Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 Juli 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Popularitas Erdogan di Tengah Kekosongan Kepemimpinan Arab MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kini memiliki popularitas yang cukup tinggi di dunia Arab maupun Islam. Bahkan, banyak elemen masyarakat di dunia Arab maupun Islam, terutama dari Islam konservatif, menganggap Erdogan sebagai pemimpin mereka.

Kota Istanbul pun kini serta-merta menjadi basis sekaligus tempat pelarian kaum oposisi dari negara-negara Arab. Kubu oposisi dari Suriah, Irak, Mesir, Sudan, dan Aljazair kini memilih kota Istanbul sebagai basis mereka.

Di Turki sendiri, Erdogan kini tidak hanya populer di kalangan Islam konservatif, tetapi juga di lingkungan kaum sekuler konservatif atau sekuler kanan. Hal itu dibuktikan dengan bergabungnya Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang beraliran ultra-nasionalis ke dalam koalisi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan sejak pemilu parlemen dan presiden Juni 2018.

Duet AKP-MHP di pentas politik Turki saat ini disebut sebagai duet kaum Islam konservatif dan sekuler konservatif.

Kebijakan Erdogan mendukung keputusan pengadilan Turki mengubah status museum Hagia Sophia menjadi masjid pada 10 Juli lalu semakin menaikkan popularitas Erdogan di mata kaum Islam konservatif di dunia Arab, bahkan di seluruh dunia.

TURKISH PRESIDENTIAL PRESS OFFICE/HANDOUT VIA REUTERS

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dengan gambar Hagia Sophia di latar belakang, memberikan pidato kenegaraan di Ankara, Turki, 10 Juli 2020.

Pujian dan dukungan tak henti-henti mengalir kepada Erdogan dari jaringan kaum Islam konservatif di seluruh dunia atas tindakannya mendukung keputusan mengubah Hagia Sophia dari museum ke masjid.

Andil terbesar atas tingginya popularitas Erdogan itu bukan lantaran keberhasilan Turki menjadi salah satu negara di dunia Islam yang paling makmur dan maju secara ekonomi dan teknologi, tetapi akibat kekosongan kepemimpinan Arab saat ini.

Erdogan-lah yang kini mengisi kekosongan kepemimpinan Arab yang terjadi khususnya setelah gerakan musim semi Arab tahun 2011. Musim semi Arab itu telah berhasil menumbangkan pemimpin Arab legendaris dan karismatik, seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak dan pemimpin Libya, Moammar Khadafy.

Hampir satu dekade, yakni sejak tahun 2011, dunia Arab tidak memiliki pemimpin karismatik yang disegani dan mewakili aspirasi sebagian besar bangsa Arab. Dalam sejarah modern Arab, bangsa Arab tercatat selalu memiliki pemimpin karismatik panutan atau minimal disegani sebagian besar dunia Arab.

Pada dekade 1950-an dan 1960-an, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dikenal sebagai pemimpin Arab dan menjadi panutan negara-negara Arab. Mesir pun saat itu menjadi basis gerakan tokoh-tokoh Arab yang sedang berjuang membebaskan negeri mereka dari penjajahan Barat.

AP PHOTO

Dalam foto bertanggal 18 Juni 1956 ini, pemimpin Mesir, Gamal Abdel Nasser, melambaikan tangan kepada massa pendukungnya saat menuju Port Said untuk menaikkan bendera Mesir di Navy House sebagai tanda pengambilalihan penjagaan zona Terusan Suez setelah 73 tahun pendudukan Inggris.

Pemimpin Tunisia sekaligus presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba, memilih berdomisili di kota Kairo pada 1950-an dan menjadi titik tolak perjuangannya untuk membebaskan Tunisia dari penjajahan Perancis yang berhasil diraihnya pada tahun 1956.

Pemimpin Aljazair, Ahmed Ben Bella, dan kawan-kawan juga memilih Kairo sebagai basis perjuangan melawan kolonial Perancis yang berhasil mendeklarasikan kemerdekaan Aljazair pada 1962.

Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, yang jebolan Fakultas Teknik Universitas Kairo merintis perjuangan pembebasan Palestina dari kota Kairo pada 1950-an. Presiden Irak Saddam Hussein pun merintis perjuangan meraih kekuasaan di Irak dari kota Kairo ketika menjadi mahasiswa Universitas Kairo pada 1960-an.

Peran Mesir sebagai pemimpin Arab kemudian redup menyusul kekalahan bangsa Arab yang dipimpin Mesir dalam perang Arab-Israel tahun 1967 dan disusul wafatnya Presiden Gamal Abdel Nasser pada 1970.

Arab Saudi lalu mengambil alih kepemimpinan di dunia Arab, khususnya setelah perang Arab-Israel tahun 1973 yang melonjakkan harga minyak dunia. Saat itu dunia Arab yang dipimpin Arab Saudi melancarkan aksi embargo minyak atas negara-negara pendukung Israel, khususnya Amerika Serikat, saat perang Arab-Israel tahun 1973.

REUTERS/MAXIM SHEMETOV

Fasilitas kilang minyak Arab Saudi di Abqaiq, 12 Oktober 2019.

Akibat embargo itu, harga minyak naik fantastis hingga 400 persen dari hanya 3 dollar AS per barel sebelum perang Arab-Israel menjadi 12 dollar AS per barel pascaperang tahun 1973 itu.

Arab Saudi sebagai negara produsen minyak terbesar langsung kelimpahan rezeki nomplok dari naiknya harga minyak secara fantastis tersebut dan mengantarkan mereka memiliki legitimasi memimpin dunia Arab menggantikan Mesir pada 1970-an dan 1980-an.

Apalagi Mesir di bawah kepemimpinan Presiden Anwar Sadat pada 1970-an memilih berdamai dengan Israel melalui perjanjian damai Camp David tahun 1979. Hal itu membuat Mesir dikucilkan di dunia Arab dan bahkan markas besar Liga Arab dipindah dari Kairo ke Tunisia.

Pada waktu yang sama, Raja Arab Saudi saat itu, Faisal bin Abdulaziz, cukup populer karena memimpin aksi embargo minyak Arab yang sukses atas negara-negara Barat pendukung Israel pada perang Arab-Israel tahun 1973. Popularitas Raja Faisal bin Abdulaziz saat itu praktis menyamai popularitas Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser pada masa jayanya pada 1950-an dan 1960-an.

Namun, sayang, Raja Faisal tewas ditembak pada 25 Maret 1975. Disinyalir, CIA (dinas intelijen luar negeri AS) dan Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel) ikut berperan dalam aksi penembakan Raja Faisal itu sebagai balas dendam atas Raja Faisal yang memimpin embargo minyak terhadap AS dan negara-negara Barat lainnya pada 1973.

KEYSTONE/HULTON ARCHIVE/GETTY IMAGES

Presiden Amerika Serikat Richard Nixon (1913-1994, kanan) bersama Raja Faisal dari Arab Saudi  (1906-1975) di Gedung Putih, Washington, DC, 2 Juni 1971.

Raja Faisal lalu digantikan oleh Raja Khaled bin Abdulaziz (1975-1982) dan Raja Khaled digantikan oleh Raja Fahd bin Abdulaziz (1982-2005). Raja Fahd ketika memimpin Arab Saudi berhasil menunjukkan kapasitasnya yang mumpuni sebagai Raja Arab Saudi dan sekaligus sebagai pemimpin dunia Arab.

Raja Fahd membuktikan sebagai pemimpin Arab saat itu ketika ia berani dalam forum KTT Liga Arab tahun 1982 di kota Fez, Maroko, menyampaikan kesediaannya mengakui negara Israel jika Israel bersedia menerima negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.

Raja Fahd pun menjadi pemimpin Arab pertama dari negara Arab konservatif di kawasan Arab Teluk yang menyatakan siap mengakui negara Israel.

Presiden Irak Saddam Hussein sempat berambisi pula ingin memimpin dunia Arab dengan cara mengobarkan perang Iran-Irak tahun 1980-1988 dan kemudian menyerang Kuwait tahun 1990. Namun, Saddam melakukan salah kalkulasi yang fatal dengan menyerang Iran dan Kuwait. Akibat invasi Irak ke Iran dan Kuwait itu, bukannya meraih kepemimpinan dunia Arab, tetapi justru membuat Saddam tumbang.

Sebaliknya invasi Irak ke Kuwait itu semakin memperkokoh popularitas Raja Fahd karena perannya mengusir pasukan Irak dari Kuwait yang didukung dunia Arab dan masyarakat internasional. Berkat Raja Fahd, kepemimpinan Arab Saudi di dunia Arab terus kuat pada era 1990-an dan 2000-an.

AFP/RABIH MOGHRABI

Sultan Qaboos dari Oman (kiri) berbincang dengan Raja Fahd bin Abdulaziz dari Arab Saudi saat berkunjung ke Riyadh, Arab Saudi, 27 November 1999.

Pada era 1990-an, Mesir di bawah Presiden Hosni Mubarak juga kembali mengambil peran besar di dunia Arab, khususnya setelah markas besar Liga Arab dipindah lagi dari Tunisia ke Kairo. Peran Presiden Suriah Hafez al-Assad ikut kuat pula pada 1990-an setelah ikut berperan mengusir Irak dari Kuwait pada Perang Teluk tahun 1991.

Maka, pada era 1990-an dikenal ada trio pemimpin kuat di dunia Arab, yaitu Raja Fahd, Presiden Hosni Mubarak, dan Presiden Hafez al-Assad. Wafatnya Presiden Hafez al-Assad tahun 2000, wafatnya Raja Fahd tahun 2005, dan tumbangnya Presiden Hosni Mubarak tahun 2011 meninggalkan kekosongan kepemimpinan di dunia Arab sampai saat ini.

Pasca-musim semi Arab tahun 2011, antara pemimpin Arab satu dan lain justru berperang. Pamor Arab Saudi jatuh setelah gagal mengalahkan kelompok Al-Houthi di Yaman serta kalah bersaing dengan Iran di Lebanon, Suriah, dan Irak.

Mesir masih butuh reformasi ekonomi hingga bisa menjadi negara Arab kuat secara ekonomi dan lalu kembali berperan di dunia Arab. Apalagi Suriah yang secara de facto telah bubar sebagai negara akibat tercabik-cabik perang saudara.

AP PHOTO/BURHAN OZBILICI

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

Sebenarnya negara-negara Arab Teluk secara kolektif (Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab) kini bisa memimpin dunia Arab karena kemampuan finansial, stabilitas politik, dan teknologi yang mereka miliki. Namun, pecahnya negara Arab Teluk akibat aksi blokade terhadap Qatar tahun 2017 melemahkan bangunan negara-negara Arab Teluk itu.

Di tengah kekosongan kepemimpinan dunia Arab tersebut, Erdogan kini bergegas mengisinya. Jangan heran jika Turki kini hadir cukup kuat di Libya, Suriah, Palestina, Qatar, dan Jordania. Banyak pengamat menyebut gerakan Erdogan dan Turki di Timur Tengah saat ini sebagai Neo Ottomanism.

Sejarah berulang lagi. Setelah ambruknya dinasti Umawi (661-750 M) yang beribu kota di Damaskus dan dinasti Abbasid (750-1258 M) yang beribu kota di Baghdad, kepemimpinan berpindah ke dinasti Ottoman (1299-1922 M) yang beribu kota di Istanbul.

Kompas, 17  Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger