Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 Juli 2020

PANDEMI COVID-19: Reaksi Kekebalan Tubuh yang Mematikan (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Atika Walujani Moedjiono, wartawan Kompas

Kematian akibat Covid-19 ditengarai bukan karena jumlah virus, melainkan akibat respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan sehingga merusak organ.

Hal itu ditunjukkan oleh sebuah penelitian berbasis otopsi yang dilakukan tim peneliti Inggris, antara lain David A Dorward dan Christopher D Lucas dari University of Edinburgh serta sejumlah peneliti dari universitas lain. Hasil penelitian dalam bentukpreprint di medRxiv yang diunggah 4 Juli 2020 itu dinyatakan belum ditinjau dan dievaluasi oleh sejawat.

Sebagaimana diketahui, manifestasi Covid-19 berbeda dari satu orang ke orang lain. Ada yang tidak menunjukkan gejala apa pun, ada yang sakit ringan hingga yang sakit parah, dan meninggal dunia.

Dalam penelitian itu disebutkan, otopsi terinci terhadap 11 orang yang meninggal karena Covid-19 menunjukkan ketidaksesuaian antara tempat SARS-CoV-2 dalam tubuh dan tempat inflamasi (peradangan) serta kerusakan organ. Pemeriksaan pada 37 bagian tubuh, termasuk paru, mendapatkan korelasi rendah antara jumlah virus dan tempat peradangan. Sejumlah jaringan yang dipenuhi virus tidak meradang, di sisi lain ada organ tubuh yang rusak tidak mengandung virus dalam jumlah banyak.

Peradangan hebat yang menyebabkan kematian.

"Peradangan hebat yang menyebabkan kematian," demikian pernyataan peneliti.

Mereka menemukan ada respons kekebalan tubuh yang menyimpang pada kasus Covid-19 yang fatal, terutama yang melibatkan paru dan sistem retikuloendotelial (bagian dari sistem kekebalan tubuh). Respons kekebalan tubuh berupa peradangan itu umumnya terjadi bukan di organ atau jaringan yang banyak mengandung virus.

KIRSTY WIGGLESWORTH/POOL/AFP

Seorang peneliti, Francesca Nice, menyiapkan contoh darah dari pasien Covid-19 untuk dianalisis sebagai bagian dari uji TACTIC-R di salah satu laboratorium dari Institut Penyakit Infeksi dan Imunologi Terapeutik Cambridge, Inggris, pada 21 Mei 2020. TACTIC-R menguji apakah obat-obatan yang ada mampu mencegah agar sistem kekebalan tubuh tidak bereaksi berlebihan. Hal itu diharapkan dapat mencegah terjadinya kegagalan organ dan kematian pada pasien Covid-19.

Badai sitokin

Temuan tersebut sesuai dengan kajian Qing Ye, Bili Wang, dan Jianhua Mao dari Pusat Penelitian Klinis Nasional untuk Kesehatan Anak, Rumah Sakit Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Zhejiang, China, yang dimuat diJournal of Infection edisi daring, 10 April 2020.

Menurut Qing Ye dan kolega, sejumlah bukti menunjukkan, kondisi parah pada beberapa pasien Covid-19 terkait erat dengan pelepasan sitokin yang berlebihan.

Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam pensinyalan sel serta terlibat dalam respons kekebalan tubuh dan peradangan. Zat ini diproduksi oleh berbagai sel, termasuk sel kekebalan tubuh, seperti makrofag, limfosit B, limfosit T. Ketika produksi sitokin proinflamasi, baik di tingkat lokal maupun sistemik, tak terkontrol, terjadilah badai sitokin.

AFP/ERNESTO BENAVIDES

Seorang pasien Covid-19 dirawat di Unit Perawatan Intensif (ICU) Rumah Sakit Alberto Sabogal Sologuren di Lima, Peru, Selasa (2/7/2020).

Peradangan merupakan bagian penting dari respons kekebalan tubuh untuk menghadapi infeksi. Saat tubuh menyadari ada zat asing bisa menyebabkan penyakit (patogen), sistem kekebalan tubuh akan bereaksi dengan mengirim sel-sel kekebalan tubuh untuk memerangi patogen. Setelah patogen ditundukkan, berlangsung perbaikan jaringan dan pemulihan keseimbangan dalam tubuh.

Namun, SARS-CoV-2 memicu respons sitokin yang berlebihan dan berkepanjangan pada beberapa orang yang terinfeksi. Akibatnya, organ tempat terjadinya reaksi kekebalan tubuh justru menjadi rusak sehingga timbul kegagalan multiorgan. Jika berlangsung di paru, menyebabkan sindrom kesulitan pernapasan akut (ARDS) sehingga terjadi kematian.

Hal yang sama dikemukakan Francesca Coperchini dan kolega dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan Terapeutik, Universitas Pavia, Italia, pada kajian yang diterbitkan di Cytokine & Growth Factor Reviews edisi daring 11 Mei 2020. Peneliti menekankan perlunya mewaspadai respons kekebalan tubuh yang berlebihan berupa peradangan tak terkendali atau badai sitokin yang berpotensi mengancam jiwa pada kasus Covid-19.

Guru Besar Imunologi Universitas Tufts, Amerika Serikat, Alexander Poltorak, dalam the Conversation, 20 Mei 2020, juga menyatakan, penyebab kematian pasien Covid-19 bukan virus, melainkan respons kekebalan tubuh yang tak terkontrol.

NIAID-RML VIA AP

Gambar yang didapat dari mikroskop elektron yang disiarkan Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat, Februari 2020, menunjukkan bentuk SARS-CoV-2 atau virus korona baru penyebab Covid-19. Contoh diisolasi dari seorang pasien di AS.

Poltorak banyak meneliti tentang kekebalan tubuh bawaan, yakni bagaimana tubuh seseorang bereaksi terhadap patogen dan menginstruksikan sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi terhadap patogen. Reaksi kekebalan tubuh berupa peradangan penting untuk menghadang kuman pembawa penyakit.

Beberapa protein yang memicu peradangan, seperti kemokin, mendorong sel-sel kekebalan lain, seperti neutrofil yang merupakan pemakan mikroba, untuk menuju ke lokasi infeksi. Sitokin lain mengarahkan neutrofil dari pembuluh darah ke jaringan yang terinfeksi.

Sitokin dapat meningkatkan detak jantung, meningkatkan suhu tubuh, memicu pembekuan darah untuk menjebak patogen, dan merangsang neuron di otak untuk memodulasi suhu tubuh sehingga terjadi demam, penurunan berat badan dan respons fisiologis lain untuk membunuh patogen.

Jika produksi sitokin tidak terkontrol, pembuluh darah akan melebar, menyebabkan tekanan darah rendah dan cedera pembuluh darah yang meluas. Badai sitokin memicu banjir sel darah putih ke paru dan sel kekebalan lain sehingga paru terendam cairan dan terjadi kegagalan organ.

Pembekuan darah

Terkait pembekuan darah, sebuah penelitian yang dimuat di E-clinical Medicine dari the Lancet, 25 Juni 2020, menunjukkan bukti hubungan Covid-19 dengan pembekuan darah.

Menurut Amy V Rapkiewicz dari Rumah Sakit Winthrop, Universitas New York, dan Kepala Departemen Patologi, Fakultas Kedokteran Long Island, yang mengotopsi tujuh jenazah korban Covid-19, trombosis (pembekuan darah) merupakan kontributor penting bagi mekanisme patologis yang mendasari kegagalan multiorgan, hipoksia (kondisi kekurangan oksigen dalam sel dan jaringan tubuh) berat, dan kematian pada pasien dengan Covid-19.

Pembekuan darah di berbagai organ yang didapat pada otopsi. A pada pembuluh nadi paru, B pada ginjal, C pada jantung, dan D pada paru.

Sebagaimana diketahui, pembekuan darah bertujuan untuk menjebak patogen. Di sisi lain, bekuan darah bisa menghambat aliran darah ke organ tubuh tertentu sehingga berpotensi menyebabkan kondisi serius, seperti serangan jantung dan stroke.

Temuan Rapkiewicz dan kolega peneliti dari Fakultas Kedokteran Grossman Universitas New York serta Pusat Penelitian Kanker, Institut Kesehatan Nasional, AS, infark miokard (serangan jantung) yang terjadi pada pasien Covid-19 mungkin disebabkan oleh pembekuan darah pada vena (pembuluh balik) tanpa ada penyakit aterosklerosis (penyempitan pembuluh nadi akibat penumpukan plak pada dinding pembuluh darah) yang signifikan.

Disimpulkan, beredarnya banyak trombosit (keping darah) hasil produksi megakariosit (sel sumsum tulang berukuran besar) berperan penting dalam peningkatan risiko pembekuan darah terkait Covid-19.

Otopsi menunjukkan adanya gumpalan darah kaya trombosit dalam pembuluh darah di paru, hati, jantung, dan ginjal. Megakariosit tampak di pembuluh darah banyak organ, terutama sangat tinggi di paru dan jantung. Jumlahnya jauh lebih tinggi dari megakariosit pada pasien yang meninggal akibat ARDS yang tidak terkait dengan Covid-19.

Untuk mengatasi respons kekebalan tubuh yang berlebihan, Poltorak maupun Qing Ye dan kolega menyarankan perlunya kontrol tepat waktu pada tahap awal badai sitokin serta pengurangan peradangan pada sel paru. Hal itu bisa dilakukan dengan imunomodulator dan antagonis sitokin untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi tingkat kematian pasien Covid-19.

Kompas, 16 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger