Tidak diketahui secara persis hasil dari gugatan-gugatan yang pernah dilayangkan.

Kampanye seperti #StopHateForProfit mungkin menjadi cara yang lebih efektif yang dilakukan publik untuk menekan perusahaan media sosial agar menandai atau mencabut unggahan yang memicu masalah. Publik mungkin frustrasi karena laporan-laporan selama ini tidak mendapatkan tindakan yang cepat. Publik merasa berhak mendapatkan ketenangan dan kenyamanan dalam menggunakan media sosial.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Mural bertema anti hoaks menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). Hoax atau hoaks atau penyebaran informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media terutama media sosial dan grup percakapan kian mengkhawatirkan.

Perusahaan platform media sosial sudah pasti telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah unggahan bermasalah. Mereka menekan unggahan bermasalah dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Penggunaan teknologi ini di satu sisi baik karena menjadi efisien dalam menangani unggahan bermasalah namun juga memiliki kelemahan. Ada unggahan tertentu yang karena bias nilai suatu suku atau bangsa akan terlewat.

Kasus Facebook menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar berhati-hati ketika berada di media sosial. Pengguna, pemasang iklan, dan bahkan pemilik platform bisa terjeblos ke dalam masalah yang pelik.

Publik yang selama ini terlena dengan kemunculan media sosial mulai menggugat keberadaan media sosial terkait dari mulai isi konten, problem kecanduan bermedia sosial, penyalahgunaan media sosial, hingga ketiadaan pengaturan yang jelas yang kadang membuat konsumen berada di pihak yang lemah.

Kompas, 25 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger