Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 Agustus 2020

KOLOM BAHASA: Bahasa Ajip Rosidi (KURNIA JR)


Ada kelakar di antara rekan-rekan di Bandung, Jawa Barat,  tentang mengapa Ajip Rosidi, sepulang ia dari Jepang, justru memilih Magelang, Jawa Tengah, sebagai tempat kediamannya. Bukan Jakarta atau Bandung yang merupakan tempat kegiatan utamanya hingga tahun-tahun pengujung hayatnya.

Boleh jadi dia lebih sering berada di dua kota ini ketimbang di Magelang. Di Pasar Minggu, Jakarta, ada rumahnya yang lingkungannya tenang dan nyaman. Juga ada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang selalu dia sempatkan diri buat mengunjungi tiap kali dia sedang berada di Jakarta. Di Bandung, ia membangun perpustakaan. Di sana juga ada lokasi usaha penerbitannya, PT Dunia Pustaka Jaya.

Khusus di Bandung, tampaknya banyak yang ia kangenkan dari masa lalu, raut kota dan paras muka teman-teman lama. Terasa bahwa dia sangat mencintai kota itu. Mungkin karena kultur dan bahasa Sunda yang setia menghidupi cekungan Priangan itu. Luar biasa cintanya dia pada kesundaan, tetapi tetap pedas kritiknya terhadap hipokrisi sosial serupa benalu yang inheren di dalam kulturnya.

Jadi, kenapa ia menyusahkan diri, memaksakan badan yang menua dan digerogoti rupa-rupa penyakit, bolak-balik Magelang-Bandung-Jakarta dengan Kijangnya? Menurut celoteh yang usil, Ajip merasa perlu menjauh sebab di dua kota ini banyak "musuhnya", dari bekas-bekas polemik tentang sastra dan lain-lain.

Namanya guyon, pasti berlebihan dan tanpa batas, tapi Ajip memang keras kepala selama itu berkaitan dengan prinsip pemikiran. Ada kalanya, saking kerasnya polemik, tak ayal serangan melenceng ke luar konteks hingga menyambar soal pribadi. Tentu saja, kasus semacam ini di kancah pemikiran lazim terjadi, siapa pun orangnya.

Sebagai seorang otodidak—ini yang kerap ia banggakan: hidup tanpa ijazah, frase yang jadi judul otobiografinya—kuat kesan bahwa pada dirinya ada semacam arogansi atau sikap batin atas wawasan dan bahasa yang ia gunakan selaku penulis. Yang saya maksud bukan sombong dalam hal adab sebab sebagai pribadi, ia hangat dan rendah hati.

Kita tahu Ajip menulis beragam genre: sajak, novel, kritik sastra dan sosial, kisah perjalanan, hingga opini politik. Wajar jika seorang sastrawan berambisi mengukuhkan sikap bahasanya, yang menurut pandangannya sendiri punya dasar yang kuat.

Biasanya, hanya editor selaku pembaca pertama draf atau naskah yang dapat mengenali sikap bahasa seorang penulis. Khalayak yang menjumpai tulisannya berupa artikel atau buku yang sudah rapi disunting editor koran, majalah, atau penerbit buku relatif berjarak buat mengenali sikap bahasa penulis yang sesungguhnya. Bahasa pada teks yang muncul di koran atau buku yang sudah dipajang di etalase sedikit banyak sudah dicampuri tangan editor, tak sepenuhnya mewakili sikap bahasa si penulis.

Kebetulan, Ajip mengelola penerbitan yang semula didirikan dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan seiring berjalannya waktu dan dinamika bisnis, penerbitan itu ia kelola sendiri dan terus mencetak buku-bukunya. Boleh jadi, situasi ini memungkinkan dia mempertahankan sikap bahasa yang dia tetapkan sejak tahap draf hingga dipublikasikan.

Dari draf naskah dan buku-buku yang dia sunting sendiri, saya mencatat sejumlah kata yang dipakai dengan keras kepala tanpa toleransi.

Dari draf naskah dan buku-buku yang dia sunting sendiri, saya mencatat sejumlah kata yang dipakai dengan keras kepala tanpa toleransi dengan, misalnya, suasana zaman atau, sebutlah "dinamika bahasa". Beda dengan Ong Hok Ham atau Tjipta Lesmana, yang sepintas gayanya menarik, ternyata naskah aslinya memaksa editor berjibaku merapikan sebelum disajikan ke publik, draf Ajip disusun dengan kesungguhan penulis sekaligus editor cermat: kesungguhan yang memagari sikap bahasanya, termasuk kegigihannya membubuhi diakritik pada huruf  /e/ untuk membedakan, misalnya, "pesan" dengan "pepesan".

Membaca draf Ajip serasa membaca teks dari zaman lampau. Kata-kata tertentu ditulis tanpa peduli tren dan sikap evaluatif, misalnya "sistim" (bukan "sistem"), "sipat" (bukan "sifat"), "masarakat" (bukan "masyarakat"), "sastera" (bukan "sastra")—tapi pada catatan saya, ia tak menulis "Inggeris", entahlah. Ia menolak pengembalian "kuatir" ke lafaz Arab "khawatir". Ia tulis "ahir" (bukan "akhir"); "sekedar" (bukan "sekadar"). Ia gigih dengan diakritik, maka ia tulis "modren" (bukan "modern")—antara 2017 dan 2019 , sekilas saya lihat Goenawan Mohamad di media sosial menyinggung pentingnya diakritik bagi /e/, meski ia tak menyebut nama Ajip.

Tampak kuat kecenderungan Ajip memformalkan ragam lisan sehari-harinya pada tulisannya, sebagai contoh: "tadinya" (untuk "semula"); "dirobah" dan "merobah" (bukan "diubah" dan "mengubah" menurut ejaan yang baku). Eksesnya, kelisanan Ajip mendominasi bahasa tulisnya, misalnya ia gunakan koma bukan untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian, atau pemisah anak kalimat yang mendahului induk kalimat, melainkan sebagai jeda jika kalimat dianggap terlalu panjang, untuk bernapas, sonder peduli batasan subyek dan predikat.

Kasus ini bertebaran di berbagai tulisannya, tapi cukup saya petik dari "Mengatasi berbagai Masalah Bahasa Indonesia", artikel dari kolom bahasa setiap pekan di koran yang kemudian dibukukan. Perhatikan penempatan koma pada empat kalimat berikut: "Bahwa hal itu telah terjadi, menunjukkan bahwa pelajaran bahasa Indonesia kita tidak berhasil." "Selama ini telah diakui, bahwa bahasa pers besar pengaruhnya bagi perkembangan bahasa nasional." "Harus diakui bahwa para anak didik khususnya dan masyarakat umumnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca majalah." "Dari bahasa yang digunakan kelihatan bahwa sekalipun wartawan surat kabar terkemuka, kurang banyak membaca."

Pada Ajip, pengertian arbitrer dalam bahasa sedemikian luasnya sehingga dia membolehkan dirinya membikin sistem sendiri tanpa memusingkan sistematika berfondasi kaidah tertentu yang bukan hanya konsisten, tetapi juga harus punya akar kuat bagi perkembangan bahasa di dalam zaman yang kesetanan menantang kelembaman semua bahasa dunia saat ini. Kecuali dalam hal diakritik pada aksara /e/.

Kurnia JR, Pujangga


Kompas, 11 Agustus 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger