Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 08 Juni 2020

RESENSI BUKU: Menjaga Jurnalisme di Era Disrupsi (FRANSISCA RIA SUSANTI)


Judul buku      : Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi

Penulis             : Sindhunata

Penerbit           : Gramedia

Tahun Terbit    : Oktober, 2019

Tebal                  : 380 halaman

ISBN                   : 9786020634654

Kabar duka datang dari Bandung pertengahan Maret 2020. Bukan tentang virus korona. Tetapi tentangPikiran Rakyat, harian berusia 54 tahun, yang menutup edisi Minggu-nya. Ini bukan duka baru. HarianSinar Harapan tutup pada Desember 2015. Bulan dan tahun yang sama, harian Jakarta Globe berhenti produksi. Dua bulan sebelum itu, harian Bola juga menyatakan selamat tinggal kepada publik pembacanya. Setelahnya, sejumlah media cetak bertumbangan. Disrupsi internet benar-benar mengacaukan platform media cetak.

Fakta ini seolah mengaminkan prediksi Philip Meyer dalam The Vanishing Newspaper (2004) bahwa di tahun 2044 hanya akan ada satu surat kabar cetak di dunia.

Teknologi internet telah mengubah pola perilaku baca publik sehingga media cetak terengah-engah mempertahankan loyalitas pembaca. Akankah media cetak bisa bertahan? Atau pertanyaan lebih jauh justru: akankah jurnalisme punya napas panjang?

Buku Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi yang ditulis Sindhunata berangkat dari keprihatinan ini. Sebagai orang yang  "dibesarkan" dan tumbuh bersama Kompas di era 1970-90an, Sindhunata punya sentimentalitas senada dengan Bre Redana. Bre, dalam tulisannya berjudul "Inikah Senjakala Kami…", yang terbit 28 Desember 2015, tiga hari sebelum Sinar Harapan  tutup, menyatakan dengan muram, kalau tidak bisa disebut sinis,  tentang ketergesaan dan kedangkalan jurnalisme yang menjadi "watak" media online.

Di buku ini, Sindhunata mengemukakan hal senada dengan Bre, bahwa jurnalis hari ini kurang menggunakan "kaki"-nya, padahal "wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak" (hlm 4).

Pengabaian terhadap "pekerjaan kaki" ini sebenarnya yang membuat jurnalis lambat laun kehilangan karakter humanisnya, sesuatu yang di harianKompas—menurut Sindhunata—adalah hal yang "wajib" dimiliki.‎

Mayoritas pemberitaan tentang pandemi korona yang muncul di media baru-baru ini memperlihatkan bagaimana jurnalis kehilangan elan humanismenya. Hal ini tampak dari kecerobohan jurnalis terkait fakta dan penggunaan kalimat yang cenderung menghakimi. Berita yang muncul melulu mengejar kecepatan, tetapi mengabaikan kedalaman dan konteks.

Kompas, menurut Sindhunata, didirikan dengan visi humanis. Dalam tulisan "Menatap Masa Depan Humanisme di Indonesia Bersama Kompas" (hlm 22-49), Sindhunata tidak bisa menyembunyikan kekagumannya kepada Jakob Oetama sebagai salah satu pendiri Kompas. Menurut Sindhunata, Jakob sangat peduli dengan humanisme. Ada empat hal yang memicu kepedulian ini. Pertama, pengalaman dan pendidikan Jakob di masa muda yang kental dengan tradisi humaniora. Salah satu wujud dari tradisi ini adalah ketekunan untuk membaca sastra klasik yang sarat dengan kisah moralitas kemanusiaan.

Kedua, obsesi Jakob tentang pencerahan. Ini erat kaitannya dengan warisan Renaissance tentang pencerahan akal budi. Dan, media punya tugas untuk memberikan pencerahan akal budi kepada masyarakatnya, bukan malah mendorong kembali masyarakat pada era "gelap" rasionalitas. Era ketika agama hanya berurusan dengan yang di "langit", dan mengabaikan segala hal yang di "bumi".

Ketiga, penghargaan Jakob terhadap sejarah. Bagi Sindhunata, jurnalis yang mau membaca dan memiliki pemahaman sejarah tidak akan gampang menghakimi. Keempat, cita-cita Jakob agar jurnalis Kompas tak kering akan kekayaan hati dan emosi manusia yang mereka hadapi dengan menjadi suara bagi mereka yang tidak punya suara. Moto "Amanat Hati Nurani Rakyat" yang diusung Kompasmenjadi cermin hal tersebut.

Kekuatan konten  

Jurnalisme yang humanis, menurut Sindhunata, selain ditunjukkan dengan kepekaan yang intens terhadap penderitaan manusia, rasionalitas akal budi, dan penghargaan terhadap sejarah, juga disusun dari  kalimat yang bertenaga.

"Kaum humanis berpendapat, bila manusia dapat menguasai dan menciptakan bahasa yang khas dan hidup bagi dirinya maka ia dapat pula memperoleh kesadaran mengenai dirinya" (hlm 28).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama (kedua dari kiri) didampingi Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo (kiri), CEO Gramedia Pustaka Utama Priyo Utomo (ketiga dari kiri), serta jurnalis senior Sindhunata (kanan) melihat karya seni yang dipamerkan di Taman Yakopan di kompleks Omah Petroek Karang Klethak, Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (30/9/2019). Selain untuk mengabadikan jasa Jakob Oetama, taman tersebut juga diresmikan pada hari itu sebagai penanda untuk mengingatkan bahwa Harian Kompas ingin tetap dan kuat di tengah segala tantangan di era digital.

Sindhunata bisa jadi berlebihan, tetapi bisa juga tidak. Tulisan-tulisan feature—terutama feature human interest—yang dipublikasikan di Kompas,termasuk tulisan Sindhunata, adalah salah satu tulisan yang ditunggu pembaca. Tulisan-tulisan tersebut menggunakan kalimat yang memunculkan daya gugah. Bahkan, tulisan Sindhunata tentang bola selalu dirindukan oleh pembaca yang justru sama sekali bukan penikmat sepak bola.

Kalimat-kalimat yang digunakan memiliki daya hidup yang membuat pembacanya bukan sekadar "tahu informasi", tetapi memperoleh kesadaran tentang diri. Sebanyak  141 halaman dari buku ini (hlm 232-373) berisi tulisan yang pernah dibuat Sindhunata untuk harian Kompas.

Maka tak heran, saat harian Kompasberganti format, Sindhunata merasa "kaget" dan "kehilangan". Ia khawatirKompas akan kehilangan elan humanismenya jika perubahan dilakukan hanya sekadar demi perubahan itu sendiri. Namun, ia buru-buru menekankan bahwa ia tidak "antiformat" ataupun "anti-perubahan".

"Saya menerima seratus persen perubahan dan format baru" (hlm 158). Ia hanya ingin mengingatkan bahwa format baru tersebut, yang membuat artikel-artikel panjang menjadi lebih pendek, seharusnya tidak menjadikan isi Kompas menjadi lebih dangkal, tetapi justru lebih padat. Ini artinya, jurnalis harus makin cerdas dalam menyusun kalimat bermakna. "Yang membuat Kompas credibledapat dipercaya bukanlah formatnya tapi isinya. Format yang sekarang dipilih kiranya jangan sampai memperdangkal isi tapi justru meningkatkan dan memperdalam isi" (hlm 157)

Sayangnya, artikel yang dihimpun dalam buku ini tidak disertai dengan penjelasan tentang kapan artikel itu ditulis sehingga pembaca agak kesulitan memahami konteksnya. Misal, perubahan format yang membuat Sindhunata merasa kaget dan kehilangan tersebut terjadi saat perubahan format tahun 2005 atau saat redesain tahun 2018.

Sindhunata bisa jadi berlebihan, tetapi bisa juga tidak. Tulisan-tulisan feature—terutama feature human interest—yang dipublikasikan di Kompas, termasuk tulisan Sindhunata, adalah salah satu tulisan yang ditunggu pembaca.

Hal lain yang membuat penasaran adalah Sindhunata belum cukup menuliskan kekhawatiran khalayak hari ini, yakni kematian jurnalisme. Atau jangan-jangan Sindhunata sebenarnya sudah menyampaikan hal ini saat mengkritisi hilangnya humanisme dalam jurnalisme dan praktik bisnis media.

Saat Sindhunata menuliskan: "Humanisme atau kemanusiaan adalah jiwa harian Kompas" (hlm 136), agaknya itu semacam rapal doa, ketika sejumlah riset dan konferensi yang membahas ketahanan media di era disrupsi internet menunjukkan bahwa model bisnis media akan mendikte jurnalisme macam apa yang mereka hasilkan.

Kita hanya bisa berharap para pemilik dan pekerja media hari-hari ini memahami bahwa humanisme dalam bisnis media adalah kunci untuk melanggengkan praktik jurnalisme bermutu. Sebuah upaya untuk tidak membunuh jurnalisme yang baik.

(Fransisca Ria Susanti; Jurnalis Sinar Harapan (2001-2015), Wakil Direktur Program Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara)

Kompas, 6 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger