Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Juli 2020

Batu Penanda Makam Sunda Wiwitan yang Disegel (WINDORO ADI)


DOKUMENTASI PRIBADI

Windoro Adi, wartawan Kompas 1991-2019

Kalian bebas memilih agama dan jalan hidup spiritualmu masing-masing. Namun, jangan mengabaikan budaya dan adat istiadatmu sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Nusantara. Janganlah merusak tanah kelahiranmu dengan perseteruan dan ketamakan. Hendaknya agama dan jalan spiritual yang kamu pilih menjadi taman seribu bunga di Tanah Parahyangan di Bumi Nusantara.

Tulisan yang ditoreh pada batu besar itu disalin dari catatan Pangeran Sadewa (Madrais) Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832), putra Pangeran Alibassa I, dari Kepangeranan Gebang. Begitulah mimpi Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau Sunda Wiwitan, tentang batu besar di atas bakal makam dia dan istri tercintanya, Ratu Emelia Wigarningsih. Djatikusumah adalah cucu Kiai (panggilan kehormatan untuk seorang pemuka atau sesepuh) Madrais.

Saat Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan program Preanger Stelsel, Kiai (sebutan untuk sesepuh) Madrais dan para pengikutnya melawan. Preanger Stelsel adalah tanam paksa kopi di Priangan tahun 1720.‎

Ia mendirikan pasambangan (padepokan) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Selain sebagai tempat menimba ilmu hakikat dan spiritualisme, tempat ini menjadi pusat perlawanan para pengikutnya melawan pemerintahan kolonial. Ia dan kelompoknya mematahkan jurus adu domba penjajah lewat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dengan menyampaikan seruan, seperti tertulis pada batu prasasti tadi.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau dikenal juga sebagai masyarakat Sunda Wiwitan, beserta salah satu putrinya, Dewi Kanti Setianingsih, di ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, September 2017.

Untuk mencari titik temu semua agama dan aliran kepercayaan, ungkap Pangeran Djatikusumah, cucu Kiai Madrais, kakeknya dan para pengikut mendalami ilmu berbagai agama dan kepercayaan lokal yang terserak di tanah Jawa. Bermodal wawasan perbandingan agama dan kepercayaan itu, ia dan kelompoknya melakukan penyadaran sosial dan laku spiritual yang mencerahkan lingkungan petani dan para pemuka wilayah.

Tahun 1840, mereka berkeliling Jawa Barat. Ke Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, hingga ke Cilacap menyalakan "api perlawanan" terhadap politik adu domba penjajah. Kiai Madrais, para pengikut, dan orang-orang Tionghoa yang bersimpati juga menyerukan petani agar hidup mandiri dengan menanam bermacam kebutuhan pokok serta apotek hidup untuk bahan ramuan pengobatan Tionghoa. Mereka juga memberi keterampilan merajut pakaian dari bahan tanaman.

"Pada masa ini, wilayah Kepangeranan Gebang mencapai puncak kemakmuran, kerukunan, dan semangat kegotongroyongan. Mereka diikat oleh semangat melawan musuh bersama, penjajah," tutur Djatikusumah, mengutip cerita ayahnya, Pangeran Tedja Buwana.

Pasambangan Kiai Madrais di Cigugur (kini Paseban Tri Panca Tunggal) lantas ramai didatangi kalangan elite keraton dari Cirebon, Yogjakarta, dan Jawa Tengah. Maklum, Kiai Madrais dan para pendahulunya masih bertalian saudara dengan elite keraton tersebut. Mereka bergabung melawan. Sebagian di antaranya memilih melawan secara sembunyi-sembunyi.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Anggota DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, meninjau pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Pembangunan makam terhenti setelah disegel Satpol PP Kabupaten Kuningan karena didiga belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) terkait tugu.

Tahun 1869, pecah pemberontakan petani di Tambun, Bekasi. Pemberontakan ini dipicu perampasan tanah petani oleh para tuan tanah kaki tangan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memastikan, ini ulah Kiai Madrais dan para pengikutnya.

Merasa terancam, pemerintah Hindia Belanda lantas membungkam ajaran Madraisme dan memberi label ajaran tersebut sebagai Agama Jawa Sunda. Sinkretisme sesat. Padahal, Madraisme tak lain cuma gerakan penyadaran sosial, budaya, dan laku spiritual saja. Kiai Madrais lalu dibuang ke Boven Digul, Papua, tahun 1901.

Meski demikian, semangat perlawanan di lingkungan petani di sebagian wilayah Jawa Barat telah telanjur menyala. Hidup damai berdampingan antaragama dan kepercayaan di antara para petani dan sebagian kalangan elite telanjur kuat mengakar.

Ketika kembali dari pembuangan, Kiai Madrais lebih banyak memusatkan perhatian pada unit-unit ekonomi petani. Salah satu di antaranya adalah menggerakkan penanaman massal tanaman bawang. Di kebun kebun bawang petani inilah Kiai Madrais dan para pengikutnya melanjutkan perlawanan.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020).

Setelah mangkat tahun 1939, perjuangan Kiai Madrais dilanjutkan putranya, Tedja Buwana. Tahun 1949-1962, muncul pemberontakan DI TII (Darul Islam Tentara Islam Indonesia). Kelompok ini membakar sebagian bangunan Paseban. Madraisme dianggap oleh DI TII sebagai penghalang cita-cita Pan Islamisme.

Namun, pupusnya DI TII tak meredakan penindasan terhadap kebebasan memilih laku hidup spiritual masyarakat Sunda Wiwitan ini. Mereka dipaksa memilih masuk agama yang diakui negara. Sebagian akhirnya memilih memeluk agama Katolik dan Protestan. Beberapa di antaranya memilih memeluk Islam, sementara sebagian lagi memilih mengikuti jejak Djatikusumah.

Meski demikian, di antara mereka tak ada pertengkaran karena perbedaan iman. Bahkan, mereka bisa hidup berkeluarga dengan rukun meski berbeda agama dan kepercayaan hingga sekarang.

Terjaga dari mimpi

Saat terjaga dari mimpinya, Djatikusumah mendapati, yang ada hanya bongkahan batu besar di atas bakal makam dia dan istrinya. Tak ada torehan pesan sang kakek pada batu, seperti dalam mimpinya. Padahal, ia berharap batu bertulis pesan persatuan, persaudaraan, dan keberagaman dari Kiai Madrais yang sudah diperjuangkan dalam tiga generasi itu bakal menjadi batu pengingat.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Anggota DPR Komisi VIII Maman, Imanul Haq, bersama anggota DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, mengunjungi Pangeran Djatikusumah (berpakaian putih), sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Paseban, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020).

Saat terbangun dari tidurnya, ia justru mendapat kabar, batu penanda yang diletakkan di atas bakal makam dia dan istrinya disegel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kuningan, Jawa Barat, Senin (20/7/2020).

Batu dan makam itu dituding oleh segelintir kelompok massa, yang diamplifikasi oleh dua media massa lokal, bakal dijadikan tempat pemujaan berhala. Namun, karena tudingan itu tidak terbukti dan media massa nasional mulai memberitakan ketidakberesan kasus ini, tudingan itu kemudian berubah menyoal IMB (izin membangun bangunan) makam.

Tudingan itu pun sebenarnya mentah. Putra-putri sang pangeran ternyata sudah berusaha mengurus IMB makam, tetapi ditolak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP).

'Untuk IMB pendirian pusara/makam, kami tidak punya kewenangan karena belum ada regulasinya," tulis Kepala Dinas PMPTSP Agus Sadeli kepada putra Djatikusumah, Pangeran Gumirat Barna Alam, 14 Juli 2020.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Pembangunan makam terhenti setelah disegel Satpol PP Kabupaten Kuningan karena didiga belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) terkait tugu. Sementara masyarakat Akur Sunda Wiwitan menilai, bangunan itu merupakan makam. Adapun regulasi belum mengatur IMB makam.

Meski belum memiliki regulasi, Bupati Kuningan Acep Purnama, seperti ditulis sejumlah media massa, bersikeras, makam harus disegel karena tidak memiliki IMB. Satuan Polisi Pamong Praja kemudian menyegel dua obyek, yaitu batu besar di atas bakal makam dan bakal makam Djatikusumah serta iserinya.

Ratusan massa dengan kendaraan bermotor yang sebagian datang dari luar Kuningan mengawal proses penyegelan. Warga Cigugur, Kuningan, hanya bisa terdiam menyaksikan hiruk-pikuk massa dan Satpol PP.

(Windoro Adi, wartawan Kompas1991-2019)

Kompas, 28 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger