Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 Agustus 2020

EPILOG: Laut Gunung Mempertemukan Keindahan (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Kau mungkin tak percaya jika setiap Senin pagi aku duduk di teras rumah untuk menyelesaikan hamparan kata-kata yang kini ada di hadapanmu ini. Teras adalah ruang kerja paling inspiratif, selain bisa bebas menghirup udara pagi yang segar, juga berinteraksi langsung dengan penghuni kompleks yang lalu lalang membeli sayur.

Tukang sayur kami, yang bernama Ipin, akan tepat nongkrong di depan rumahku. Biasanya para ibu dan asisten rumah tangga akan merasa lebih leluasa untuk mengobrol. Predikat majikan dan pembantu untuk sementara "terlupakan".

Pada saat-saat itulah aku ditemani alunan musik yang lembut dari kelompok Payung Teduh. Warna vokal Is (Mohammad Istiqamah Djamad) entah kenapa selalu pas dengan ritme suara ketikan di atas keyboard, yang kemudian melahirkan sejumlah esai dalam ePILOG yang tengah kau telusuri kata demi kata.

Kosmologi kaja dan kelod diterjemahkan ke dalam berbagai ajaran penting, yang hingga kini dianut manusia Bali.

Senin pagi ini, lantunan suara Is (sayang sekali dia mengundurkan diri dari Payung Teduh), sampai pada nyanyian "Cerita tentang Gunung dan Laut". Pada bagian akhir lariknya berbunyi begini: //...Aku tak pernah melihat gunung menangis/Biarpun matahari membakar tubuhnya/Aku tak pernah melihat laut tertawa/Biarpun kesejukan bersama tariannya…//.

Larik ini mengingatkanku pada sebuah buku yang ditulis Prof Dr I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer (2004) berjudul Kaja dan Kelod: Tarian Bali dalam Transisi.

Aku tak berani pastikan apakah Is dan kawan-kawannya di Payung Teduh pernah membaca buku ini, tetapi ia menggunakan diksi "gunung", "laut", dan "tarian" yang berkorelasi sangat penting dengan sebuah filosofi hidup orang Bali. Bahkan, ketiga kata tersebut telah dituangkan ke dalam satu kosmologi yang menjadi pedoman bagi seluruh aktivitas hidup masyarakat di pulau kecil itu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Danau Batur dan Gunung Batur di Bali, 2018. Dalam budaya Bali, gunung menjadi salah satu wilayah yang dianggap sakral.

Secara filosofis, gunung berartikaja dan laut adalah kelod, dua wilayah yang dianggap sakral dan suci. Gunung terlihat selalu damai, tetapi menyimpan magma yang sewaktu-waktu bisa meledak. Laut memperlihatkan riak ombak, tetapi memendam keteduhan yang dalam di lubuk-lubuknya. Keduanya, gunung dan laut, telah menjadi kiblat hidup, karena keduanya memberi kesejahteraan bagi hidup manusia.

Kosmologi kaja dan kelodditerjemahkan ke dalam berbagai ajaran penting, yang hingga kini dianut manusia Bali. Dalam arsitektur ruang,kaja adalah ruang di mana tempat suci seperti pura berada, sementarakelod menjadi lokasi hunian, terutama dapur. Kaja juga berarti hulu dankelod adalah teben (hilir).

Kaja tak bisa serta-merta diterjemahkan dengan utara, tetapi maknanya lebih sejajar dengan gunung. Sementara kelod, tidak sama dengan selatan, tetapi identik dengan laut. Oleh sebab itulah, bagi masyarakat Bali yang mendiami utara gunung, seperti Buleleng, kaja berarti gunung dan tidak sama dengan utara dan kelod adalah laut, tidak sama dengan selatan.‎

Dalam ajaran, laut dan gunung sering kali diterjemahkan sebagai segara-giri, dualitas nilai, yang menjadi ruang di mana manusia bertemu dengan kemahakuasaan Tuhan. Pertemuan segara-giri biasanya dianggap sebagai tempat yang sakral dan memancarkan energi kesucian. Oleh sebab itulah, muara sungai atau campuhan biasanya selalu terdapat tempat-tempat pemujaan untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.

Di campuhan, bahkan disebutkan energi-energi positif itu lahir sebagai tarian dewata untuk mensyukuri berkah semesta. Sebagai seorangpinandita (pemuka agama) yang mendalami sastra, mendiang Bapak pernah berkata, "Di mana pun itu, jika segara giri bertemu, di situ pulalah kesuburan menghampar luas," katanya.

Aku ingat sejarah perjalanan seorang pendeta bergelar Dang Hyang Nirartha dari Majapahit menuju Bali antara abad ke-11 Masehi. Dalam perjalanan meneguhkan kehinduan, beliau menyusuri pantai selatan Pulau Bali dan selalu membangun tempat-tempat suci di sepanjang garis pantai.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Suasana ritual upacara Melasti di Pantai Kuta, Badung, Bali, Minggu (22/3/2020).

Salah satu tempat suci yang dibangunnya bernama Pura Rambut Siwi, yang terletak di Kabupaten Jembrana. Di sekitar pura terdapat pantai, lalu menghampar ratusan hektar sawah yang berhulu di kaki gunung Puncak Mangu. Sebuah wilayah tersubur di kabupaten itu.

Kosmologi tentang segara giri sesungguhnya bisa dirunut sebagai pengejawantahan dari ajaran dalam Reg Veda, yang dalam beberapa sloka menyebut tentang keberadaan Sungai Gangga di India. Sungai ini mengalir lebih kurang sejauh 2.500 kilometer, yang berhulu dari es yang mencair di Pegunungan Himalaya di utara India.

Alirannya yang mengarah dari utara (kaja) menuju selatan (kelod) di Teluk Benggala, itu pulalah yang menyebabkan sungai ini dianggap sebagai sungai paling suci di negara itu. Bahkan, orang-orang India percaya bahwa Sungai Gangga adalah penjelmaan dari Dewi Gangga yang mengalirkan air suci kepada umat manusia.

Sangat bisa dimengerti mengapa pada saat ritual Kumbh Mela yang dilaksanakan setiap 12 tahun sekali, jutaan umat Hindu berziarah membasuh diri untuk menghanyutkan dosa-dosa menuju laut. Sungai Gangga juga menjadi pelepasan sarira (tubuh jasmani) dalam ritual kremasi jenazah. Abu jenazah diharapkan mengajak sang ruh yang telah disucikan menuju tangga surga.

Pada akhirnya segala yang hanyut lewat tubuh-tubuh sungai bermuara di laut. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, laut (kelod) adalah ruang ideal untuk meleburkan segala dosa yang telah membuat manusia menjadi cemar. Oleh sebab itulah, kau akan menemukan banyak pura berada di tepi laut atau puncak gunung.

Filosofi ini secara populer bisa diterjemahkan, apa pun yang sampai ke tubuh laut akan dilebur menjadi senyawa tunggal dengan rasa asin. Bisa dimengerti pula, dalam ritual nganyud sawa (melarung ruh) hampir selalu dilakukan di laut atau muara sungai. Tempat-tempat inilah yang dianggap memiliki getaran suci untuk mengantarkan pengembaraan ruh menyatu kembali kepada semesta, di mana dahulu dia berasal mula.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Umat Hindu menuju tempat upacara Melasti di Pantai Kuta, Bali, Sabtu (13/3/2010). Upacara Melasti merupakan sarana bersih diri umat Hindu dengan melarung segala keburukan ke laut.

Dalam satu tulisan Prof Dr I Komang Tantra menyebut konsepsi kaja-kelod berantonim dengan suci-profan, sedangkan kangin-kauh (timur-barat) bermakna interpersonal non transaksional. Dalam keguyuban sehari-hari di banjar-banjar, sering kali muncul istilah ngorta kangin kauh, artinya mirip dengan mengobrolngalor-ngidul.

Harap kau catat, obrolan itu tak melulu berarti tidak produktif, tetapi justru lewat ngorta kangin kauh warga sedang melakukan proses interaksi sosial, yang tak jarang berujung pada sebuah kesepakatan antarpara pihak. Saat interaksi sosial itulah warga sebenarnya sedang memupuk rasa persaudaraan sebagai sesama anak manusia.

Kau mungkin saja bertanya, apakah gunung selalu berarti suci? Barangkali suatu kali kau pernah mendengar frasa "orang gunung", sebuah frasa yang mengidentikkan orang dari gunung sebagai orang udik, "primitif", kurang terdidik, dan mungkin juga bodoh. Sementara lawannya adalah orang kota yang sering kali berkiblat pada laut.

Pasti kau akan ingat, mengapa industri pariwisata Bali (dan mungkin juga tempat lain) berkembang pesat di daerah-daerah tepi laut. Meski pariwisata Bali dimulai dari pegunungan Kintamani, misalnya, toh Sanur, Kuta, dan Nusa Dua yang kemudian lebih dikenal wisatawan.

Perkembangan itu telah menempatkan bandar udara dan jalan bypassmenjadi kiblat baru peradaban. Kalau kita mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, kemudian menyusuri Jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai, baik mengarah ke Sanur atau Nusa Dua, di kanan kiri dipenuhi berbagai bangunan perniagaan yang mencitrakan "keurbanan".

Kekotaan dan "keurbanan" itu lalu hampir selalu berasosiasi pada kemajuan. Maka, dengan sendirinya "kegunungan" akan berasosiasi pada keudikan atau "keprimitifan".

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Dua wisatawan asal India berwisata di luar zona bahaya 10 kilometer dari kawah Gunung Agung. Keduanya berpose dengan latar Gunung Batur di Kabupaten Bangli, Bali, Sabtu (16/12/2017) sore.

Dengan pertimbangan apa pun pemindahan ibu kota Bali dari Singaraja (utara) ke Denpasar (selatan) pada tahun 1958-1960, dengan alasan apa pun telah menguatkan pandangan bahwa peradaban benar-benar telah dikendalikan oleh bandara dan jalanbypass. Dengan demikian, pelan-pelan kau sedang menggali ketimpangan yang akan makin menganga dari waktu ke waktu.

Orientasi pada laut atau selatan ini telah menyebabkan penumpukan investasi yang sudah pasti memperlebar kesenjangan secara ekonomi yang sosiologis. Kau pasti ingat, mengapa tiba-tiba rakyat Bali melawan keras ketika pemilik modal merancang sebuah pengembangan besar-besaran bernama reklamasi di Teluk Benoa, bukan?

Penolakan itu tidaklah berarti kebencian terhadap modal, yang harus diakui telah menggerakkan ekonomi Bali selepas Orde Lama dan krisis multidimensi pasca-letusan Gunung Agung tahun 1963. Penolakan lebih-lebih terjadi karena penumpukan modal di bagian selatan dan pencemaran wilayah suci di selatan (laut) yang kian hari kian tak bisa ditoleransi.

Jadi, jika rakyat Bali terlihat bergerak secara "berlebihan" dengan mengerahkan massa dari banjar ke banjar selama bertahun-tahun, itu karena mereka melihat "ketamakan" (keserakahan) dalam mengeksploitasi alam sudah waktunya harus dihentikan.

Filosofi segara giri mengajarkan tentang keseimbangan dan rasa syukur. Laut dan gunung adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk tanpa batas. Kau mungkin akan bertanya, bagaimana perilaku berkeseimbangan itu?

Aku mungkin tergagap-gagap untuk menjawabnya karena terus terang tulisan ini tak pernah secara epik ingin memberi solusi yang pasti terhadap sebuah persoalan. Aku cuma berusaha menyentuh kesadaran terdalam yang barangkali bisa membuatku melihat sekitar secara lebih proporsional.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Warga dari sejumlah desa pakraman (adat) di Kota Denpasar menggelar aksi damai menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali, di ruas Jalan Pelabuhan Benoa, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Minggu (28/2/2016).

Seekor ikan tak pernah menyadari bahwa ia hidup di dalam air, bahkan ia tak sadar jika air telah menjadi sumber kehidupannya selama ini. Kesadaran itu biasanya berkelebat justru ketika ia tidak berada di dalam air. Bahwa betapa besar artinya air dalam kehidupannya.

Aku yakin, karena kau semua manusia-manusia pintar, pasti bisa mengerti metafora tentang ikan dan air itu, bukan? Mari kita lihat sekitar kita…Itu saja. (Maaf aku ingin melanjutkan mendengar suara Is yang teduh itu).

Kompas, 5 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger